MALAM itu, sejenak sebelum pengajian usai, tiba-tiba seisi balai menegang hebat. Seorang lelaki bersuara nyaring dan lantang berteriak-teriak mengucapkan salam, yang seketika menyentak kami sekalian. Manakala dia muncul di pintu, sosok tegapnya segera menarik perhatian kami. Pandangan murid-muridku terpacak kaku, terpukau senyap manakala menatap rupa garang itu, melebihi ketakjuban atau ketakutan mereka kala melihat hantu. Lelaki gagah itu punya kumis sangat tebal, helai demi helainya yang kaku dan kasar itu menyemak hebat di bawah cuping hidungnya yang mancung. Tiada seorang pun di antara kami yang tidak mengenalnya dengan baik. Nama lelaki itu begitu masyhur, orang-orang kerap menyebut dirinya hampir di saban percakapan. Dialah Ahmadi si Kumis Tebal, lelaki yang menakutkan sekalian orang! ITULAH penggalan pembuka kisah dalam novel Lampuki yang berlatar Aceh pada masa perang. Arafat Nur, penulis asal Lhokseumawe mempercayakan novelnya pada penerbit PT Serambi Semesta Jakarta, meskipun kemudian dia mendapatkan tawaran dari Bentang. Novel ini terasa ada segundukan kisah yang mengejutkan penuh sindiran, juga turut menggugat prilaku masyarakat kampung yang rumit. Jika ditilik dari perilaku, hampir tak ada kelakuan yang benar, tetapi pencerita menerimanya dengan sepenuh hati, dengan rasa cinta dan benci! Itulah alasan kuat Dewan juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010 yang memilih Lampuki sebagai pemenang. Novel ini dianggap satire cerdas mengurai konflik TNI versus GAM, yang pada ujungnya menyengsarakan rakyat kecil. Disamping bahan ceritanya terasa emosional, serta penokohan yang bukan hitam-putih. “Inti untama dari Lampuki adalah kisah yang terjadi dalam kekacauan politik dan kerumitan hubungan di sebuah kampung ganjil. Kisah-kisah yang saya angkat ini sebetulnya tidak jauh betul dari kenyataan yang ada, bahkan ini merupakan kebenaran-kebenaran yang tak terduga,” kata Arafat Nur pada Atjeh Post. Kata Arafat, Lampuki ditulis selama dua tahun lebih. Secara umum Lampuki tidak tunduk pada pakam sastra yang sudah ada, ceritanya dipengaruhi gaya umum yang berkembang di Eropa dan Timur Tengah, tetapi lebih condong pada kearifan dan karakter keAcehan yang kental dan menggigit. “Saya berusaha menangkap kerumitan-kerumitan yang tidak mudah dipahami orang lain, selain orang Aceh sendiri. Saya yakin, semua rang dapat menikmati dengan mudah kisah dalam novel ini,” ujarnya. Novel Lampuki merupakan novel pemenang Sayembara Novel tingkat nasional di Jakarta. Kemenangan ini sekaligus memecahkan kebuntuan karya novel Aceh karena sejak tahun 1974, baru Lampuki yang berhasil menang. “Kemenangan ini adalah kemenangan orang Aceh dalam dunia sastra. Secara pribadi saya tidak merasa bangga, karena memang tak ada faedahnya, tetapi saya merasa puas kalau Lampuki bisa dibaca banyak orang, sehingga gagasan yang saya tulis di dalamnya tersampaikan semua,” ucapnya. Rahasia di Balik Kelahiran Lampuki sebelum Lampuki lahir, gagasan cerita yang akan Arafat sudah mendesak dibenak Arafat. Dia juga menulis di rumah dimana kejadian itu bermula. “Saya pindah ke rumah tempat cerita itu terjadi. Dan Saya langsung mendalaminya,” katanya. Namun tak dipungkiri, tetap ada rasa jenuh, sehingga cerita-cerita ganjil yang berlangsung di seputar kompleks perumahan pensiunan tentara, tempat baru dimana Arafat menulis, semakin mengusik dan mengesalkan. Arafat mengatakan, “Lampuki itu adalah sebentuk kesadaran saya terhadap kehidupan penduduk yang terpuruk, kalah, dan mirip gelandangan, yang menyebabkan perilaku mereka menyimpang. Sesungguhnya hal serupa juga menimpa kepala orang Aceh secara umum, yang mereka itu tidak pernah sadar siapa sesungguhnya mereka.” Cerita Arafat. Arafat Nur selain menjadipemenang pada prestasi di DKJ, juga pemenang ke tiga Sayembara Cerpen Taman Budaya Aceh (1999), juara III Sayembara Novel Tingkat Nasional Forum Lingkar Pena (FLP) Jakarta (2005), juara harapan Sayembara Cerpen Online Telkomsel (2005), juara III Sayembara Novel Do Karim Banda Aceh (2006), dan juara I lomba Menulis Tentang Kampung (2009). Arafat aktif mengikuti berbagai kegiatan seni, di antaranya Pertemuan Sastrawan se-Sumatera di Banda Aceh (1999), terlibat dalam Pengadilan Sastra atas cerpennya di Banda Aceh (2000), Dialog Utara XI di Lhokseumawe (2005), Sastrawan Masuk Sekolah (2006), Investigasi Jurnalistik oleh Aliansi Jurnalistik Independent (2006), menjadi juri lomba lukis di kampus dan juri lomba tulis dan baca puisi di sekolah-sekolah, mengajar menulis fiksi bagi mahasiswa di sekolah alternatif (2007), dan membina menulis bagi pelajar, mahasiswa, guru dan dosen di Lhokseumawe (2007-sekarang). Karyanya yang telah terbit ke khalayak ramai anatara lain Percikan Darah di Bunga (Zikrul, 2005), Meutia Lon Sayang (Mizan,2005), Cinta Mahasunyi (Mizan,2005), Cinta Bidadari (Pustaka Intermasa, 2007), Nyanyiam Cinta di Tengah Ladang (Pustaka Intermasa, 2007), Romansa Taman Cinta (Aliansi Sastrawan Aceh, 2007), Ciuman di Suatu Senja ( Cerbung di Hr. Analisa), Zikir Cinta Perawan (Cerbung di Hr. Analisa). Berikutnya dia akan menerbitkan tetralogi dari Lampuki, yang sebagiannya telah rampung, yaitu Jibral si Rupawan, Laskar Jibril, Khunsa, dan Anak Jadah. Sejauh ini semua novel lanjutan itu sedang dalam penggarapan, seiring dia menyelesaikan novel bergenre lain, yaitu Perempuan-Perempuan Simpanan. (www.atjehpost.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H