Persaudaraan Tanpa Sekat Nasionalisme*
*Oleh Muhammad Joe Sekigawa, seorang Pembelajar Sepanjang Zaman
Bismillahirrohmaanirrohiim,,
Di zaman yang serba modern ini, para manusianya disibukkan oleh hal-hal yang bersifat hedon (serba mewah) dan juga individualis, hingga apatis. Ketidakpedulian mereka terhadap lingkungannya sama parahnya dengan ketidakpeduliannya terhadap persoalan bangsa dan negaranya. Kalau sudah seperti ini, banyak sekali kalangan yang menyerukan untuk menebalkan kembali rasa nasionalisme untuk membangun bangsa.
Secara umum, nasionalisme diartikan sebagai rasa kecintaan terhadap tanah air bangsanya melebihi atau di atas kepentingan diri pribadi/kelompoknya sendiri. Konon katanya, karena rasa nasionalisme yang tinggi ini pulalah, maka bangsa Indonesia dapat bersatu dan mengikrarkan hari kemerdekaan pada bulan Ramadhan di hari Jum’at, 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia yang waktu itu penduduknya sekitar 90% umat muslim ternyata memiliki konsep yang lebih “mewah” dibandingkan dengan nasionalisme.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah menghilangkan sekat-sekat rasa kecintaan yang berlebihan terhadap keluarganya, sukunya, bahkan lingkup bangsanya sendiri. Ikatan tersebut adalah ikatan agung berlandaskan ketaatan kepada Rabbul izzati. Ikatan yang tidak hanya dipersatukan ketika di dunia, namun juga direkatkan sampai di akhirat kelak. Ikatan cinta antara sesama muslim dan mukmin yang bernama ukhuwwah.
Ukhuwwah Islamiyah tidak memandang batasan negara yang sekarang terkotak-kotakkan menjadi ratusan buah ini. Namun, dimanapun dia berada, selama masih menyembah Allah dan mengakui Muhammad sebagai Rasul Allah yang terakhir (memeluk agama Islam), maka disitulah persaudaraan senantiasa terjalin erat meski rupa kulit, rambut, bahasa, dan budaya yang sama sekali berbeda.
Masih ingatkah ketika Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mempersaudarakan antara Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar di Madinah? Keimanan yang kuat mempertautkan hati-hati orang beriman dan bahkan mengedepankan orang lain ketimbang dirinya (itsar). Bukankah Allah juga telah berfirman di dalam Al Qur’an, “Orang-orang beriman itu sesungguhny bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (Q.S. Al Hujuraat, 49:10).
Maka, sudah sepatutnya dimanapun orang mukmin berada, ketika bertemu dengan orang mukmin lainnya, sama-sama menyayangi dan mencintai atas perjuangan di jalan Allah. Dan konteks zaman sekarang, miris rasanya ketika isu antara Indonesia dan Malaysia selalu dibuat panas, maka kebencian yang disebabkan bukan atas dasar akidah, seolah-olah melebihi kebenciannya terhadap orang kafir yang jelas-jelas menjajah peradaban umat Islam dengan peradaban Barat yang super bebas hingga bebas nilai. Padahal kita tahu sendiri bahwa mayoritas masyarakat bangsa Indonesia dan Malaysia adalah umat muslim yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya (berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Al Hadist).
Ditambah lagi, rasa individualisme dan apatisme yang menggurita hingga persoalan saudara seiman di Arakan (Myanmar), Gaza (Palestina), Syiria (Suriah), dan masih banyak lagi seolah-olah dirasakan bukan urusan kita yang berada di Indonesia. Berbagai alasan ditampilkan hanya untuk menutupi rasa tanggung jawab sebagai saudara untuk saling membantu dan menolong, dimanapun tempatnya.
Semoga, ke depannya, kita lebih sadar dan peduli, bahwa ikatan Ukhuwwah Islamiyah, lebih agung daripada nasionalisme. Karena di dalam Ukhuwwah Islamiyah telah mencakup nasionalisme, sedangkan nasionalisme semata tidaklah lebih tinggi dari ikatan kesukuan yang diagung-agungkan oleh masyarakat Jahiliyyah masa 1400 tahun silam. Wallahu a’lam bisshowab…
Salam hangat dan semangat selalu dalam dekapan ukhuwwah
#Kembang Janggut-Kutai Kartanegara, Ahad sore, 23 Juni 2013#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H