Orang biasa menganggap bahwa anak adalah anugerah ilahi terbesar, namun jika dipikirkan lebih jauh, anugerah terbesar manusia adalah orangtuanya. Tanpa orangtua tidak akan ada anak-anak. Anggapan bahwa anak adalah anugerah terbesar itu juga menunjukkan kebesaran dan kasih sayang orangtua.
Agama dan moralitas mana pun selalu mengajari kita untuk menghormati dan menyayangi orangtua, dan syukurlah kita tidak mengikuti budaya dimana orang bebas menyapa orangtuanya dengan nama, dan saya yakin sampai kapan pun itu tidak akan berubah.
Pentingnya hubungan lain antar sesama manusia berada di bawah orangtua: suami dengan isteri, sesama saudara, sesama sahabat, lalu hubungan lingkar lebih luar. Ini bisa dianalogikan dengan struktur atom, dengan sebuah nukleus yang berisi proton dan netron (kecuali nukleus atom Hidrogen yang hanya memiliki proton), dan nukleus ini dikelilingi oleh elektron yang mengorbit dalam kulit-kulit (lingkar-lingkar) dengan jumlah sesuai aturan tertentu (kulit K = 2 elektron, kulit L = 8 elektron, dst).
Prioritas penjagaan hubungan ini pun mengikuti urutan di atas, sehingga ada ungkapan: bukan sanak bukan saudara.... (dalam konteks jangan lebih mementingkan lingkar yang lebih luar). Ini hal yang wajar dan bukan diskriminasi.
Selarik pantun di bawah bisa dijadikan pegangan agar kita selalu mengingat anugerah terbesar yang disebutkan di atas, sebelum semuanya terlambat:
Pohon berhasrat rehat, tetapi angin tak mau reda;
Anak berhasrat bakti, tetapi orangtuanya telah tiada.
The tree desires repose, but the wind will not stop;
The son desires to serve, but his parents are already gone.
Jonggol, 16 April 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H