Perempuan tak sempat memperhatikan kecantikan di masa perang? Rasanya tidak! Tahun 1940, tepatnya saat Perang Dunia II berkecamuk, di mana para laki-laki pergi berperang, perempuan mengambil alih semua pekerjaan mereka. Keterbatasan produk kecantikan akibat peperangan justru menciptakan kecerdikan tersendiri dalam ber-make up.
Bibir merah dan alis coklat melengkung mendefinisikan tren make up yang lazim bagi perempuan dari semua kelas terutama di Inggris dan Amerika, tentu saja pada dekade tersebut. Mereka membutuhkan make up yang tidak ‘rewel’.
Berlawanan dengan perkembangan make up di masa kini yang demikian pesat, make up ala 1940 lebih mirip kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Motif privilese tidak terlalu mendominasi, bahkan kata ‘minimalis’ belum berlaku di sini. Perempuan 1940-an lebih fokus bagaimana menjadi cantik secara gesit.
Pada masa itu, make up bukan sekedar komponen intrinsik dalam gaya keseharian. Bagi perempuan Amerika, lipstik menunjukkan martabat sebuah bangsa. Terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh kalangan perempuan ketika Dewan Produksi untuk peperangan berencana melakukan penjatahan. Memakai lipstik adalah cara menjaga feminimitas saat melakukan pekerjaan laki-laki. Stimulus lain, tak jauh beda dengan fenomena sekarang, iklan-iklan pun mendorong mereka untuk memiliki lipstik.
Agaknya perempuan Inggris tak seberuntung perempuan Amerika. Penjatahan kosmetik tetap berlangsung walau perang usai, bahkan melenggang hingga 1954. Mereka terpaksa mewarnai bibir dengan jus buah bit dan memperoleh shading gelap untuk eyeshadow dari jelaga lilin. Tak hanya itu, keterbatasan alkohol membuat bi-carbonate menjelma jadi penangkal bau badan atau deodoran.
Selengkapnya baca di Jogja Review
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H