Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kebelumtahuan yang Dipamer-pamerkan

4 April 2021   19:30 Diperbarui: 24 April 2021   08:54 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar
Kamus Oxford mendefinisikan kata diskresi sebagai:
1. kebebasan atau kesanggupan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan di bawah kondisi tertentu.
2. peduli dengan apa yang Anda katakan atau lakukan, untuk merahasiakan sesuatu atau untuk menghindari mempermalukan atau mempersulit seseorang; kualitas diskret.

Kearifan yang sama telah saya gunakan dalam menyusun kata-kata dalam artikel ini (antara lain untuk kata pertama judul, saya tidak menggunakan "ketidaktahuan") dan saya memasukkan artikel ini, dan dengan demikian memfokuskan pembahasannya, hanya dalam kategori "Bahasa."

Mari kita mulai!
Orang yang berbicara tanpa kesopan-santunan akan merasa sulit untuk membuat kata-katanya baik. - Konfusius.

Di mana-mana semakin banyak orang, yang entah sadar atau tidak, pede atau bahkan memamerkan kebelumtahuannya. Kalau dulu saya merasa heran dan bahkan kesal melihat hal seperti ini, tapi sekarang hanya tergeli hati.

Ini senarai contoh beberapa kata yang menggambarkan keadaan di atas:
1. by the way ngomong-ngomong, saya ingin melakukan satu approach pendekatan.
2. lebih prefer (padahal prefer sendiri sudah bermakna: lebih menyukai).
3. merubah (seperti yang banyak digunakan dalam buku-buku lama berbahasa Indonesia), padahal maksudnya mengubah. Kata dasar merubah adalah rubah (hewan yang masih berkerabat dengan anjing dan serigala).
4. What? Oreo? padahal dia ditanya tentang REO (Real Estate Owned) - yang ini diucapkan dengan bingung oleh salah seorang menteri AS (ini sungguh memalukan).

Pernah juga ucapan seorang pejabat dikritik dengan nada penuh ejekan oleh seseorang yang berinisial, katakanlah GR (yang namanya menurut saya adalah nama baru untuk tong kosong nyaring bunyinya, pepatah kita yang belum terbukti salah).

Menurut saya, kita tidak boleh seperti GR yang suka mencap orang lain "dungu" (sebuah kata yang kasar), karena ini tidak ada kaitannya dengan kedunguan. Mana ada orang yang menyadari atau bahkan bangga dengan kedunguannya. Dan kita juga tidak boleh seperti GR yang suka mencap perkataan orang lain sebagai produk atau refleksi dari "kekacauan berpikir."

Alih-alih kedunguan dan kekacauan berpikir, "kelemahan" di atas lebih terkait dengan tidak tertibnya orang tertentu dalam berbahasa, sudah ada bahasa Indonesianya kok malah menggunakan istilah asing yang lebih tidak lazim (istilah sekarang: buat keren-kerenan). Tapi kita lihatlah dari sisi positifnya, keren-kerenan tidak apa-apa asal itu membuat bahasa (utamanya lisan) menjadi lebih variatif, tapi tetap sebisa mungkin memenuhi aturan baku berbahasa.

Saya teringat ucapan almarhum atok (kakek) saya, Yap Chenghuat (Mr. Yap), kepala sekolah Methodist English School, Panatua Gereja Methodist I Tanjungbalai Asahan:

"Di dunia ini tidak ada orang yang bodoh, yang ada adalah orang yang belum tahu. Jika bagian atas sebuah parang kita asah, maka parang itu bisa berubah menjadi sebuah pedang. Jadi teruslah belajar supaya semakin tahu."

Dan saya tambahkan:
"Itu pun dalam batasan bahwa setelah belajar, ada yang kita tahu dan selebihnya (harus kita akui) kita belum tahu." Ini sejalan dengan ngelmunya orang Jawa (angél sadhurungé ketemu: susah didapat sebelum dapat, kalau sudah dapat ngelmu yang lain lagi).

Dan Zhuangzi pernah secara retorik berkata:
"Walau diberi umur 300 tahun, tak mungkin saya mempelajari apa yang bisa saya pelajari, konon lagi semua yang ingin saya pelajari ." (Kutipan bebas).

Ketidaktertiban di atas disebabkan oleh "keengganan" atau bahkan "kemalasan" untuk mendengarkan dengan benar, dan "ketidakpedulian" karena anggapan "buat apa saya pikirkan, toh orang-orang lain juga cara ngomongnya seperti itu."

Yang perlu diwaspadai adalah bahwa ketidaktertiban dalam berbicara pada gilirannya bisa jadi menimbulkan ketidaktertiban dalam hal-hal lain.

Selanjutnya, ini hal terkait kedunguan dan pendunguan yang sudah lama hendak saya kupas.
Melalui media yang mengarbit dan mengorbitkan namanya, GR ini semakin hari semakin menjadi-jadi dan tidak memedulikan perilakunya yang tak senonoh dalam berkata-kata "dengan lancar" dan mendungu-dungukan orang lain (bahkan Presiden Republik Indonesia), padahal saya tahu banyak orang yang kata-katanya lancar di depan banyak orang sudah lebih dulu berlatih menghafal berulang-ulang di depan cermin. 

Sok-sok keren si GR ini terlihat dari berulang-ulangnya dia menggunakan kata Asbabunnuzul (yang setahu saya maknanya hanya khusus untuk "sebab-sebab turunnya ayat Al-Quran"), beberapa istilah Filsafat, Hukum, Fisika, dan Kedokteran, dll. (yang menurut saya tinggal beli saja bukunya dan baca, yang, dalam kasus GR, hanya dengan tujuan untuk meningkatkan pikiran, belum tentu dipahaminya dengan benar, lihat artikel saya di sini), dan ke-sana ke mari menceritakan tentang almarhum Haji Agus Salim, serta menggunakan gaya memelankan pengucapan kata berakhiran vokal dan menambahkan "h" sesudahnya (supaya berbeda dari semua orang lain, padahal salah kaprah dan tidak tertib dalam berbahasa). Pembiaran oleh banyak oranglah yang membuat penyakit si GR semakin kronis.

Di sini saya hanya akan membahas 2 hal tak senonoh yang sempat terdengar oleh saya ((saya sama sekali bukan penyimpati GR dan bagi saya ilmu saya tidak akan bertambah 1/∞ (seperinfinitas) pun dengan mendengarkan ocehannya)). 2 hal ini menurut saya harus saya beberkan kepada para pembaca:
1. GR pernah mengatakan bahwa kadang-kadang kata dalam bahasa Indonesia tidak bisa merepresentasikan dengan baik kata dalam bahasa Inggris.

Saya tidak mau menggunakan istilah yang sering digunakan oleh yang bersangkutan untuk menyebutkan yang bersangkutan, karena kalau saya demikian berarti saya sama tak senonohnya dengan dia.

Mestinya lebih kreatiflah dia mencari padanan kata berbahasa Inggris itu dalam bahasa Indonesia, ketimbang merendahkan bahasa Indonesia itu sendiri.

Yang jelas:
- Dia pasti belum pernah membaca buku 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing karya Alif Danya Munsyi alias Yapa Panda Abdiel Tambayong alias Remy Sylado alias sejumlah alias lainnya.

Jika, sesuai perkataan GR,  kata dalam bahasa Indonesia memang tidak bisa merepresentasikan dengan baik kata dalam bahasa Inggris, kata berbahasa Indonesia(?) yang mana yang dia maksudkan? (Pikirkan baik-baik). Sungguh menggelikan.

Catatan:
Saya akan menayangkan artikel berisi koreksi dan keterangan tambahan atas bab tertentu dari buku ini. Pak Remy Sylado sejak dulu sangat saya kagumi.

- GR menderita mentalitas orang taklukan (subservient mentality) menahun karena beranggapan bahwa bahasa Inggris memiliki kedudukan yang lebih tinggi ketimbang bahasa Indonesia, dan dengan demikian kecintaannya kepada bahasa persatuan kita sangat patut diragukan.
- GR diprotes (baca: diberi pencerahan) oleh budawayan kita, presiden Jancukers, mas Sujiwo Tejo, bahwa dia belum mengerti apa-apa (tentang keindahan bahasa) kalau belum pernah membaca Sugih Tanpa Bandha-nya Raden Mas Panji Sosrokartono (artikelnya akan saya tayangkan juga).

Saya sangat sependapat dengan mas Sujiwo dan menurut saya, tiap-tiap bahasa memiliki kekuatan dan kelemahan dan keunikan tersendiri, yang tak dimiliki oleh bahasa-bahasa lain di luar bahasa itu.

