Puisi Dilema H-4 ini ditulis oleh penyair atau bahkan sastrawan kita, pak Bambang Syairudin, nama di Kompasiana bambang SYAIRUDIN, alias BAMBANG SY (BAMS), pada 8 Mei 2021 yang lalu, atau H-4 menjelang 1 Syawal 1442 H atau 13 Mei 2021, Idul Fitri besok. Coba simak, nama belakang pak Bambang saja ada kata "Syair"-nya.
Semboyan pribadi pak Bambang adalah: podo tumuju tuwo dewe dewe (mudah-mudahan saya tidak keliru memaknainya: pada menuju usia tua sendiri-sendiri). Dan subjudul puisi ini: proses sinau maneh penulisan cerpen dilema cahaya.
Lalu kenapa saya menulis artikel yang mengupayakan untuk memahami puisi pak Bambang itu? Begini ceritanya:
Saya memiliki beberapa sahabat dari kalangan penyair, di antaranya pak Jose Rizal Manua dan sahabat sekampung dan se-SMA saya, Syamsul Rizal alias Tok Laut alias si Elang Laut, keduanya memiliki kata kedua yang sama pada nama mereka, dan mereka saling bersahabat pula. Sayangnya kami belum pernah bertemu bertiga.
Sejak dulu saya adalah pemerhati bahasa Indonesia, dan dari hari ke hari belajar untuk lebih tertib dalam menggunakan bahasa persatuan kita itu.Â
Namun harus saya katakan di sini: Jangan pernah mengharapkan ketertiban yang sama dari para penyair, mereka harus dikecualikan.
Lihat saja bagaimana seorang Sutarji Calzoum Bachri berinteraksi dengan, dan mengolah kata-kata, dan membebaskan kata-kata itu dari maknanya, lalu menuangkannya dalam puisi Tragedi Winka dan Sihka yang pernah saya sebutkan dalam artikel: Kebelumtahuan yang Dipamer-pamerkan.
Pengecualian apa yang saya maksudkan? Simak saja baris pertama puisi itu:
iya kudu sinau maneh, harus belajar lagi
Bukan seorang penyair namanya kalau kita bisa langsung menangkap makna di balik puisinya. Kudu, ok, bahasa Jawa, Sunda atau Betawi untuk "harus" (dalam KBBI ada 2 kata kudu, maknanya berlainan dari "harus"), sinau bahasa Jawa untuk "belajar," ada dalam KBBI tapi maknanya "berkilau-kilau," maneh bahasa Sunda yang bermakna: kamu, tapi saya yakin yang digunakan pak Bambang di sini adalah maneh, sinonim meneh untuk "lagi," bahasa Jawa.
Saya bukan mau hiperbolik, namun untuk melewati baris pertama ini saja saya butuh tambahan waktu dan pemikiran untuk sampai pada pemahaman bahwa kata-kata yang digunakan pak Bambang adalah berbahasa Jawa.
Untunglah mulai baris kedua sampai selesai, pak Bambang sudah menggunakan "bahasa Indonesia" sepenuhnya. (Saya beri tanda kutip karena alasan dalam artikel saya: Koreksi dan Keterangan Tambahan atas "Mengais-ngais China di Sunda" dan kita sudah diarahkan pak Bambang untuk memaknai puisi itu seutuhnya melalui baris ke-6:
biarlah pembaca yang menilainya nantiÂ
Dan sebagai penutup, saya melompat ke bait terakhir:
dengan penilaian dari pembaca
penulis juga harus tetap waspada
karena bisa jadi hanya untuk
menyenangkan saja karena
pembaca tidak tega untuk
mengatakan yang
sebenarnya
(smile)
Puisi ini diakhiri dengan sebuah senyuman sebagai balasan atas apa pun penilaian pembaca, yang tanpa pikiran negatif ditanggapi pak Bambang (baca bait tersebut). Saya melihat ada kaizen di dalam puisi ini.
Sekali lagi, mudah-mudahan saya tidak membuat kekeliruan dalam memaknai karya pak bambang ini, walaupun hanya untuk 1 puisi ini saja, saya sudah meluangkan waktu khusus, tidak bisa main-main.
Saya mau menyampaikan kepada pak Bambang:
Hanya penyair yang bisa lebih memahami syair yang disyairkan oleh seorang penyair, dan jumlahnya sedikit, kalau pun tidak saya katakan langka. Jadi maklumilah pak, dan teruslah berkarya, karena karya Anda kelihatannya irit kata-kata, tapi bisa memberi seribu makna bak selembar foto, karena Anda adalah seorang penyair.
Salam buat semua penyair dan pemerhati puisi.
Jonggol, 12 Mei 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H