Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Naratif Evolvabel: Cikal Bakal Bacaan di Masa Depan?

17 Mei 2021   00:02 Diperbarui: 17 Mei 2021   00:08 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Putri di Toko Buku Kinokuniya, 4 Desember 2020.

Ingat! Yang benar adalah naratif, bukan narasi: Tiada Lagi Kacang Goreng Pertama, yang Ada Tinggal Narasi (Baca: Salah Kaprah).

Saya mengoin (menginvensi) istilah kernel naratif dan naratif evolvabel dalam artikel saya: Pojok Koin Johan Japardi, Bagian 1 (Bilingual)
Definisi kernel naratif bisa dibaca dalam artikel ini dan di sini saya mengulang definisi 
naratif evolvabel: sebuah naratif yang bisa berevolusi dari sebuah kernel naratif menjadi sebuah naratif yang lebih besar dengan melibatkan partisipasi para pemirsa untuk mengembangkannya lebih lanjut.

Saya sudah pernah bereksperimentasi dengan gagasan ini dan menghasilkan sebuah naratif yang sudah mengalami 1 kali evolusi, lihat artikel saya: Biarkanlah Kata "Salah" Hanya di dalam Kamus: Mengapa Ayam Menyeberangi Jalan? Versi 1.1.

Mengapa saya bisa mengusulkan sebuah gagasan yang tampaknya melampaui zaman ini? Bagi saya, sebagaimana dengan kegemaran dan kebiasaan membaca saya sejak masih berusia dini, usulan ini tidaklah melampaui zaman, hanya kebiasaan membaca yang perlu diubah dengan semakin mengurangi pembatasan jenis bacaan. Ini sendiri merupakan pembatasan pendapat mainstream bahwa anak jangan membaca bacaan yang belum sesuai dengan usianya. Bagaimana mungkin kita membuat pembatasan semacam ini? Sementara hal krusial tertentu, kita membiarkan anak tidak mempelajarinya. Ini saya lihat jelas pada pembelajaran bahasa Batak dan bahkan Surat Batak yang sudah semakin jauh dari kegiatan harian anak-anak Batak sendiri yang membuat saya sangat prihatin. Sudah demikian sibukkah orangtua sehingga membiarkan hal ini terjadi? Atau sudah lupakah orangtua akan pembelajaran di masa kecilnya sehingga membuat mereka kurang PD untuk mengajari anak-anak dan pada gilirannya bahkan tidak mengarahkan anak-anak itu untuk belajar sendiri? Keprihatinan ini mendorong saya untuk menulis artikel: Mengajari Anak Batak Aksara Batak: Metode Sim-ak, untuk menghimbau dan menyemangati para orangtua Batak untuk menyemangati anak-anak mereka, dengan memberikan alasan-alasan yang tak bisa dipungkiri kebenarannya.

Alhasil, walau cuma 1 orang, saya menerima tanggapan dari adik kelas saya, seorang apoteker dari Farmasi FMIPA USU, yang setelah membaca artikel itu menjadi tertarik untuk belajar ulang Surat Batak agar bisa mengajari anak-anaknya atau setidaknya untuk mengarahkan anak-anaknya supaya belajar dengan menggunakan metode saya, yang hanya butuh waktu setengah jam. Di mana ada kemauan di situ ada jalan, dan ala bisa karena biasa. Kurang apa lagi kearifan Indonesia? Tidak ada!

Dalam artikel itu saya juga menggugah semangat para orangtua dengan pernyataan:
Kita semua tahu faktor apa yang membuat minat anak-anak menurun untuk mempelajari yang semestinya mereka pelajari, GADGET! Di zaman dengan PARADIGMA KUWALIK ini, bisa saja orang mencari alasan bahwa apa yang "semestinya" bagi seseorang tidak selalu berarti "semestinya" bagi orang lain. Termasuk anak-anak? Kita biarkan mereka menghabiskan lebih banyak waktu dengan gadget mereka ketimbang hal-hal yang lebih penting dan bermanfaat menurut ukuran kita sebagai orangtua? Kita sudah tidak bisa lagi menerapkan ukuran kita kepada anak-anak dan membiarkan hal-hal trivial mengambil alih "pengasuhan karakter" mereka dari kita? Ayolah para orangtua, JANGAN MENYERAH! (lihat artikel saya: Post-Truth vs Paradigma Kuwalik Prof. Wir., Mana yang Lebih Tepat?)

Semakin menurunnya minat membaca dari semua tingkatan usia jangan sampai membuat kita pasrah dan mengasumsikan bahwa hanya segelintir orang pilihan yang masih banyak membaca, dan terkagum-kagum hanya karena mendengarkan seseorang (yang sudah berusia 60 tahunan) menyombongkan tentang kisah Bukek Siansu karya Kho Ping Hoo yang baru dia baca pada usia setua itu, dan tentang sebuah novel Agatha Christie yang sedang dia baca. Ada apa dengan dunia ini?

dokpri
dokpri
Putri tertidur setelah membaca sebagian isi buku Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela, karya Tetsuko Kuroyanagi, 3 Oktober 2019. 

Pada artikel berikutnya, saya akan berbagi tentang buku-buku apa yang sudah dibaca oleh Putri. Membaca apa pun harus diiringi dengan sukacita. Walaupun hasil dari membaca dengan sendirinya akan meningkatkan pikiran, namun saya katakan dalam artikel saya:
Seni Membaca, bahwa:
Orang tidak membaca untuk "meningkatkan pikirannya," karena jika seseorang mulai berpikir untuk meningkatkan pikirannya, seluruh kenikmatan membaca pun lenyap.  Jadi kenikmatan yang didasari oleh sukacita itulah kunci utama dalam membaca.

Menyombongkan tentang satu dua buku yang sudah dibaca dengan jelas menunjukkan kevakuman sukacita itu, bahkan saya pernah mendengar tentang istilah yang sangat menggelikan seperti "reading assignment (atau tepatnya reading obligation) saya bulan ini adalah buku anu dan buku anu," padahal orang inilah yang "menugasi" atau "mewajibkan" dirinya sendiri untuk membaca. Sungguh sangat kasihan!

Lalu apa yang berperan dalam menumbuhkan minat baca anak? Belikan dia buku sebanyak-banyaknya. Apa tidak boros? Tidak, kalau kita bisa melihat bahwa nilai dari buku bagus jauh lebih tinggi dari nilai nominal uang yang kita gunakan untuk membeli buku itu. Terlebih lagi, isi buku yang berhasil dipindahkan oleh si anak dengan mantap ke dalam pikirannya jauh lebih bernilai lagi. Pada gilirannya, apa yang bisa diamalkan oleh si anak dengan pikirannya yang sudah meningkat itu untuk membantu teman-temannya, itulah yang memiliki nilai tertinggi.

Akhirulkalam, si anak akan mencapai kearifan yang memungkinkan dia untuk bisa Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh dengan orangtuanya. Bayangkan, alangkah indahnya dunia yang dipenuhi dengan anak-anak yang gemar membaca, yang bisa pula berinteraksi dan berpartisipasi dalam sebuah naratif evolvabel. Semakin besar sumbangsih anak itu dalam naratif tersebut, semakin banggalah dia akan dirinya.

Jonggol, 16 Mei 2021

Johan Japardi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun