Mohon tunggu...
Frediyanto Hendrayani
Frediyanto Hendrayani Mohon Tunggu... -

Diam-diam menghanguskan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengampuni.

30 Mei 2017   20:10 Diperbarui: 31 Mei 2017   03:38 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“jika kamu membenci orang lain hanya karena ia berbeda agama dengan kamu, maka yang kamu pertuhankan itu adalah agama bukan Allah. Jika kamu membenci orang lain hanya karena tokoh agama atau tokoh panutanmu mengatakan demikian, maka yang kamu pertuhankan itu adalah tokoh agama tersebut, bukan Allah.”

            Bunuh Ahok! Bunuh Ahok! Demikian teriak anak-anak kecil yang berpawai obor dalam sebuah video yang berdurasi sekitar empat puluhan detik. Miris menyaksikan video tersebut, karena teriakan itu justru dilakukan oleh anak kecil bukan orang dewasa. Tentu saja kita dapat menduga bahwa dibalik itu semua ada orang-orang dewasa yang memprovokasi dan menunggangi aksi anak-anak tersebut. Kasihan anak-anak ini, karena sejak kecil dalam otak mereka sudah ditanamkan virus kebencian oleh orang-orang dewasa yang seharusnya menjadi panutan dan teladan kebijksanaan hidup.

            Rupanya, saat ini orang lebih senang membenci daripada mencintai. Orang bahkan bisa membenci orang lain dengan mengatasnamakan Allah. Lihat saja, orang bisa dengan mudah meneriakkan kata-kata “Allah besar! Allah besar!” sambil memasang wajah garang kepada orang yang ia benci. Ia menyangka bahwa aksinya tersebut adalah aksi membela agamanya, padahal tidak ada perang atas nama agama saat ini. Ia menyangka bahwa aksinya tersebut adalah aksi membela Allah, padahal Allah tidak perlu manusia untuk menjadi wakil yang membelaNYA. Aksi tersebut justru memunculkan paradoks. Manusia menggunakan nama Allah untuk murka pada orang yang ia benci, tapi dia lupa bahwa Allah itu justru maha penyayang, maha pengasih dan maha pengampun. Allah itu bukan Allah yang maha membenci, maha murka, maha mendendam, maha mendengki, tapi sebaliknya. Allah itu penuh kasih sayang kepada semua manusia, bahkan yang paling jahat sekalipun. Allah itu maha pengampun. Pengampunan Allah tidak pernah berkesudahan bagi orang-orang yang bersalah dan berdosa. maka, jangan pernah berpikir bahwa jika kita membenci seseorang yang berbuat salah kepada kita, Allah pun akan membenci orang yang kita benci. Allah bukanlah Allah yang seperti itu, karena kalau Allah seperti itu maka Allah akan sama seperti manusia.  Orang yang mengaku beragama seharusnya berusaha untuk meneladani sifat Allah, bukannya berusaha memaksa Allah untuk menyamakan sifatNYA dengan sifat kita. Hidup seorang yang beragama seharusnya semakin hari semakin mencerminkan sifat Allah, bukan malah semakin hari menginginkan Allah yang harus bercermin pada sifat kita (manusia); bukan malah memohon pada Allah untuk membenci atau memusuhi orang yang kita benci. Ini permohonan yang salah alamat.

Allah itu maha kuasa. Tapi kemahakuasaan Allah tidaklah bersifat negatif dan merusak. Kemahakuasaan Allah sifatnya positif. Kemahakuasaan Allah sejalan dengan sifat-sifat Allah yang lain seperti maha pengasih, maha penyayang dan maha pengampun. Oleh karena itu, kemahakuasaan Allah selalu bertujuan demi kebaikan manusia. Allah tidak pernah menunjukkan kemahakuasaannya untuk mencelakakan atau membawa keburukan bagi manusia. Bukankah manusia itu adalah ciptaan  Allah? maka segala apa yang Allah lakukan bagi manusia adalah demi kebaikan manusia. Oleh karena itu, Allah tidak mungkin menjatuhkan Azab bagi manusia seperti yang muncul dalam serial-serial televisi kita. Jika si A mengalami azab dan sengsara, besar kemungkinan hal itu disebabkan karena kelalaian si A itu sendiri atau kelalaian orang lain yang menyebabkan si A mengalami azab dan sengsara, bukan karena kehendak Allah. Untuk lebih jelasnya saya akan menceritakan sebuah cerita.

Seorang teman menceritakan pada saya bahwa ia pernah ditabrak oleh seorang pengendara motor. Akibatnya, ia harus terlempar dari motornya dan jatuh di atas aspal. Pengalaman ini bagi teman saya dirasakan sebagai sebuah rencana Allah. Allah menghendaki ia ditabrak oleh seorang pengendara motor, agar dengan kejadiaan itu ia menjadi lebih berhati-hati dalam berkendara di jalan. Setelah mendengar cerita teman saya ini, saya berpikir sejenak lalu berkata padanya: “kalau seperti itu, berarti Allah itu jahat sekali ya, karena IA merencanakan kamu ditabrak oleh seorang pengendara motor, hanya supaya kamu lebih berhati-hati dalam berkendara”. Saya yakin Allah bukanlah Allah yang seperti itu. Kejadian yang teman saya alami menurut saya murni karena kelalaian pengendara motor yang menabrak teman saya itu, dan bukan merupakan kehendak Allah, karena sekali lagi Allah itu adalah Allah maha penyayang, maha pengasih, maha pengampun bukan maha membenci, maha mendengki atau maha berbuat jahat.

Sebagai manusia seharusnya sifat Allah menjadi dambaan bagi kita. Kita mestinya setiap saat, setiap detik mengupayakan sifat Allah dalam diri kita. Jika Allah itu maha pengasih, maka setiap saat, setiap detik, kita pun harus mengupayakan sifat pengasih itu, bukannya malah mengupayakan kebencian tertanam dalam diri. Jika Allah itu maha pengampun, maka kita pun perlu mengupayakan sifat pengampun itu dalam diri kita. Saya sendiri kagum dengan beberapa tokoh yang menurut saya telah menjadi sosok-sosok pengampun yang patut diteladani. Pertama, Sri Paus Yohanes Paulus II. Beliau pernah ditembak dari jarak dekat oleh seorang pria muslim yang bernama Mehmet Ali Agca. Namun luar biasanya Paus Yohanes Paulus II tidak sedikit pun menampakkan wajah kebencian, ketika datang menemui Mehmet di dalam penjara. Beliau justru mengampuni Mehmet Ali Agca. Kedua, dari dalam negeri, saya kagum dengan kesabaran pasangan suami istri yang anak perempuan satu-satunya dibunuh oleh teman anaknya sendiri (kasus ini terjadi beberapa waktu yang lalu dan menjadi berita hangat di beberapa stasiun televisi). Pasangan ini tidak menampakkan wajah marah dan penuh kebencian ketika bertemu dengan pembunuh anak perempuan mereka. Mereka justru mengampuni pembunuh anaknya, dan menyerahkan semuanya pada proses hukum.

Tokoh terakhir adalah Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Terus terang, saya tidak mengenal Ahok secara pribadi. Saya tidak punya hubungan darah dengan Ahok. Saya juga tidak memilih Ahok saat Pilkada DKI (jelaslah, saya kan bukan warga Jakarta). Tapi bagi saya Ahok ini adalah sosok yang mampu mengupayakan sifat pengampun hadir dalam dirinya. Ketika begitu banyak orang marah, benci hingga ada yang ingin membunuh dia, Ahok yang dikenal tegas dan keras ini justru menerima semua yang terjadi pada dirinya dan mengampuni semua orang yang membenci dia.

Dalam hidup, saya dan anda semua bisa melihat bahwa lebih mudah bagi kita untuk membenci orang lain daripada mengampuninya. Menjadi pribadi yang mampu mengampuni itu memang sulit, tapi jika kita mau terus mengupayakan sifat pengampun itu, maka hidup kita akan menjadi semakin dekat dengan Allah, karena Allah itu adalah Allah yang maha pengampun. Sebaliknya, menjadi pembenci itu mudah dan jika kita terus mengupayakan sifat itu tertanam dalam diri kita, maka hidup kita pun akan semakin menjauh dari Allah karena membenci itu bukanlah sifat Allah. Oleh karena itu, jika nanti ada yang tersinggung dan dan marah dengan tulisan saya ini, maka saya mohon dengan sangat ampunilah saya, karena ada petuah bijak yang mengatakan “jika kamu bisa mengampuni orang lain, maka itu berarti kamu sudah bisa melihat wajah Allah dalam diri orang lain”. Mengampuni akan membuatmu lebih dekat dengan Allah, karena Allah sendiri adalah maha pengampun dan pengasih lagi maha penyayang. Maha besar Allah atas segala ciptaanNYA. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun