Proses institusionalisasi demokrasi dalam pasca era reformasi di negeri kita banyak yang menilai gagal sebab tak mampu membendung tumbuh dan menguatnya kepentingan bisnis yang berumah dan berkonspirasi dengan partai politik. Salah satu bukti kegagalannya adalah persekutuan kekuatan bisnis besar dan elite politik, dari tingkat nasional sampai lokal, yang secara terpusat mengontrol dan memanfaatkan proses politik untuk kepentingan ekonomi-politik sendiri.
Fenomena itulah yang kini dialami walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Walikota yang memimpin Kota Surabaya sejak Oktober 2010 itu kini dilanda tekanan sejumlah kekuatan politik di ibu kota Jawa Timur itu ketika menentang keras pembangunan tol dalam kota Surabaya. Banyak pihak menilai ada persekutuan bisnis dengan salah satu Parpol besar yang mempunyai kepentingan bisnis terhadap pembangunan jalan tol tersebut.
Menurut ibu walikota itu bahwa pembangunan jalan bukan lewat cara menambah panjang jalan di dalam kota, tetapi memberikan sistem transportasi publik yang bagus. Risma berpendapat jalan tol di dalam kota hanya akan mematikan bisnis di sekitarnya. Dampak lainnya, kaki-kaki jalan tol akan menyebabkan banjir di daerah sekitar. Karena berbagai alasan tersebut, Risma memutuskan untuk menolak pembangunan jalan tol Surabaya.
Dalam kasus yang lain, korupsi yang dilakukan Gubernur Banten, Ratu Atut Choysiah, kepentingan bisnis sangat kental dengan politik politik. Pasalnya, proyek-proyek yang tertera pada APBD Banten sebagian besar tender dimenangkan perusahaan milik keluarga Atut. Aspek ekonomi kental becampur dengan aspek politik.
Dalam kasus ini, politik sebagai perjuangan tiap orang secara kolektif merealisasikan kebaikan bersama, problem dari keberadaan oligarki ini tak saja terkait dengan kehadiran gejala politik rente ketika kekuasaan politik terpusat pada hitungan untung rugi bisnis. Lebih dari itu, penguasaan arena politik dan artikulasinya semata-mata bagi kepentingan bisnis politik dari kekuatan oligarkis ini telah membuat setiap langkah pelembagaan demokrasi kian menjauh dari agenda publik.
Dilema politik modern ini mengingatkan kita pada ulasan Profesor (sejarah politik) Christopher Lasch dalam The Revolt of The Elites and the Betrayal of Democracy. Baginya, persoalan dalam politik kontemporer tidak muncul dari penolakan kaum marjinal dan miskin karena rasa frustrasi mereka atas berlangsungnya proses politik demokrasi.
Problem utama muncul dari penolakan kaum elite aristokratik modern memperjuangkan demokrasi sebagai idealitas dan amanah bagi seluruh warga negara dengan segenap aspirasi dan kebutuhannya. Dalam perkembangan politiknya, kaum aristokrat-oligark ini mengisolasi diri pada enklave dan ruang jejaring elitis yang sejalan dengan kepentingan sempit mereka.
Pada konteks relasi bisnis-politik, oligarki nasional sampai lokal yang berpusat di partai dan menjadikan parlemen dan eksekutif sebagai instrumen, kepentingan mereka lebih berimpit dengan aktor-aktor ekonomi berskala besar di sektor finansial, ritel, real estate, dan modal asing daripada bersinggungan dengan kepentingan ekonomi-politik masyarakat bawah .
Perlu dibangun jalan membendung kekuasaan oligarki politik melalui pendisiplinan parpol dan segenap pelembagaan politik demokrasi dengan menampilkan kekuatan sosial akar rumput sebagai subyek politik konkret dalam demokrasi representatif. Dan langkah konkrit menjelang Pemilu 2014 mendatang, sebaiknyamasyarakatr tidak memilih calon legislatif yang berpotensi mengamankan kepentingan bisnis ketika terpilih sebagai anggota DPR.
Yohanes Wawengkang
Jalan Margonda Raya, Nomor 46, Depok, Jawa Barat
joewawengkang@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H