Mohon tunggu...
Rainer Jeftanatha Benardhy
Rainer Jeftanatha Benardhy Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA

Pelajar SMA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hakikat Sekolah yang Sesungguhnya

25 November 2022   19:27 Diperbarui: 9 Maret 2023   19:56 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kamu berpikir bagaimana rasanya bersekolah di sekolah terbaik? Mungkin kamu akan membayangkan sebuah sekolah dengan fasilitas yang lengkap dan berkualitas, guru-guru yang berkompeten, teman-teman yang menyenangkan, dan memiliki aturan-aturan yang wajar. Pastinya banyak pelajar yang ingin menimba ilmu dalam lingkungan yang mendukung seperti itu. Namun, pada kenyataannya, tidak semua sekolah memiliki fitur-fitur "sekolah terbaik" itu. Masih ada oknum-oknum yang tidak bijak dalam mendukung lingkungan pembelajaran yang produktif.

Sebut saja fasilitas sekolah yang dibangun tetapi tidak dirawat, seperti lapangan rumput, toilet, properti kelas, dan lain-lain. Ada juga guru-guru yang bertindak semena-mena dalam mengajar, memberikan tugas, hingga perlakuan yang kurang adil terhadap murid-muridnya. Bahkan, aturan-aturan yang berlaku di lingkungan sekolah sering kali tidak logis. Contohnya, ada sekolah yang melarang murid-muridnya menggunakan sepatu selain warna hitam. Mengapa harus hitam? Mengapa tidak boleh warna lain? Apakah itu mengganggu proses pembelajaran? Aneh, bukan? Sekolah seharusnya menjadi tempat yang mendukung kolaborasi antara guru, pelajar, dan seluruh warga sekolah.

Sekarang mari kita berbicara tentang sejarah pendidikan di Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda dulu, rakyat pribumi tidak memiliki kesempatan untuk belajar di sekolah. Hasilnya, mereka kebanyakan adalah orang-orang yang kurang terpelajar. Namun, pada tahun 1901, pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik etis atau politik balas budi terhadap rakyat pribumi. Kebijakan ini diterapkan sebagai bentuk balas budi Belanda kepada rakyat pribumi yang telah bekerja keras dan rela menderita untuk memberikan kekayaan sumber daya alam kepadanya. Kebijakan ini meliputi irigasi, edukasi, dan emigrasi. Dalam hal edukasi, Belanda membangun sekolah-sekolah seperti HIS, MULO, dan AMS. Meskipun pada kenyataannya hanya golongan-golongan tertentu saja yang dapat bersekolah pada masa politik etis ini, namun kebijakan ini secara tidak sadar cukup efektif untuk melahirkan berbagai gerakan persatuan dari golongan pribumi yang terpelajar. Setelah beberapa masa, berkat perjuangan para tokoh-tokoh pergerakan nasional yang tak ternilai, Indonesia mencapai kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dapat kita simpulkan bahwa kunci dari pendidikan adalah "memerdekakan." Kita bisa lihat dari kenyataan bahwa edukasi yang diberikan oleh Belanda pada masa politik etis telah menjadi salah satu senjata terbaik bangsa Indonesia dalam mengusir para penjajahnya, Belanda dan Jepang. Pendidikan memerdekakan orang dari kebodohan, dan di masa sekarang, orang-orang memiliki kesempatan yang sama untuk menimba ilmu. Era globalisasi telah membuka dan memperluas ruang lingkup ilmu pengetahuan dan kesempatan menimba ilmu dengan kualitas yang lebih baik, seperti munculnya banyak sekolah yang menggunakan kurikulum Cambridge, IB, dan lain-lain bersamaan dengan kurikulum nasional.

Oleh karena terciptanya "kemerdekaan" itu, seluruh elemen sekolah harus menghargai kemerdekaan seorang dengan yang lain. Pelajar dapat mensyukuri kemerdekaannya dengan semangat belajar yang tinggi dan menghargai "kemerdekaan" warga sekolah yang lain seperti guru. Guru dapat mensyukuri kemerdekaannya dengan memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anak muridnya dengan sepenuh hati dan dengan pendekatan yang sesuai atau cocok. Lalu, guru perlu menghargai "kemerdekaan" warga sekolah yang lain seperti pelajar. Sementara itu, petinggi sekolah dapat mensyukuri kemerdekaannya dengan memberikan fasilitas sekolah terbaik untuk semua warga sekolah, merekrut guru-guru berkompeten, dan memberlakukan aturan-aturan yang rasional, pula menghargai kemerdekaan semua warga sekolah.

Daftar Pustaka:

Davidlharlan, D. (2012, September 26). Commons:upload. Wikimedia Commons. Retrieved November 25, 2022, from https://commons.wikimedia.org/wiki/Commons:Upload

Unknown author, U. author. (2009, November 26). Commons:upload. Wikimedia Commons. Retrieved November 25, 2022, from https://commons.wikimedia.org/wiki/Commons:Upload

Hina, E. S. (2018, September 4). B2 blog. b2 blog. Retrieved November 25, 2022, from https://2--bp.blogspot.com/

Kurniasih, W. (2022, January 12). Pengertian Politik Etis: Program, Latar Belakang, Dan Tokoh Yang terlibat. Gramedia Literasi.

Retrieved November 25, 2022, from https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-politik-etis/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun