Beberapa puluh tahun yang lalu di Maumere, salah satu kota kabupaten yang ada di pulau Flores terjadi sebuah peristiwa yang sungguh menyakitkan hati umat Katolik. Peristiwa itu terjadi saat perayaan misa hari Minggu. Saat upacara komuni atau penerimaan hosti suci yang bagi umat katolik perlambang tubuh Kristus, ada salah seorang pria ikut menerima hosti tersebut tapi bukannya dimakan, dia malah meremas-remas hosti tersebut. Sontak, umat yang melihat aksi priaa tersebut langsung menangkap pria itu. Usut punya usut, pria itu ternyata bukan berasal dari Maumere dan tidak beragama Katolik.
Peristiwa pencemaran hosti itu menyulut kemarahan umat Katolik Maumere. Umat muslim pun menjadi sasaran kemarahan warga. Rumah-rumah warga yang beragama Islam dirusak oleh massa yang marah, bahkan ada yang terluka. Disalah satu sudut kota, tepatnya dari arah daerah Kampung Kabor, massa yang sebagian besar terdiri dari anak muda berduyun-duyun datang ke PERUMNAS untuk mencari dan merusak rumah-rumah warga muslim (banyak juga keluarga muslim di PERUMNAS). Mereka melewati Mesjid dan melempari Mesjid. Selanjutnya mereka melangkahkan kaki menuju pertigaan jalan dan masuk jalan Dahlia.
Tepat dijalan masuk itu, rumah pertama sebelah kanan jalan adalah rumah keluarga muslim. Mereka sepertinya sudah tahu bahwa rumah itu adalah rumah keluarga muslim, sehingga tanpa perlu berlama-lama lagi mereka pun mulai melempari rumah itu dengan batu dan benda-benda lainnya. Kaca rumah itu pecah seketika. Parabola yang ada di atas atap rumah ikut rusak akibat lemparan batu. Tapi rupanya, rumah itu telah kosong. Penghuninya tidak ada di rumah itu. Kemana perginya mereka?
Mereka tidak pergi jauh. Penghuni rumah itu; seorang bapak bersama dengan istri dan tiga anak perempuannya bersembunyi di rumah yang ada di sebelah kiri jalan, tepat berhadapan dengan rumah mereka. Salah seorang pria dari massa itu mendatangi rumah yang ada disebelah kiri jalan itu. Di depan rumah sudah berdiri seorang perempuan paruh baya siap menghadapi pria tadi. Si Pria itu bertanya: “bu, apakah Ibu melihat penghuni rumah ini?” sang ibu menjawab: “mereka ada di rumah saya. Kalau kalian ingin menyakiti mereka, langkahi dulu mayatku”.
Si pria itu tidak berani menghadapi perempuan tadi dan memilih melangkah mundur bersama dengan rekan-rekannya yang lain. Sebagian besar dari mereka adalah mantan murid SD dari sang ibu pemberani tadi. Rasa takut dan penghargaan terhadap seorang ibu yang pernah menjadi guru mereka membuat mereka melangkah pergi dan tidak berani untuk kemballi lagi.
Akhir dari kisah ini membuat kita bertanya-tanya: apa yang membuat sang ibu seberani itu? Padahal, jika ia memilih aman, mungkin lebih baik berikan saja keluarga muslim tadi daripada nanti keluarganya juga malah menjadi korban tindakan brutal massa. Sebagai catatan, ibu pemberani dan kerluarganya beragama Katolik dan sangat taat, bahkan dua orang anaknya bersekolah di sekolah Katolik calon pastor. Jawaban dari pertanyaan itu adalah kasih.
Ya, kasih lah yang membuat ibu tadi berani menghadapi tantangan seperti itu. Kasihnya kepada keluarga muslim tadi membuat ia berani membela mereka karena ia tahu mereka tidak bersalah atas peristiwa yang terjadi saat itu. Darimana kasih yang besar seperti itu berasal hingga mau menantang maut seperti itu? Dari Yesus. Umat Katolik meneladani hidup dan karya Yesus. Selama hidupnya Yesus mewartakan tentang kasih. Bahkan Yesus tidak hanya berbicara, tapi Ia juga melakukan tindakan kasih.
Kisah ibu pemberani tadi mengingatkan saya akan kisah Yesus sendiri, walaupun dengan nuansa kasih yang berbeda. Suatu ketika ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kehadapan Yesus seorang perempuan yang kedapatan berzinah. Mereka lalu berkata kepada Yesus (mereka ini, sering mencobai Yesus untuk menemukan kesalahan Yesus terutama tentang ajaran hukum Taurat): “Rabi, perempuan ini tertangkap basah sedang berzinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan yang demikian.
Apakah pendapatmu tentang hal itu? Yesus lalu berkata kepada mereka: “ barangsiapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini”. Apa yang terjadi setelah Yesus berkata demikian? Tidak ada satu pun yang melempar batu kepada perempuan itu. Mereka semua pulang karena merasa diri sebagai orang yang berdosa. Setelah semua orang itu pulang, Yesus berkata kepada perempuan itu: “tidak adakah yang menghukum Engkau?” “tidak ada”. Lalu kata Yesus: “aku juga tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi.
Kasih seperti ini memang sulit untuk dilakukan, apalagi untuk saat sekarang. Orang jaman sekarang mudah marah, mudah menghakimi orang lain seolah-olah dirinya tidak punya salah atau dosa sama sekali. Ketika disenggol sedikit marah, ada orang yang berbicara yang bukan-bukan tentang agamanya dibilang penistaan agama, bahkan ada orang yang mudah sekali mengatakan orang lain kafir dan pasti masuk neraka seolah-olah dia adalah Tuhan atau tangan kanan Tuhan yanng tahu isi hati atau rencana Tuhan.
Kebencian dan dendam itu justru membuat kita capek. Jika anda membenci atau dendam pada seseorang, anda pasti akan merasakan capek, karena harus memikirkan terus orang itu; bagaimana nanti bersikap pada orang itu jika bertemu dengannya dan berbagai pkiran lainnya yang tidak menentu. Anda menjadi capek sendiri. Hidup anda menjadi tidak tenang dan nyaman. Tapi coba anda bayangkan jika hidup anda dipenuhi dengan kasih. Hidup anda akan penuh dengan damai dan sukacita. Sekarang bayangkan jika hidup semua orang di dunia ini penuh dengan kasih. Maka hidup hanya dipenuhi oleh sukacita dan damai.