Ini kisah segelintir manusia yang pernah terjadi di kampung saya, Tanjungbalai Asahan, setidaknya sebuah kisah nyata yang terjadi pada seseorang, katakanlah namanya Ongah.
Ongah dilihat dari segi mana pun adalah seseorang yang tidak mampu, sedangkan abang tertuanya, Ulong, adalah orang berada yang sangat disegani di Tanjungbalai.
Ongah memiliki sebuah sampan kecil untuk menangkap ikan, dan penghasilannya kalau pun tidak pas-pasan, kadang-kadang sampai harus berhutang kepada sang abang untuk sekadar membeli belanjaan dan mengisi bahan bakar sampan agar dia bisa melaut tepat waktu (tergantung keadaan pasang-surut air).
Ongah ini orang yang taat beragama, baik, jujur, ramah, rajin, sabar dan suka bekerja keras demi menghidupi keluarganya, cuma kata orang kampung, nasibnya saja yang kurang beruntung. Ongah bahkan sekali pun tidak pernah tergoda untuk memasang SDSB yang pada waktu itu masih tersedia resmi, apalagi (belakangan) togel alias toto gelap. Namanya juga gelap, sesuatu yang sangat dijauhi oleh Ongah.
Khayalan untuk cepat jadi kaya ini menghinggapi teman-teman Ongah yang lainnya, sejak zaman SDSB sampai togel, dan kadang-kadang mereka malah meminjam uang dari Ongah untuk berangkat ke laut, itu kalau Ongah sedang berkelebihan. Untunglah si Siti, istri Ongah, yang juga berperangai kurang lebih sama dengan suaminya, tak pernah mempersoalkan tentang hal itu, bahkan kadang uang yang dipinjam teman Ongah itu tak dikembalikan, dengan alasan tak ada tangkapan, padahal lebih sering digunakan untuk masang.
Hingga suatu hari, tibalah bulan Ramadhan, beberapa teman Ongah yang meminjam uangnya pada tak kelihatan batang hidungnya, sedangkan Ongah sendiri juga hendak melaut. Ongah pun berhenti sementara dan mengambil keputusan bersama Siti untuk berjualan jajanan berbuka puasa.
Suatu hari, Ongah didatangi oleh 2 teman lain dengan agenda yang sama, pinjam uang untuk melaut! Dan Anda pasti bisa menebak dengan tepat, uang itu pun dipinjamkan oleh Ongah, bahkan dengan sepengetahuan dan persetujuan Siti, lantas?
Lama kelamaan jualan suami isteri ini pun tidak bisa lagi berlanjut, sampai untuk membeli beras harian dalam ukuran liter pun mereka sudah tidak sanggup. Ongah pun terpaksa menebalkan mukanya menempuh jalan terakhir, mendatangi Ulong, dan terjadilah persis apa yang dinyanyikan oleh Zulhasan dalam lagunya "Terkapar." Lagu ini pernah saya tautkan ke artikel cerpen saya: Hanya Gara-gara Satu Kata: Peningkatan, tapi entah kenapa sekarang tautan yang saya buat pada 13 April 2021 yang lalu itu sudah tidak bisa lagi dibuka.
Di sini saya paparkan syairnya dalam bahasa Indonesia:
Aku kepingin pisang bakar
Beli lontong tak terbayar
Tengok kantong sudah terbakar
Balik ke rumah bini terkapar
Macam mana tak terkapar
Perut menghisap karena lapar
Tak ada yang hendak dimakan
Air mentah pun............. ditelan
Memang susah tak punya harta
Banyak saudara memalingkan muka
Takut saja aku hendak berhutang
Banyak hartanya takut dia berkurang
Coba kalau aku kaya
Saudara pun banyak yang datang
Membilang-bilang, adikku sayang
Tak nampak cacat, tak nampak belang
Keterkaparan ini sungguh dialami oleh Siti karena persediaan terakhir makanan di rumah dia berikan untuk anak-anaknya, walaupun porsinya berkurang, untuk memastikan bahwa bukan anak-anaknya yang terkapar. Sungguh, benar kata pepatah, kasih ibu sepanjang jalan, mau sepanjang apa pun jalan itu.