Eid Mubarak 1442 H.
Kepada rekan-rekan Kompasianer maupun non-Kompasianer yang merayakannya, Eid Mubarak 1442H, selamat menyambut hari yang Fitri di awal bulan Syawal, selamat Hari Lebaran setelah lebaran puasa di bulan Ramadhan yang mendahului Syawal, dan supaya lengkap, Selamat Hari Rayo buat teman-teman asal Tanjungbalai Asahan.
Itulah tipikal seorang pemerhati bahasa seperti saya, dan jangan heran kenapa saya menggunakan frasa "lebaran puasa," karena lebaran adalah bahasa Jawa yang bermakna "selesai," lihat artikel saya: Kemampuan Berbahasa Asing Anda Begitu-begitu Saja? Metode Sim-ak Solusinya:
......... dan pada gilirannya tidak bisa lagi membedakan antara "lébar" (wide atau width dalam bahasa Inggris) dengan "lebar" yang berasal dari bahasa Jawa yang artinya selesai (berpuasa selama bulan Ramadhan).
Barusan, oleh putri dimas A. Asmasubrata, seorang tetangga sekaligus sahabat sekaligus saudara saya, saya diantari sepiring lontong lengkap dengan lauk ayam opor, rendang dan dendeng sapi, dan sambal kentang, dan esensi hantaran itu adalah berbagi kebahagiaan agar saya juga ikut merasakan kebahagiaan keluarga adik saya ini, kebahagiaan yang dicapai karena kemenangan atas perjuangan mengalahkan diri sendiri. Tak apa-apalah, di bulan Ramadhan tahun ini saya tidak bisa melepaskan kerinduan saya akan citarasa bubur pedas yang pernah saya kisahkan sekilas dalam artikel Kartini-kartini yang Tersembunyi (atau Disembunyikan?).
Kebahagiaan yang disandang oleh setiap sendok lontong yang saya suapkan ke mulut saya itu juga sudah membuat saya melupakan bubur pedas, walau tidak sepenuhnya. Beda lontong beda pula bubur pedas.
Ini membangkitkan dengan intens kerinduan saya yang lain, yakni kerinduan akan suasana di kota Tanjungbalai Asahan, kota kelahiran dan kampung halaman saya, dan kerinduan untuk bertemu sahabat-sahabat lama.
Semasa saya di SD s/d SMA di Tanjungbalai, saya memiliki banyak sahabat dan kami membina dan mempererat persahabatan kami dengan sebuah prinsip utama: tidak memandang SARA. Di sini saya ingin bercerita tentang kerinduan saya kepada sahabat sejak SD yang hanya bisa saya lepaskan dalam pikiran, alm. Abdul Malik, yang biasa kami panggil Malek, atau oleh teman-teman yang agak nakal, Apong Malek (ini adalah penuangan kreativitas anak SD Tanjungbalai karena merupakan plesetan dari Apam Balik). Apakah dari nama kami yang mirip makanya kami bisa seperti lepat dengan daunnya? Nama saya Yap Juhong dan nama panggilan saya Ipong, hahaha.Â
Nama ini diizinkan untuk digunakan sehari-hari oleh wali kelas, dan hanya di rapor dan ijazah saya menggunakan nama Johan Japardi. Malek (kadang saya pakai alm. kadang tidak, karena bagi saya, teman saya yang satu ini selalu ada di dalam batin saya) sempat menjuluki saya dengan sebuah nama yang sangat panjang, entah dari mana dia mendapat pengetahuan dan kreativitas seperti itu: Aschitakarna Dipanegara Abobullah (Asli China Tanjungbalai Tukar Nama Dipaksa Negara Apa Boleh Buatlah). Bertahun-tahun kemudian, setelah pindah ke Jakarta, saya baru menyadari bahwa singkatan ini mirip Asnawikarna, "wi"nya "Betawi" kreasi anak Jakarte.
Yang paling saya ingat tentang alm. Malek adalah bahwa dia adalah ketua kelas kami di SD kelas 5 s/d 6. Sebelum perluasan sampai kira-kira 40 kali, luas Tanjungbalai hanya 1,6 km persegi dengan populasi 72,000 jiwa (densitas 45.000 jiwa per km persegi, sempat menempati urutan pertama kota terpadat di Asia Tenggara). Artinya, adalah hal yang lumrah jika penduduknya saling mengenal satu sama lain.
Saya dan Malek sudah seperti bersaudara kandung, kami saling menjaga, memperhatikan dan membela. Di luar jam sekolah, kami selalu bersama pergi mancing, nonton, saling mengantarkan hantaran (Malek pada Idul Fitri dan saya pada Imlek), dan yang paling penting, makan misop Lek Metro di Jl. Sutomo. Sejauh yang saya ingat, harga awal misop ini adalah Rp. 15 per mangkuk kecil, penuh dengan tetelan sapi yang sangat kami gemari, dan karena mangkuknya kecil, muncullah kebiasaan kami yang dimaklumi saja oleh alm. Lek Metro: menambahkan kecap manis, lalu menghabiskan kuah misop dan minta tambah kuah. Satu lagi kerinduan saya yang hanya bisa dilepaskan dalam pikiran.
Sehari-harinya, kami, dua anak SD ini, bekerja setelah pulang sekolah, saya di tempat paman dan Malek di warung gorengan di sebelah kanan sekolah. Tentu saja, ukuran gorengan pada masa itu adalah raksasa jika dibanding dengan zaman now, makanan paling murah dan paling mengenyangkan di dunia. Sudah sejak lama pamor gorengan ini pupus dan digantikan dengan mie instan. Bayangkan kalau kita cuma pegang uang Rp. 2.500, sebungkus mie instan lebih mengenyangkan ketimbang gorengan yang cuma dapat tak sampai 3.
Di sore hari, Malek sering mengantarkan gorengan ((pisang, ubi, singkong (di Tanjungbalai disebut ubi kayu), sukun, dll)) ke rumah saya, gorengan yang tak habis dijual pada hari itu dan diperbolehkan oleh bosnya untuk dibawa pulang. Masa kecil kami itu dipenuhi dengan aneka humor kreasi sendiri, khas Tanjungbalai dan jarang saya temukan di tempat lain:
Saya: "Lek, apanya kau ini, selalu kau antarkan gorengan sisa-sisa ke aku."
Malek: "Jangan gitulah Pong, yang ikhlasnya aku membawakan gorengan ini bah."
Saya: "Kena kau Lek, kalau gorenganmu tak bersisa, mana mungkin aku dapat bagian."
Kami: "Hahahahaha."
Belasan tahun yang lalu, seperti yang saya lakukan setiap kali saya pulang kampung, saya mengunjungi rumah Malek di sebuah gang kecil di Jl. Karya dan untuk terakhir kalinya, sebelum Malek meninggal karena serangan jantung, Malek sempat memasakkan ikan kembung sombam (panggang di atas bara arang) kesukaan kami, tidak boleh buang kepala, lengkap dengan sambal kecapnya. Ikan kembung sombam paling enak yang pernah saya rasakan. Malek yang masak, bukan istrinya.