Nah, si taklukan Inggris yang satu ini bisa saya pastikan tidak tahu bahwa bahasa Inggris yang dia agung-agungkan itu juga punya banyak inkonsistensi. Sebagian dari contoh yang sudah saya kumpulkan:
- Kata breakfast diucapkan berbeda dengan break dan fast yang membentuknya.
- Kata penjara dalam bahasa Inggris adalah prison = jail. Tapi mengapa prisoner = tahanan, dan jailor = sipir?
- Terus, dengan analogi: employ = mempekerjakan, employee = karyawan (orang yang dipekerjakan), employer = majikan (orang yang mempekerjakan), jelaslah bahwa arti prisoner itu sudah salah total, mestinya tahanan = prisonee, dan prisoner sendiri harus (tidak boleh tidak) berarti orang yang memenjarakan si tahanan.

(Ini akan saya masukkan sebagai koreksi dalam Merriam-Webster Open Dictionary, termasuk dua kata yang saya "koin": "inggil" dan "inggility" (yang saya Indonesiakan kembali menjadi "inggilitas"), yang saya adaptasi dari bahasa Jawa dan saya introduksi ke dalam bahasa Inggris dengan makna masing-masing "santun dalam berbahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan" dan "tingkat kesantunan dalam berbahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan").

Itulah kelemahan bahasa Inggris. Sekarang kelebihan bahasa Indonesia, yang jauh lebih dulu mengadopsi kata Latin "gratis" ketimbang bahasa Inggris yang belakangan baru membakukannya sebagai sinonim for free.

Entah pernyataan di bawah ini asli berbahasa Indonesia atau hasil terjemahan dari bahasa lain, who cares? Yang jelas jangan sekali-kali diterjemahkan ke bahasa lain, karena akan memusingkan dan kehilangan keindahannya.
"Barang siapa mempermainkan permainan, dia bakal menjadi permainan permainan."
(Permainan untuk dimainkan, bukan untuk dipermainkan).

"Yang benar tidak benar-benar benar, apa yang tampak demikian tidak benar-benar demikian

Nah, walaupun
Yang benar benar-benar benar, apa bedanya dengan yang salah tidak bisa kita selesaikan dengan argumen sederhana,

dan, walaupun
Apa yang tampak demikian benar-benar demikian, apa bedanya dengan yang bukan demikian juga tidak bisa kita selesaikan dengan argumen sederhana."

Pahamkah kau kalimat ini GR? Bisakah kau terjemahkan ke dalam bahasa Inggrismu tanpa kehilangan keindahannya yang sejati dalam bahasa kami, bahasa Indonesia?

Sekali lagi, tiap bahasa memiliki keunikan tersendiri. Cobalah kau dengarkan dan pahami "Elang Laut" dalam antologi puisi "Sinandong Menggugat," karya pujangga senior Tanjungbalai Asahan, Syamsul Rizal a.k.a. Tok Laut, sahabatku yang bersahabat dengan W.S. Rendra dan pujangga-pujangga lain yang namanya tidak mungkin saya sebutkan satu per satu di sini.

Coba senaraikan, berapa banyak kata yang kau tahu, berapa banyak yang kau tidak tahu? Bagaimana perasaanmu jika orang lain menggunakan ukuran mereka untuk balik mencapmu doengoe?

2. Saya heran, apakah sudah tidak ada lagi orang yang mampu dengan tenang dan logis mengoreksi kesalahan berbicara si GR di depan publik sehingga dia pun menjadi semakin menjadi-jadi? Yang saya maksud adalah kehebohan yang muncul ketika dia dengan sangat konyol mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi, dengan menggunakan definisi kata "fiksi" yang dibuat-buatnya dengan seenak udelnya sendiri.

Kenapa nggak baca KBBI yang tinggal dibuka saja (saya ambil bulat-bulat):
fiksi/fik·si/ n 1 Sas cerita rekaan (roman, novel, dan sebagainya); 2 rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan: nama Menak Moncer adalah nama tokoh -- , bukan tokoh sejarah; 3 pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran

Yang lebih mengherankan lagi, kenapa tidak ada orang yang meluruskan pemikiran si loose cannon ini dan balik mengacu ke KKBI, atau bila perlu, supaya dia puas, pakai kamus Merriam-Webster:

fic·tion \ ˈfik-shən 
1a : something invented by the imagination or feigned specifically : an invented story … I'd found out that the story of the ailing son was pure fiction. — Andrew A. Rooney
b : fictitious literature (such as novels or short stories) was renowned as a writer of fiction
c : a work of fiction especially : novel Her latest work is a fiction set during the Civil War.
2a : an assumption of a possibility as a fact irrespective of the question of its truth a legal fiction
b : a useful illusion or pretense it was only a fiction of independence his mother gave him; he was almost totally under her power — G. A. Wagner
3 : the action of feigning or of creating with the imagination She engaged in fiction to escape painful realities.
(Geram kali pun aku, keluar bahasa Medanku bah).

Beberapa pesan dan saran buat Anda, GR (mudah-mudahan ada yang menyampaikannya kepada Anda):
1. Anda tidak berhak dengan seenaknya membuat-buat dan menggunakan definisi sendiri yang belum diakui oleh dunia dan mendapatkan kepuasan yang tidak lebih dari sebuah sensasi ilusif yang muncul karena membuat banyak orang kesal dan bahkan murka.
2. Belum tentu, atau lebih tepat lagi mustahil, Anda berhasil mencitrakan diri sebagai seorang "know-all authority," tapi yang jelas Anda sudah tidak bisa lagi menghapus citra Anda sebagai orang yang tak sopan dan tak senonoh.
3. Dunia penuh orang gila
Yang waras disebut gila
Yang gila................. merajalela
- Boe Beng Tjoe
Dan
Sing waras ngalah waelah.
4. Anda bukan, atau (biar Anda sedikit terhibur ketimbang saya katakan bukan), setidaknya sangat jauh berbeda dari, seorang Sutardji Calzoum Bachri, sang presiden penyair Indonesia, yang secara berkompeten menggagas pembebasan kata dari makna, karena menurut pak Sutardji, kata itu sendirilah makna, sedangkan Anda, dengan segala "ketidakdunguan" dan "ketidakkacauan pikiran" Anda, malah mencoba-coba memberikan makna baru kepada kata itu, yang sama sekali bertentangan dengan makna yang sudah ada yang sudah mendarah-daging pada para pengguna kata.
5. Ketimbang Anda terus membuang waktu untuk mengada-ada (baca: memperbesar dan mempernyaring tong Anda), ada baiknya Anda baca beberapa buku bagus yang ada, hitung-hitung buat menambah perbendaharaan kata Anda, antara lain bervolume-volume buku Catatan Pinggir pak Goenawan Mohamad, 111 Kolom Bahasa Kompas, buku pak Alif Danya Munsyi di atas, Lupa 3ndonesa mas Sujiwo Tejo, Pelik-pelik Bahasa Indonesia pak J.S. Badudu, Indonesia: antara Kelisanan dan Keberaksaraan heer A. Teeuw, Berbahasa Indonesia dengan Benar pak Dendy Sugono, dan banyak lagi dan banyak lagi.
6. Janganlah melakukan yang tidak-tidak agar kepadamu tidak terjadi yang tidak-tidak. Pernah diucapkan oleh seorang sahabat sekampung saya, Jhon James Simanjuntak, seorang Kompasianer juga.

Pendek kata, Anda tak ubahnya penyanyi yang menyanyikan lagu ciptaan sendiri yang Anda asumsikan mengenakkan bagi telinga orang lain, padahal sebenarnya tidak, karena Anda tak ubahnya seperti yang dikatakan dalam tongue twisternya orang Jepang: 豚は豚の歌を歌う。

Paham? Kalau tidak paham, itu bukan urusan saya maupun orang lain selain Anda. Anda boleh mengambil pilihan mencari arti kata-kata ini di kamus daring maupun kamus cetak (yang jelas tidak bisa dari kamus Bahasa Inggris), atau, sesuai dengan kepribadian Anda, membuat-buat lagi makna barunya, tapi kali ini jangan beberkan lagi kepada publik, karena tidak penting.

Jonggol, 19 September 2019
Pemerhati bahasa,

Apt.* Mas Ngabehi Johan Japardi 叶丰裕 Yap Juhong Reksohusodo Sinuhaji Pasaribu, S.Si.

*Baca: Apoteker

Poskrip:
Artikel ini sengaja saya ketik dengan campur-sari berbagai bahasa untuk menunjukkan keunikan masing-masing bahasa itu, bak semangkuk potpourri dengan berbagai ramuan yang berbeda-beda, namun dengan tujuan akhir yang sama, memberikan kesemerbakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun