Mohon tunggu...
Natalia Syahrazade
Natalia Syahrazade Mohon Tunggu... -

Suka menulis dan mencari teman

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Indonesia di Mata Petruk dan Gareng

13 September 2014   22:51 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:46 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik Indonesia tidak jauh berbeda dari karikatur-karikatur di Pojok-pojok Koran republik ini. Ia begitu penuh dengan paradoks dan kontradiksi, sehingga kita pun dibuat miris dan tertawa sekaligus. Ada pejabat yang alim, shaleh, tahunya korupsi. Ada yang bergelar profesor sains dan aktivis Marxis, tapi ia pergi ke dukun untuk menambah kepercayaan dirinya. Ada juga yang santun dalam sehari-hari, tahunya bersikap sangat kasar saat Pemilu kemarin, mirip dengan pejabaat yang bilang pentingya reboisasi tapi pada saat yang sama sawah-sawah digusur untuk pabrik dan perumahan.

Relitas politik yang demikian, sekilas, tampak normal-normal saja, terutama jika kita melihatnya dari cara pandang realisme-pragmatis ala Machavelli dan Sun Tzu, yang memperbolehkan cara apapun untuk meraih kemenangan dan mewujudkan tujutuan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, katakanlah dari kacamata tokoh Punokawan dalam wayang, realitas politik yang demikian itu akan telanjang kedok-kedoknya, sehingga yang muncul adalah sebuah sandiwara moral yang terbaik-baik, di mana kebaikan dan keburukan tampil dalam posisi yang saling tukar menukar mirip kartu remi, dan akhirnya yang rusak adalah tanan nilai itu sendiri. Jika sudah demikian, maka hancurlah sebuah bangsa dan negara.

1410597475342951445
1410597475342951445

Singkatnya, ketika apar pemimpin yang harusnya dapat menegmban amanah pada lupa diri, pada saaat seperti itu justru rakyat jelata yang disimbolkan dalam rupa Punokawsan wayang mendapat "wahyu ilahi" untuk membuka lanskap kelabu dari realitas itu. Kesatria dan Brahmana Indonesia sudah jarang tirakat, lupa diri, terlalu banyak pesta. Akhirnya Tuhan justru menurunkan wahyunya kepada orang-orang kecil yang hatinya lebih bersih dan pikirannya lebih tajam. Itulah yang ditemukan dalam kartun-kartun Jogja Review, terutama dalam pilpres kemarin, di mana orang-orang bisa berkata tidak santun demi mendukung calon presiden.

14105980291831395352
14105980291831395352

Salam sambil senyum
Jogjanesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun