Mohon tunggu...
Joel Abner Haryono
Joel Abner Haryono Mohon Tunggu... Peserta Didik

Soli Deo Gloria!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Hidup di Jatiluhur

27 April 2025   21:37 Diperbarui: 27 April 2025   21:37 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beraktivitas di tempat asing selama empat hari tiga malam bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi jika dilakukan di tempat terbuka. Dari Minggu, 13 April 2025 -- Rabu, 16 April 2025, kegiatan Jambore XXXV di Waduk Jatiluhur telah terlaksana. Jambore ini merupakan kegiatan 'perkemahan' kedua angkatan 38 non-Garda/non-Senat selama berada di SMA Kolese Gonzaga. Menurut KBBI, "Jambore" artinya pertemuan besar. Hal ini memang tepat. Jambore XXXV dihadiri oleh 277 peserta yang merupakan angkatan 38 SMA Kolese Gonzaga. Namun, sejatinya kami hanya 1. Satu keluarga Angkatan 38 SMA Kolese Gonzaga. Kegiatan empat hari tiga malam ini meninggalkan begitu banyak pengalaman, mulai dari pengalaman menyenangkan sampai yang kurang mengenakkan.

Salah satu peristiwa paling berkesan saat jambore adalah trekking. Di tengah teriknya sinar matahari, peserta jambore dituntut untuk bisa menyusuri jalan yang cukup jauh. Tidak hanya menyusuri jalan, namun peserta diharuskan menyelesaikan tantangan di setiap pos. Tantangan-tantangan tersebut bervariasi serta menguras pikiran dan tenaga. Meski susah, kelompok penulis -- Ignasius Loyola -- berhasil menyelesaikan seluruh tantangan pada trekking dengan baik. Kami bergantian untuk membawa barang bawaan yang berat. Dengan begitu, beban tidak hanya ditanggung oleh satu orang anggota, namun juga oleh anggota-anggota lainnya. Selama trekking, kebersamaan kami terasa lebih erat. Kami saling memperhatikan supaya tidak ada yang tertinggal -- no one left behind.

Di balik kesan baik, tentu ada kesan kurang baik yang membekas. Salah satunya adalah masalah serangga. Di ruang terbuka, alam adalah 'penguasa'. Alam bisa berbuat apa saja, termasuk mengerahkan hewan-hewan untuk 'menemani' tidurnya manusia. Hal inilah yang dirasakan di tenda kelompok penulis. Dalam satu tenda, ada tiga orang: Mada, Abner, dan Angger. Pada malam pertama, kami lupa menutup zipper tenda. Alhasil, banyak hewan liar yang masuk (terutama laba-laba). Namun, saat itu kami belum menyadarinya. Barulah saat malam hari ke-3, ketika hendak memasuki tenda, Mada melihat laba-laba berukuran sekepalan tangan. Kami langsung gerak cepat untuk mengusirnya. Setelah berpikir sejenak, saya, Mada, dan Angger memutuskan untuk membunuh laba-laba tersebut. Setelah laba-laba dibunuh dan dibuang, muncul 2 laba-laba lain. Namun, ukurannya kali ini lebih kecil. Kami pun melakukan hal yang sama --- membunuh kedua laba-laba tersebut. Setelah memastikan area dalam tenda aman, kami pun tidur lelap. Kendati di dalam tenda kelompok terdapat banyak serangga, hal paling mengejutkan pada Jambore ini adalah tidak ada serangga yang mendekat saat penulis sedang melaksanakan Solo Night. Tuhan benar-benar menjaga, sehingga satu serangga pun tidak ada yang hinggap di dalam/luar bivak penulis.

Secara keseluruhan, pengalaman Jambore ini sudah pernah dilalui sebelumnya (kecuali "pra-Makrab"). Namun, ada satu insight baru selama jambore ini. Yaitu, untuk mendayung cepat, dibutuhkan 7 pendayung pada rakit berukuran 2 x 3. Tiga di kiri-kanan, satu lagi di belakang yang berfungsi sebagai supir. Setelah Jambore XXXV ini, penulis merasakan perubahan yang terlihat cukup signifikan. Jika sebelumnya, penulis tidak bisa mengangkat beban berat (>7 kg) dalam waktu yang cukup lama, sekarang penulis bisa mengangkat beban hingga 20 kg sembari berjalan jauh. Ini merupakan dampak dari barang bawaan Jambore yang banyak, sehingga mengharuskan penulis untuk mengangkat beban yang berat.

Inspirasi menarik pada Jambore ini berkaitan dengan slogan

Duc In Altum
Bertolaklah ke Tempat yang Lebih Dalam

Slogan ini mengajak manusia untuk keluar dari zona nyaman ke zona-zona dimana fisik/emosional seseorang didorong sampai titik penghabisan. Jambore ini sesuai dengan slogan tersebut, bahkan penulis merasa tema yang diambil seharusnya Duc In Altum. Karena pada Jambore, para peserta diajak untuk mendorong kemampuan dirinya untuk melampaui batas maksimal yang dianggap oleh orang itu sendiri. Karena, sejatinya batas kemampuan hanyalah sugesti dari pikiran manusia. Jambore ini mengajak pesertanya untuk berusaha dengan maksimal dan pantang menyerah.

Finding God in All Things. 

Salah satu slogan SMA Kolese Gonzaga yang cukup terkenal. Peserta didik harus bisa menemukan kehadiran Tuhan dalam segala sesuatu dan maknanya yang dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Jambore ini, penulis berniat untuk lebih patuh dan mau untuk dipimpin. Jika sudah ada pemimpin yang ditunjuk secara khusus (misalnya: ketua kelompok), maka sudah sepatutnya anggota-anggota kelompok mengikuti apa kata pemimpinnya. Barulah, apabila tidak ada pemimpin yang ditunjuk, salah seorang anggota berinisiatif menjadi pemimpin kelompok tersebut. Selain mengikuti pemimpin, penulis berniat untuk lebih cepat dalam berpikir dan bertindak. Prinsip baru dari Jambore ini adalah Datang -- Lihat -- Tindak. Semua itu harus dilakukan dengan cepat, di bawah satu menit, bahkan kurang. Penulis ingin lebih menumbuhkan rasa inisiatif yang lebih, sebab penulis sadar bahwa inisiatifnya masih kurang, terutama selama pelaksanaan jambore ini.

Non Scholae sed Vitae Discimus
Kita Belajar untuk Hidup, bukan Hidup untuk Belajar

Selain pendidikan karakter, pendidikan akademis juga diasah selama jambore. Saat jambore, penulis menemukan setidaknya tujuh mata pelajaran yang saling berkaitan, yaitu fisika, kimia, biologi, ekonomi, sejarah, geografi, dan matematika. Aspek fisika dapat dilihat dari konsep tekanan hidrostatis dan hukum Pascal. Tekanan hidrostatis terdapat di air waduk. Semakin dalam kedalamannya, maka tekanannya pun semakin besar. Hukum Pascal dapat dilihat dari aliran air waduk ke PLTA yang dipengaruhi perbedaan ketinggian dan tekanan. Aspek kimia dapat dilihat dari kelaikan kimiawi air waduk untuk langsung dikonsumsi atau digunakan untuk memasak. Salah satu faktor kelaikan kimiawi adalah pH air. Melalui pengetesan secara langsung menggunakan kertas lakmus dan pH meter, air di Waduk Jatiluhur memiliki pH sekitar 7,5 dan layak untuk diminum langsung karena cukup bersih. Aspek biologi dapat dilihat pada dinamika ekosistem di sekitar camp area. Ekosistem di sekitar camp area sangat berbeda dengan Kota Jakarta, misalnya di taman kota. Di camp area, binatang beraneka ragam. Banyak binatang melata maupun serangga yang hinggap di pohon dan tanah. Sedangkan, di taman kota, misalnya Taman Langsat, serangga yang terlihat sangat sedikit. Binatang melata pun nyaris tidak ada. Pada aspek ekonomi, dapat dilihat mayoritas mata pencaharian warga sekitar Waduk Jatiluhur adalah pedagang warung kelontong. Hal ini dipengaruhi warga yang mayoritas merupakan pendatang dari desa sekitar. Sejarah dapat dilihat dari tujuan awal pembangunan waduk. Ilmu geografi dapat meninjau kontur tanah, kondisi angin, kelembapan udara, dan struktur bebatuan di sekitar waduk. Kemudian, ilmu matematika dapat meninjau perhitungan debit air mengalir di PLTA Jatiluhur. Pada akhirnya, kegiatan jambore ini secara garis besar memberikan dua pendidikan, yaitu secara moral dan akademis. Kedua aspek pendidikan ini memiliki satu pesan besar, supaya manusia lebih peduli dan merawat lingkungan di sekitarnya. Selaras dengan tema Jambore XXXV "Merawat Bumi, Rumah Kita".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun