Ambon, 19 Januari 1999. Pertengkaran antara seorang sopir angkutan umum kota yang beragama Kristen Ambon dengan seorang penumpang pendatang Muslim Bugis timbul karena masalah sepele: uang Rp 500. Bukan peristiwa yang luar biasa di Ambon atau di tempat lain di Maluku apabila seorang penduduk asli terlibat perselisihan dengan perndatang yang tidak disukainya.
Anehnya peristiwa tersebut telah membuat suatu kerusuhan interkomunal yang berlangsung kurang lebih tiga tahun di Maluku. Peristiwa tersebut juga telah mendorong kekerasan panjang antara orang - orang Muslim Ambon asli dan Kristen Ambon asli dalam skala yang belum pernah terjadi dalam periode modern.
Namun pada hari ini, tepatnya di Bulan Mei 2019 Maluku sudah kembali menemukan jati dirinya sebagai rambu dalam hidup bertoleransi seklaigus penunjuk jalan keluar bagi konfrontasi Muslim-kristen di seluruh dunia.
Karena bagaimana pun Maluku tidak bisa menyembunyikan identitas budaya mereka dimana islam dan kristen terikat oleh hubungan yang mendalam. Oleh karena itu penulis akan menyajikan beberapa kebudayaan asli Maluku yang dapat dijadikan pelajaran untuk membangun kehidupan Negara Indonesia ke arah yang lebih baik.
1. PELA GANDONGÂ
"Semangat pela gandong itu harus tetap ada di hati orang Maluku agar kehidupan kekeluargaan tetap terjaga di antara masyarakat" Megawati Soekarno Putri
Ada satu kebudayaan khas di tanah Maluku, khususnya Maluku Tengah, yang tidak dapat dijumpai di bumi Indonesia lainnya. Kebudayaan tersebut dikenal dengan Pela Gandong. Kerap menjadi kebanggaan masyarakat Maluku sejak dulu hingga sekarang. Pela diartikan sebagai "suatu relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain yang berada di pulau lain dan kadang menganut agama yang berbeda."Â
Sedangkan gandong bermakna "adik". Perjanjian ini diangkat dalam sumpah yang tidak boleh dilanggar. Pada saat upacara sumpah, campuran soppi (tuak) dan darah dari tubuh masing-masing pemimpin negeri akan di minum oleh kedua pemimpin setelah senjata dan alat-alat tajam lain di celupkan, atau dilakukan dengan memakan sirih pinang. Hubungan Pela ini terjadi karena suatu peristiwa yang melibatkan beberapa desa untuk saling membantu.Â
Oleh sebab itu, pela dipahami sebagai persaudaraan yang kekal dan tidak dapat diganggu gugat oleh orang di kampung - kampung yang bersekutu. Ada empat pemikiran pokok yang mendasari pela, yakni (1) kampung - kampung yang ada dalam persekutuan pela saling tolong - menolong pada waktu krisis (bencana alam, perang, dsb) (2) seandainya diminta, kampung sekutu pela harus turut membantu menyelesaikan pekerjaan besar masyarakat, seperti membangun gereja, masjid dan sekolah (3) apabila sesama pela mengunjungi kampungnya harus dihidangkan makan dan tidak perlu meminta izin apabila mau memetik buah - buahan, kacang - kacangan serta hasil bumi lainnya. (4) pela dipahami sebagai suatu hubungan sedarah sehingga pernikahan antar pela dianggap perbuatan inses dan karenanya sangat dilarang.
Bagaimana jika budaya pela gandong ini dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan antar agama di Indonesia?