Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sipudan, Sebuah Gejala Hiperkoreksi dalam Bahasa Batak

5 April 2021   01:00 Diperbarui: 27 April 2021   04:54 7677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya memerhatikan bahwa ada kebiasaan (utamanya ibu-ibu Batak*) dalam menggunakan bahasa Batak dalam percakapan, dan pada gilirannya, dalam tulisan, dengan "mengoreksi" kata yang sudah ada sehingga menjadi sebuah hiperkoreksi.

Contoh kata yang sempat saya lihat di salah sebuah medsos adalah "sipudan" atau bahkan "pudan" yang dihiperkoreksi dari kata "siampudan" (dalam gambar di atas saya ketik dengan Toba TTF/True Type Font). 

Dalam Bataksch-Nederduitsch Woordenboek (Kamus Batak-Belanda) karya Herman Neubronner van der Tuuk, penerbit Frederik Muller, Amsterdam, 1861, maupun  Tobabataksch-Deutsches Worterbuch (Kamus Toba-Jerman) karya Johannes Warneck, penerbit Verlag der Rheinischen Missions-Gesellschaft, 1905, sama sekali tidak terdapat lema "pudan" maupun "sipudan." Yang ada adalah ampudan yang bermakna: anak laki-laki bungsu, yang disingkat dari kata "siampudan/sian pudian."

Sudah sejak puluhan tahun yang lalu saya juga mendengarkan ibu-ibu yang memodifikasi kata "sangsi" menjadi "samsi" dan menggunakannya sebagai sinonim dari kata Indonesia "sangsi" atau "ragu," padahal kata "sangsi" dan "ragu" dalam bahasa Batak memiliki arti yang sama sekali berbeda (sangsi/manangsi bermakna: menentukan, menetapkan, menyita, sedangkan ragu bermakna: kacau).

Memang benar, pengubahan berupa penyingkatan "ng" pada akhir suku kata menjadi "k" adalah lazim (bukan menjadi "m"), misalnya "sangsang" dibaca "saksang" (walaupun tetap ditulis sebagai "sangsang," bukan "saksang"), tapi bagaimana dengan "samsi"? Kalau hiperkoreksi ini dibiarkan, bukankah lama-lama akan ada kata "lamsing," "lamsung," "tamgung," "samka," dsb. 

Menurut saya, semuanya memang tergantung selera masing-masing orang, dan percakapan akan lebih variatif dengan kata-kata yang dimodifikasi, namun saya tidak setuju kalau hal ini juga dibawa-bawa ke dalam penulisan, apalagi yang formal. 

Mari menghargai jerih payah dari, antara lain Heer van der Tuuk dan Herr Warneck di atas. Yang sudah ada dan baku tidak perlu dihiperkoreksi lebih lanjut.

*Batak Toba, kecuali jika disebutkan lain.

Jonggol, 18 Desember 2020

Johan Japardi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun