Ada keprihatinan di kalangan generasi tua Batak bahwa bahasa, atau setidaknya Surat Batak (Aksara Batak) akan punah, karena generasi zaman sekarang, utamanya anak-anak Batak yang lahir di luar Tano Batak, sudah tidak mempelajari Surat Batak atau bahkan bahasa Batak itu sendiri.
Saya bisa memahami keprihatinan ini, namun saya pribadi sangat optimis bahwa kepunahan itu tidak akan terjadi jika kita mau berupaya melestarikan Bahasa dan Surat Batak. Kita, utamanya pemerhati yang fasih berbahasa Batak bisa melakukan perbaikan, asal mau menyediakan waktu mengajari anak-anak itu dengan terlebih dahulu menanamkan pengertian tentang pentingnya melestarikan Bahasa dan Surat Batak.
Sejak 1982 (SMA) saya diangkat anak oleh keluarga bermarga Pasaribu di Tanjungbalai dan minat saya untuk mempelajari budaya Batak pun tumbuh. Saya ingat pada masa itu saya beberapa kali mendengar perumpamaan tentang seseorang yang bahasa Bataknya kurang lancar sebagai "Bahasa Bataknya marpasir-pasir (berpasir-pasir)." Makna marpasir-pasir ini menjadi jelas ketika saya mengetahui bahwa perumpamaan itu dikaitkan dengan beras. Beras yang berpasir menunjukkan ketidakmurnian, dan bahasa Batak yang berpasir menunjukkan ketidaklancaran dalam penuturan, belum lagi penulisan Surat Batak yang prioritasnya lebih rendah karena alasan kepraktisan. Ini memang memprihatinkan.
Saya kemudian membeli dua buku yang sangat bagus dari Pematang Siantar dan mempelajari buku-buku ini agar selanjutnya saya bisa memahami literatur Batak dalam koleksi bapak angkat saya. Kedua buku itu adalah "Pabidangkon dohot Pabagason Hata Batak" (Memperluas dan Memperdalam Bahasa Batak) dan "Parsiajaran Surat Batak" (Pembelajaran Aksara Batak). Selanjutnya, saya pun mulai melahap buku-buku seperti "Adat Pardonganan Saripeon," berbagai buku Tarombo (Silsilah), "Umpasa dohot Umpama," dll.
Ada perbedaan nyata di antara seorang yang optimis dengan yang pesimis, yakni cara berpikirnya. Seorang yang optimis selalu mengatakan,
"Itu memang SULIT, tapi MUNGKIN,"
sedangkan yang pesimis adalah kebalikannya,
"Itu memang MUNGKIN, tapi SULIT."
Dari apa yang diucapkan seseorang, yang masuk dan melekat di pikiran bawah sadarnya adalah KATA TERAKHIR. Saya melihat ada keberlindanan pernyataan barusan dengan puisi Sutardji Calzoum Bachri, Tragedi Winka dan Sihka. Winka dan Sihka adalah dua kata yang diinversi dari Kawin dan Kasih. Karena kedua kata ini dimulai dengan "ka," setelah diinversi menjadi berakhiran "ka," dua "ka" ini lebih cepat masuk ke pikiran bawah sadar kita. Jadi, fokuslah ke kata terakhir, MUNGKIN.
Kita semua tahu faktor apa yang membuat minat anak-anak menurun untuk mempelajari yang semestinya mereka pelajari, GADGET! Di zaman dengan PARADIGMA KUWALIK ini (lihat artikel saya: Post-Truth vs Paradigma Kuwalik Prof. Wir., Mana yang Lebih Tepat?) bisa saja orang mencari alasan bahwa apa yang "semestinya" bagi seseorang tidak selalu berarti "semestinya" bagi orang lain. Termasuk anak-anak? Kita biarkan mereka menghabiskan lebih banyak waktu dengan gadget mereka ketimbang hal-hal yang lebih penting dan bermanfaat menurut ukuran kita sebagai orangtua? Kita sudah tidak bisa lagi menerapkan ukuran kita kepada anak-anak dan membiarkan hal-hal trivial mengambil alih "pengasuhan karakter" mereka dari kita? Ayolah.
Untuk melihat semua ini secara proporsional dan tidak menimbulkan silang-sengketa dengan generasi muda, paparan saya dalam artikel: Biarkanlah Kata "Salah" Hanya di dalam Kamus: Mengapa Ayam Menyeberangi Jalan? Versi 1.1 bisa dijadikan pertimbangan.
Jika orangtua Batak bisa menanamkan kecintaan anak-anak akan bahasa Batak lisan, hanya masalah waktu semuanya akan berubah, karena ini hanya masalah latihan, seperti yang saya katakan dalam artikel: Logika Belajar Apa Saja:
Banyak berlatih dengan sukacita: Dalam dunia persilatan, yang paling ditakuti bukan 10.000 jurus yang masing-masing dilatih 1 kali, tapi 1 jurus yang dilatih 10.000 kali (maksudnya sampai mahir).
Dan ingatlah, orang Indonesia, termasuk Batak, adalah manusia mutitasking:
Orang Indonesia bisa sambil menyelam:
minum air
tangkap ikan
cari mutiara
cabut rumput laut
dan lain-lain,
tapi tidak tenggelam!
Sekarang kita ke Surat Batak itu sendiri.
Seperti yang saya sebutkan dalam artikel: Kata "Ayah" dalam Bahasa Batak, Filipino, dan Manchu, Bahasa Manchu (manju gisun) adalah bahasa yang terancam punah dan belum dicakupkan dalam Penerjemah Google. Mari kita mengambil tanggung-jawab agar Bahasa Batak umumnya dan Surat Batak khususnya tidak berada di urutan berikutnya!
Penilaian bahwa Surat Batak itu tidak praktis dimulai tatkala peneliti bahasa Batak, Herman Neubronner van der Tuuk, penulis Bataksch-Nederduitsch Woordenboek (Kamus Batak-Belanda) yang diterbitkan oleh Frederik Muller, Amsterdam, 1861 (lihat artikel: Sipudan, Sebuah Gejala Hiperkoreksi dalam Bahasa Batak), menghentikan penulisan Bibel dalam Surat Batak setelah menyelesaikan beberapa kitab pertama dari Perjanjian Baru (bisa diunduh dari Internet Archive) dan informasi tentang penerjemahan injil ini bisa dibaca dari Injil Batak Terjemahan van der Tuuk.
van der Tuuk selanjutnya lebih fokus ke penulisan kamus di atas, dan pekerjaannya dilanjutkan oleh Ludwig Ingwer Nommensen, sang pendiri  Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Nommensen menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak Toba di Sumatera Utara (1878 ke aksara Batak dan 1885 ke dalam aksara Latin).