Opera Stasiun Di Musim Salju
 Oleh: Djodi B. Sambodo
Entah siapa yang membawaku. Aku hanya tahu, telah duduk di dalam stasiun ini. Satu jam, satu hari, satu malam? Juga tak kutahu. Time, Ive been passing time watching trains go by1), berulang-ulang mengalun bersama jatuhnya butir-butir salju di luar. Bagai dinyanyikan awan kelabu Desember di langit Flagstaff.
 Menggema dan merasuk di telingaku. Mungkin pula di telinga-telinga manusia yang beraneka hati lainnya di bangsal ruang tunggu bersamaku. Beberapa tubuh berayun-ayun. Entah mengantuk atau menikmati senandung lembut di benakku. Aku tak pasti. Irama itu masih membius. Meninakan. Tidak dengan berbaring di atas pasir putih, menatap tarian burung-burung laut. Tetapi tetap sama. Berharap pada sebuah kedatangan.
Sebetulnya bukanlah karena Patroclus, Hector harus mati, seorang tua berjenggot putih dengan mata buta yang tanpa diminta siapa pun, memecah sunyi lewat suara yang janggal. Seperti orang yang mengoceh. Tetapi tidak. Ia lebih tepat bersyair dengan suara yang mengayun-ayun. Layaknya pendongeng keliling yang bicaranya seperti membaca buku kumpulan puisi.
Dan bukan pula salah siapa-siapa bila syair-syair ini jadi hapalan wajib Alexander sebelum menggempur Persia. Juga tidaklah ingin meniru Achilles ketika ia memilih Hephaestion, sahabat lelaki yang teramat dekat.
 "Uno, dos, tres, cuatro, cinco.... veinte....ochenta....uno cien2). Mama, ada seratus, Ma!", suara si kecil di tengah bisingnya kereta lewat dengan empat lokomotif berwarna kombinasi kuning dan hitam, semuanya bertuliskan Santa Fe, menarik seratus gerbong bermuatan peti kemas Evergreen, Lloyd, Maersk, Hyundai dan HJ. Bunt. Tapi sang mama berwajah mirip Frida Kahlo cantiknya wanita latin berdarah Jerman dengan alis bersambung melukisi wajah menjawab pelan dan lebih asyik mendengar bait-bait syair pendongeng tua.
Â
 "S. Usted tiene razn, Carlos3)", berbisik ia membenarkan jumlah hitungan sang anak dengan tangan mengusap lembut kepalanya, sementara matanya melihat ke orang tua itu bicara.
 Aku sendiri seperti tidak mengenal lagi akan sinar. Sinarnya mentari atau rembulan. Karena tidak sedikit pun cahaya yang mampu menembus selimut kelabu yang menyembunyikan langit, bahkan tak ada yang bisa menahan tumpahan salju. Entah berapa kereta lalu lalang. Berhenti, berangkat atau berlalu begitu saja. Bahkan wajah-wajah telah silih berganti tak ada yang kutahu.
 "Pak Tua, bila syairmu bercerita tentang kejamnya rezim Rusia membantai umatnya Muhammad di Chechnya, kau sudah lama diam membisu dengan tubuh membujur kaku", ujar tiba-tiba seorang lelaki beraksen Rusia dan berwajah keras mirip Ivan Drago sebelum bertarung dengan Rocky.
 "Hmmm... Maksudmu aku akan bernasib sama seperti Anna? Anna  Politkovskaya.... Anna Mazepa?" matanya mencorong ke muka lelaki yang memberanikan diri menjadi lawan bicaranya.
"Ya. Dia  memang bukan Anna Kerenina isteri seorang pejabat, Alexei Alexandrovich Karenin, yang dibiarkan Tolstoy mati dilindas kereta api hanya karena konflik perselingkuhannya dengan lelaki lain", Alexei Kirillovich Vronsky. Lelaki tua yang buta itu seperti serba tahu. Dan terus saja menyerocos seperti asap yang mengepul-ngepul dari cerobong lokomotif tanpa henti.