Mohon tunggu...
Juniardi SIP, MH
Juniardi SIP, MH Mohon Tunggu... profesional -

Lahir di Kota Metro, 3 Juli 1975. Dilantik menjadi Komisioner KOMISI INFORMASI Provinsi Lampung Periode 2011-2014 dan menjadi Ketua. Sebelumnya, aktif di berbagai Surat Kabar lokal dan nasional. Harian Lampung Post (2003-2011), dan kontributor media massa nasional. Pembina Parmuka Mahir Lengkap Tegak Dega, Anggota Dewan Kehormatan Daerah PWI Cabang Lampung. Menyelesaikan pendidikan hingga S- 1 di Kota Metro dan melanjutkan jenjang pendidikan Magister di Universitas Lampung, lulus dengan predikat cumlaude. Mengikuti Pertukaran Pemuda Antar Provinsi tahun 1998 dan menjadi alumni The Future Divice Leader tahun 2010. Pelatihan mediator bersertifikat yang diselenggarakan Institute for Conflict Tranformation (IICT) tahun 2012. Memperoleh penghargaan Kamaroedin dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung tahun 2012. Penulis buku “Hak Anda Mendapatkan Informasi”, Indepth Publishing, 2012

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Profesor dan Dosen Asongan

20 Februari 2013   07:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:00 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak dan ayah berdebat soal kualitas pendikan. Sementara aku menjadi pendengar, dan sekali-sekali terlibat dalam diskusi dalam perjalanan ke Kota Metro itu. Selasa (19-2)

“Pendidikan adalah suatu penentu agar bangsa kita dapat melangkah lebih maju dan dapat bersaing dengan negara–negara lainnya. Melihat kekayaan alam Indonesia yang melimpah, sangat disayangkan apabila semua kekayaan alam di Indonesia tidak dapat diolah dan dimanfaatkan oleh anak Indonesia sendiri. Hal ini terjadi karena kurangnya Sumber daya manusia yang berkualitas, di mana pendidikan menjadi titik tolak dari keberhasilan suatu negara.” Kata sang Ayah, yang juga Dosen itu.
“Bukankah, kita sudah banyak melahirkan SDM berkualitas. Dosen dosen kita banyak yang Profesor, Doktor, baik dalam dan luar negeri,” jawab anak, yang sambil mengendalikan setir mobil, xenia itu.
“Ya, tapi kenyataanya, banyak Profesor, dan Doktor itu, tidak lagi memikirkan kualitas anak negeri ini. Mereka lebih banyak keluar, dan mahasiswa di kampus, diserahkan kepasa asisten,’ timpal ayah.
“Waduh, itu artinya dapat semakin memperburuk kualitas pendidikan. Karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dan keterbatasan biaya bagi anak yang kurang mampu, membuat pendidikan di negara ini menjadi suatu masalah yang cukup kompleks. Peran dari pemerintah dalam membangun pendidikan, dengan 20% anggaran itu, mubajir,” jawab Anak, yang baru akan memulai, melanjutkan kuliahnya itu.
“Ya, gambaran itu sudah tercermin dari banyaknya anak-anak usia sekolah belum mendapatkan pendidikan yang layak, atau bahkan tidak sama sekali. Jangankan di daerah pedalaman, di ibukota sekalipun kita masih dapat menemukan anak-anak yang tidak sekolah, karena tuntutan ekonomi dan kesadaran akan pentingnya pendidikan.” Aku menimpal.
“Sumber daya manusia yang berkualitas, tercipta dari pendidikan yang bermutu dan terstruktur dengan baik. Karena dengan begitu, akan membangun pengetahuan, sikap tertib dan rasa disiplin anak dalam menjadi individu-individu yang bermutu dan beretika. Dengan demikian, akan terlahir pula anak bangsa yang dapat melanjutkan pembangunan dan perkembangan dari negara ini.” Kata Ayah, mulai bijak.
“Lalu, kenapa para Profesor, dan Doktor itu, memilih keluar. Apa karena penghasilan di luar lebih menguntungkan. Jika itu alasannya, bagaimana dengan komitmen, sumpah janji, dan integritas, termasuk tanggung jawab mencerdaskan anak bangsa ini,” kritik anak.
“Wah, jika ini dibiarkan bisa berbahaya. Ketika Profesor, Doktor kita, selalu dilirik orang luar, lalu mereka mengajar disana, mencerdaskan orang-orang disana. Sementara, anak-anak negeri kita dibiarkan, mencari kecerdasan sendiri. Berarti para profesor, dan doktor itu hartus segera back to basic ya yah” Kritik anak.
“Ya, ayah menyebut mereka adalah Dosen asongan, dimana ada keramaian, disitu mereka hadir. Mereka senang dengan acara-acara seminar-seminar, dan diskusi-diskusi, dan melupakan tanggung jawab terhadap anak didiknya. Meski tidak semua, masih ada beberapa dari mereka yang peduli dengan kualitas anak didiknya. Harus kembali ke jalan yang benar,” Ucap ayah.
“Dengan banyaknya penduduk dan luasnya negara Indonesia, hal ini memang bukan masalah yang mudah untuk dihadapi. Tidak cukup dengan peran pemerintah untuk lebih fokus dalam mementingkan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak, serta kecermatan pemerintah dalam mengembangkan potensi anak. Karena tidak sedikit anak-anak yang berpotensi tidak mendapat perhatian dari negara, tetapi lebih mendapatkan perhatian dari negara lain. Padahal, bukan hal mustahil bagi Indonesia yang 25% jumlah penduduknya adalah generasi muda, untuk menjadikan negara ini menjadi negara yang sudah siap bersaing dan menjadi negara yang lebih maju.,” gunam ku dalam hati. Semoga. ****
(Juniardi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun