15-16 Juni 2012; Pentas Karya Fajar Suharno, TRILOGI SEPATU dan MAHKOTA. Produser: IBK Yoga Atmaja; Joko Kobong Produksi: KAWANUSA Popular Education Media Center [caption id="attachment_188714" align="alignleft" width="300" caption="Fajar Suharno"][/caption] Cukup lama saya tidak menonton pertunjukan seni di Societet Taman Budaya Yogyakarta, kalau tidak salah terakhir 4 tahun lalu, ketika sahabat sepuh seorang pelukis-perupa, sekaligus pemusik mengajak menonton karya teater salah satu sahabatnya. Tidak banyak berubah suasana dan situasinya, kenangan masa lalu kejayaan pentas teater yang masih tergambarkan pada pementasaan Hari I Karya Fajar Suharno, "Trilogi Sepatu dan Mahkota". Kalangan lama seniman teater, kerabat seniman dan pandemen di masa lalu hampir semua datang, generasi sepuh generasi kejayaan masa lalu yang masih memiliki kekuatan "magis" kuat untuk menghipnotis penonton dengan kharisma dan ulah teatrikal pentasnya. Hari ke II penonton relatif berbeda,..anak-anak muda mendominasi, beberapa mahasiswa dan segerombolan anak muda kelompok teater dari berbagai sekolah menengah di Yogyakarta. Sempat sekilas bertanya, "darimana Dik? dari kelompok teater SMAN X Mas. Di undang atau memang inisiatif untuk menonton pentas karya Mas Harno? Diundang Mas,..kami berombongan dapat undangan gratis! Kemudian beberapa pertanyaan saya lontarkan, tentang teater di Yogyakarta, tokoh-tokohnya dan juga beberapa karya mereka. Tidak heran, tidak banyak yang mereka bisa kemukakan, maklum generasi anak-anak muda ini tertinggal jauh usianya, mungkin 45 tahun belakangan terlahirkan setelah Mas Harno dan se-angkatannya malang melintang di dunia teater Yogyakarta. [caption id="attachment_188715" align="alignright" width="300" caption="Mahkota Kekuasaan"]
[/caption] Pentas teater di Yogyakarta, kota budaya dan kasur tempat lahir dan tempa diri tokoh-tokoh teater memang kelihatan semakin lusuh dan berdebu! lusuh dan berdebu untuk bisa melahirkan tokoh sebagaimana kejayaan masa lalu. Entah karena memang tidak banyak event pementasan teater lagi, atau memang teater telah ditinggalkan penontonnya, kalah dengan TV atau seni lainnya yang lebih bisa cepat menjanjikan materi dan menjadikan pesohor. Mungkin analisis saya salah, tidak banyak bahan yang bisa saya gunakan untuk melihatnya, se-buta anak muda SMA tadi. Mengundang kelompok-kelompok teater dari sekolah-sekolah menengah atas selain sessi "komersial" dalam pentas-pentas teater tampaknya bisa menjadi pembuka jalan kembali meramaikan pentas-pentas teater di Jogja. Apalagi jika dilanjutkan dengan workshop bersama antar generasi! melepas batas pentas bersama menghidupkan kembali membersihkan kasur lusuh tempat melahirkan tokoh-tokoh muda teater. Karya Mas Harno yang dipentaskan bersama Landung Simatupang, Joko Kamto dan Bambang Susiawan kali ini, sebagaimana yang telah saya tulis di jelang Pentas Trilogi Sepatu dan Mahkota, memang selalu bermuatan Imagi "nakal", penuh dengan kritik sosial dan penentangan atas ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa dan atau tragedi kemanusiaan selalu mewarnai benang merah tema-tema naskahnya. Teringat suasana dua malam kemarin, seolah saya dibawa angan bayangan pikir mengembara seperti saat membaca haiku kawan kecil Monita Mecihadila (kelas 3 SD) tentang sop pecok dekat kali code: aroma kaldu gemericik arus code di dalam mangkok [caption id="attachment_188716" align="alignright" width="240" caption="Bambang Susiawan"]
[/caption] Aroma kaldu perpaduan "bumbu" antara puisi, cerpen dengan monolog/monoplay sebagai bumbu utama pertunjukan yang terasakan menggelitik suara gemericik arus gelombang polah pikir saya ketika merasa trilogi sepatu dan mahkota. Saya tidak akan berusaha menterjemahkan apa yang tersurat maupun tersirat karya pentas Mas Harno, tentu jauh dari pungguk interpreatasi saya. Saya hanya akan mencoba menuliskan apa yang telah disulut bahasa simbolik gerak dan kata Trilogi Sepatu dan Mahkota dipikiran saya. [caption id="attachment_188717" align="alignright" width="240" caption="Joko Kamto"]
[/caption] Pengusaha(-)Penguasa(-)Rakyat Biasa, sebuah lakon yang digambarkan dengan seorang pengusaha swalayan yang bermimpi berkuasa menjadi penguasa, penguasa dengan memanfaatkan rakyat biasa yang dipaksa "mencuri" sepatu dan mahkota. Rakyat biasa selalu terkorbankan, rakyat biasa dipaksa menjadi pencuri karena hak-haknya telah dicuri terlebih dahulu oleh perselingkuhan pengusaha-penguasa dengan memisahkan "gembung" dengan sepatu (kaki) dan mahkotanya (kepala). Kepala berjalan dengan kaki tanpa gembung (perut, jantung dan hati) berpikir berlari saling menendang mencari-cari "gembung" yang tercuri oleh dirinya sendiri ketika pemilu. Kebudayaan-Peradaban dan Prilaku menjadi tidak tersambungkan, naluri primitif menemukan jalannya kembali, sebuah devolusi kemanusiaan. Perselingkuhan pengusaha-penguasa, pemain menjadi wasit, wasit menjadi pemain rakyat biasa hanya bisa menjadi penonton dan harus membayar karcis untuk membiayai mereka bermain, entah siapa tuan, hamba dan penghamba tiada beda ketika kebudayaan-peradaban-prilaku tidak menemukan sambungannya lagi. Pengusaha Penguasa Rakyat Biasa, [caption id="attachment_188718" align="alignright" width="300" caption="Landung Simatupang"]
[/caption] Mungkin masih ada harap sebagaimana puisi yang dituliskan Mas Harno dalam Pelajaran Buat Anak-Anaku: suasana langit menampung segala ada adalah ruang di otakmu yang harus kau siapkan terangnya pandangmu melihat persoalan tidak ragu pada tengkuk, isi dan bayangannya sampaikan-sampai padang lembar demi lembar pikiranmu adalah irama yang akan selalu kau buka maka siapkan jemarimu terampil memainkannya panjang dan dalam nafasmu akan jadikan kau setegar kuda tak kata terdengar keluh ketika kusir melecutkan pacu jaga gunung pelihara lembah dan panas matahari yag selalu menghangatkan jaga hati tak satupun kemasukan iri maka bebaskan dari sangkut, buat lanjutkan kau punya kerja hari-harimu senantiasa terjaga biarpun kabut dan hatimu senantiasa gembira tak ada kabut Catatan seorang penonton
JH2012 Sumber Foto: Sumobagor Herlambang YudhoBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya