Graham Russell dan Russell Hitchcock, softrock duo Air Supply.
Marga digunakan sebagai tanda menghormati dan mengingat para leluhur yang telah menurunkan generasi demi generasi sampai dengan yang sekarang. Melalui marga, orang bahkan bisa menelusuri silsilah atau pohon keluarga atau tarombo dalam bahasa Batak (Inggris: family tree), sampai ke generasi paling terdahulu. Contoh paling menarik adalah pohon keluarga Konfusius yang sampai dengan tahun 2006 sudah generasi ke-80 (Kong Youren)
Sudah selayaknyalah, sebagai penghormatan kepada para leluhur itu, marga juga dihormati dan diletakkan di depan. Ini adalah sebuah tradisi China, Jepang, Korea dan bangsa-bangsa Timur lainnya. Sayang, orang Batak meletakkan marganya di belakang. Bagi orang-orang yang tidak menggunakan marga, tentu pohon keluarga itu sudah tidak bisa dilacak.
Dalam buku terjemahan saya, Mitos dan Legenda China (Gramedia Pustaka Utama, 2008), terdapat sebuah lampiran berjudul: Pengejaan dan Pelafalan Nama orang China.
Bagaimana dengan tradisi Barat tertentu?* Mereka meletakkan "marga" mereka di belakang dan menamakannya surname/family name (nama belakang/nama keluarga) dan nama mereka di depan dan menamakannya forename/first name/given name (nama depan/nama pertama/nama pemberian).
*Di sini saya gunakan kata "tertentu" karena dulunya, sebelum negaranya diduduki oleh Napoleon Boneparte, orang Belanda hanya punya nama tunggal.
Carut marut ini terlihat pada contoh nama China: Zhu Jin Zhou, mau disapa sebagai Tn. Zhu-kah atau Tn. Zhou? Hanya "Jin" yang jelas-jelas adalah nama tengah.
Yang lebih menarik lagi, dalam bahasa Indonesia, walaupun mengikuti cara bahasa Inggris dalam menuliskan nama, orang lebih lazim menyapa seseorang dengan nama depannya, misalnya Ali Musri Syam disapa dengan Pak Ali, ketimbang Pak Syam, dan Hennie Triana disapa dengan Bu Hennie ketimbang Bu Triana, dll.
Malahan orang Batak, misalnya Lambok Pasaribu, yang jelas-jelas memiliki nama belakang atau marga Pasaribu, lebih lazim disapa dengan Pak Lambok ketimbang Pak Pasaribu, kecuali mungkin oleh orang Batak sendiri.
Namun, dalam bahasa Indonesia tidak timbul kerancuan seperti dalam bahasa China, yang setiap aksaranya merupakan suku kata sekaligus kata.