“Politisi beradab”akan selalu berkaitan dengan perspektif kehidupan masyarakat, yang memiliki hubungan-hubungan tertentu, yang sering disebut sebagai struktur sosial, sehingga penilaian terhadap politisi dapat saja berbeda diantara berbagai struktur sosial tersebut.
Kaitan politisi beradab dengan struktur sosial sampai sekarang masih menjadi perdebatan, apakah struktur itu yang membentuk politisi menjadi beradab, sebagai entitas yang terpisah, atau bahkan politisi yang membentuk struktur sosial yang memungkinkan terbentuknya kelompok elit dalam masyarakat.
Tidak sedikit orang mengkritik, bahwa tersubordinasinya persoalan politik kedalam struktur (sosial), menyebabkan politik dipakai sebagai alat untuk menunjang struktur yang telah ditetapkan oleh ”grand design” politisi tertentu. Hal ini menyebab kan politik tidak saja kehilangan otonominya, melainkan juga telah dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga menjadi sekadar alat legitimasi untuk membenarkan tingkah lakunya, masuk didalamnya moral dan etika. Apalagi saat menjelang pemilihan umum.
Dari berbagai refrensi, menyebutkan moral dan etika adalah dua hal yang tidak terpisahkan karena pada dasarnya moral adalah tingkah laku yang telah diatur atau ditentukan oleh etika.
Moral sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu moral baik dan moral jahat. Moral baik ialah segala tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai baik, begitu juga sebaliknya dengan moral yang jahat.
Saya menyebut Moral adalah segala kesusilaan yang berlaku. Moral juga adalah pernyataan pikiran yang berhubungan dengan semangat atau keantusiasan seseorang dalam bekerja
Persoalan etika dan moral politisi, sejauh yang saya ketahui,selalu hadir dan menjadi topik diberbagai mass media, dan bahkan hampir semua stasiun televisi sepanjang tahun.
Ada lembaga survey menyebutkan bahwa pamor politisi DPR “jeblok” di mata masyarakat. Responden yang menilai bahwa kinerja politisi itu baik hanya sebesar 23,4%, bahkan 51,3% diantaranya menilai bahwa kerja politisi sangat buruk.
Dari hasil survey ini, setidaknya perlu menjadi pelajaran agar meningkatkan pola kaderisasi dan sistem rekruitmen calon anggota legislatif, yang lebih baik dan selektif.
Sementara masyarakat diharapkan, untuk memilih calon anggota legislatif yang berkualitas dan berintegritas, sehingga pada akhirnya, banyak muncul politisi yang menjunjung moral dan etika, atau saya sebut sebagah “politisi beradab”.
Saya setuju dengaan ungkapan Ketua DPR-RI Marzuki Alie, yang menyatakan idealnya, politisi (beradab) harus dapat mengarahkan masyarakat untuk masuk kedalam keadaan dan tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang memungkinkan terjadinya situasi yang berkeadilan sosial.
Revitalisasi dan reaktualisasi nilai etika dan moral politisi agar dapat tampil sebagai politisi beradab, merupakan upaya yang perlu dilakukan.
Pengembangan dan pembinaan kader politik perlu diarahkan untuk mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa, melalui aktualisasi nilai-nilai etika dan moral,dan penguatan ketahanan budaya dalam menghadapiderasnya nilai materialisme, lalu meningkatkan kemampuanpara politisi dalam mengapresiasi pesan moral yang terkandung padasetiap kekayaan dan nilai-nilai budaya bangsa, serta kemudian, mendorongkerja sama yang sinergis antar-pemangku kepentingan dalam mewujudkan visi bangsa Indonesia, yaitu bangsa dengan peradaban mulia dan luhur.
Tiga hal tersebut sejalan dengan cita-cita reformasi yang bertujuan membangun sebuah masyarakat sipil yang demokratis, dengan penegakan hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat. Semoga.
(Juniardi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H