Bahaya Kepemimpinan Otoriter*
*Oleh Muhammad Joe Sekigawa, seorang Pembelajar Sepanjang Zaman
Bismillahirrohmaanirrohiim,,
Kesejatian pemimpin adalah ketika ia disegani, dihormati, dan ditaati. Ditakuti adalah salah satu poin, namun itu porsinya amat sangat kecil ketika ia adalah seorang pemimpin yang sejati. Kesejatian pemimpin dinilai dari kinerja yang ia persembahkan, pengayoman yang ia berikan pada anak buahnya, dan juga kejujuran yang senantiasa melandasi langkah geraknya.
Tapi ternyata di alam nyata, semuanya tak seindah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang. Tipe pemimpin otoriter ini ternyata masih subur hidup di negeri ini, bahkan sebagian dari mereka tak menyadari atau bahkan tidak merasa bahwa dirinya tengah memimpin dengan gaya “selalu perintah tanpa mau mendengar/mendapat masukan”.
Kesalahan fatal dari seorang pemimpin adalah ketika ia menganggap bahwa dirinya pasti selalu benar, keputusannya pasti selalu tepat, dan selain dirinya hanyalah pengganggu saja. Dia hanya mau mendengar masukan dari atasan yang lebih tinggi posisinya dari dia saja, namun dari staf atau bahkan divisi lain, seringkali masukan itu tak dihiraukan dan dibuang di balik punggung belakang. Kepemimpinan ini juga sama sekali tidak memikirkan pengembangan diri stafnya, ide-ide kreatif dan menantang ditolaknya karena tidak sesuai dengan apa yang dia pikirkan.
Ada lagi kejelekan seorang pemimpin dengan tipe otoriter ini juga bahwa staf harus selalu menurut dari apa yang diperintahkan, berlainan pendapat diartikan sebagai melawan perintah. Kebanggaan keberhasilan kerja dinilai sebagai keberhasilan kecemerlangan otaknya, namun ketika terjadi kesalahan, staf lah yang menjadi limpahan kesalahan dan keteledoran yang terjadi.
Tentu, hal di atas adalah berlawanan arah dengan kepemimpinan sejati dimana seorang pemimpin menganggap dirinya sebagai ketua Tim, bukan Bos. Pemimpin dengan tipe ini sangat menyadari betul akan adanya potensi dari setiap anggota staf nya. Bahkan, pemimpin siap dihukum paling awal ketika terjadi kesalahan di departemen nya. Pemimpin tipe ini juga sangat loyal, ramah, baik hati, dan bersahabat dengan staf nya. Bahkan siap menjadi pelayan untuk mencapai tujuan bersama tim.
Keburukan terakhir yang dapat saya ungkapkan dari kepemimpinan otoriter ini adalah tentang “ketaatan semu”. Hal ini saya katakan demikian karena kepatuhan yang ditunjukkan oleh staf hanyalah karena ketakutannya pada atas, tidak atas dasar hati nurani. Lebih buruk lagi ketika staf merasa melaksanakan perintah karena terpaksa, berat hati, bahkan dengan perasaan benci karena atasannya tak dapat mengerti perasaan staf nya.
Oleh karenanya, marilah mengevaluasi diri ketika diri-diri kita tengah diamanahi sebagai pemimpin baik di organisasi sekolah, kampus, ekstra kampus, pekerjaan, hingga jabatan politik sekalipun. Kepemimpinan sejati harus kita praktikkan dengan sepenuh hati, dan menjauhi kepemimpinan otoriter yang penuh dengan ketikdakenakan hati.
Salam hangat dan semangat selalu dalam dekapan ukhuwwah
#Kembang Janggut-Kutai Kartanegara, Rabu pagi menjelang siang, 26 Juni 2013#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H