Mohon tunggu...
Djodi Sambodo
Djodi Sambodo Mohon Tunggu... Penulis - Writing is for fun.

Just imagine one day meet Forrest Gum and run together...keep goin' run.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mudik Back Packer

31 Juli 2015   19:18 Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:28 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mudik Back Packer

 

Empat puhun puluh tahun sudah tidak pernah kembali ke kampung halaman yang letaknya di ujung timur pulau Jawa. Berbekal kenekatan dan keingin-tahuan bagaimana rasanya mudik, Tole, sebut saja demikian, pria separuh baya yang biasa dipanggil tole saat kecil oleh mendiang orang tuanya, memantapkan diri untuk "napak tilas" dalam suasana mudik lebaran.

Cuti dari H-2 sampai H+4 dimanfaatkan betul untuk mewujudkan tekad mudiknya yang kebetulan juga didukung dewi fortuna karena mendapatkan tiket kereta api untuk berangkat dan pulang. Bilamana tidak ditolong oleh layanan 121 PT KAI kemungkinan napak tilas ini akan sulit terwujud. Rabu pagi menuju Gambir dengan hanya membawa sebuah tas punggung, Tole mengawali hari pertama mudik back packer. Kepadatan suasana mudik H-2 tidak seramai yang dibayangkannya. Pengaturan rapi berdasarkan nama angkutan dan jam keberangkatan terhadap penumpang yang memenuhi bangsal dan pintu masuk peron membuat seakan-akan tidak ada aktivitas mudik atau seperti hari biasa saja.

Sebelumnya, sepengetahuan Tole, di setiap stasiun kereta api antar kota dimanapun selalu diwarnai antrian panjang di depan loket sampai beberapa meter panjangnya. Belum lagi dengan adanya gangguan calo tiket terhadap pembeli. Pemandangan kali ini jauh berbeda karena sudah diberlakukan pembelian secara online internet dan layanan telepon 121. Untuk jadwal keberangkatan menjelang dan setelah lebaran Idul Fitri telah dibuka 3 bulan sebelumnya, sehingga penumpang yang datang hanya untuk mencetak tiket sendiri di kios pencetakan dengan jumlah mesin pencetak yang tersedia banyak dan memadai. Biasanya ada petugas PT KAI yang siap membantu bagi yang belum mengerti cara mencetaknya. Kalau pun ada antrian beberapa gelintir orang di depan loket adalah mereka yang ingin membeli langsung untuk keberangkatan hari itu juga setelah mengetahui adanya beberapa tiket yang tersedia dari informasi beberapa layar tv yang terpasang di dinding ruang tunggu. Walaupun ini sifatnya hanya untung-untungan saja karena berharap adanya pembatalan dari calon penumpang yang telah membeli beberapa waktu sebelumnya. Antrian panjang hanya terjadi ketika adanya pengumuman yang mengharuskan penumpang memasuki peron atau boarding karena keretanya akan datang dan siap untuk diberangkatkan. 

Tepat pukul 9.30 pagi, Argo Bromo Anggrek Pagi, membawa Tole selama 9 jam dari Gambir ke Pasar Turi yang jaraknya 725 km. Karena menuju arah timur, maka waktu puasanya “diuntungkan” menjadi berkurang 23 menit, sehingga pukul 17.32 sudah bisa berbuka puasa di Bojonegoro. Sampai di Pasar Turi masih bisa mengikuti sholat tarawih di masjid yang berada di samping stasiun. Kemudian istirahat sejenak untuk bersantap malam dan belanja persiapan sahur. Waktu masih cukup untuk menuju stasiun Gubeng guna melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi. Menggunakan taksi, Tole sampai di stasiun Gubeng 1 jam sebelum jadwal keberangkatan kereta Mutiara Timur Malam. Hanya dalam tempo 4 jam, kereta pun tiba di Banyuwangi Baru.

Tole memutuskan untuk mencari penginapan terlebih dahulu yang tidak jauh dengan Panderejo dan Grajaban, rumah yang pernah dihuni dulu bersama orang tuanya. Berbekal kenangan yang samar-samar karena sudah empat puluhan tahun lamanya dan bertanya-tanya ke warga osing setempat, Tole memulai napak tilasnya. Semula tidak ada yang tahu tepatnya dimana jalan Grajaban itu dan Tole pun tidak ingat lagi jalan yang bisa membawanya ke bekas rumah atau makam kakeknya. Saat menyebut nama sang kakek, warga yang ditanyakan tidak ada yang mengenalnya, tetapi setelah menyebut nama Luko Joyo mantan lurah, barulah warga yang mengaku asli Grajaban mengerti dan berbalik bertanya mengenai maksud kedatangan si Tole. Dengan menjawab bahwa dia adalah cicitnya yang ingin menyekar dan bersilaturahmi dengan keluarga buyutnya bila masih ada, maka warga yang ramah itu meminta tolong temannya untuk mengantarkan ke keluarga kakek buyut yang masih ada di Grajaban. Warga yang berbaik hati menjadi ojeg dadakan tersebut tidak ingin dibayar sepeserpun, Tole terharu dan hanya bisa berterima kasih saja karena telah diantarkan ke kerabat yang masih berhubungan darah dengannya. Memori Tole kembali terkumpul dan pelan-pelan tersusun menjadi gambaran masa kecilnya dulu.

Mudik back packer yang dijalankan secara spontanitas ini, ternyata membawa makna yang dalam bagi Tole. Awalnya hanya sekedar ingin menyekar ke makam kakek dan buyutnya ini, berbuah manis dengan tersambungnya kembali tali slaturahmi yang telah puluhan tahun terputus. Karena keesokannya, pada hari raya pertama, bertemu dengan sepupu-sepupu yang merupakan anak dari adik ayahnya yang tinggal di Genteng dan sama-sama sudah tidak memiliki orang tua  lagi. Dimana mereka semua dengan Tole hampir seumur hidupnya tidak pernah saling mengenal dan bertemu. Lengkap sudah kebahagian Tole, walau pertemuan hanya sebentar karena perjalanan mudik back packer baru setengah perjalanan, tetapi komunikasi masih akan terus berlanjut dan Tole sangat yakin akan hal ini. Semoga.

Perjalanan mudik back packer Tole berlanjut ke Jember di tengah hamburan debu-debu tipis gunung Raung yang tengah bergolak kawahnya dan berakhir di Sawahan Turen, Malang. Walaupun di Jember tidak berhasil bertemu dengan sepupunya dari garis almarhumah ibu, tetapi di Sawahan Turen, sambutan hangat kembali diterimanya. Ibu mertua dan saudara-saudara isterinya yang lama hidup di antara asrinya alam persawahan desa dan yang telah terbiasa hidup dalam keramahtamahan dan ketulusan apa adanya ini, makin menggenapi dan memperindah perjalanan mudik back packer Tole. Sebab hidup yang lengkap dan indah adalah kemampuan diri manusia untuk menghargai alam sekitarnya. (31 Juli 15

 

 

 

 

 

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun