Adalah suatu hal yang bersalahan apabila menangis setelah kedapatan mencuri, atau bukan mencuri, korupsi misalnya; seperti kebanyakan yang kita lihat di tivi-tivi. Bukan tentang lumrah atau tidaknya, tetapi kelakuan demikian mencerminkan bahwa ia tidak siap menanggung akibat dari tindak tanduk yang menyeretnya ke meja hukum.
Dewasa ini, berbuat salah bukan lagi aib. Aib sudah diibaratkan moment untuk menaikkan pamor, lihat saja bagaimana para seniman musik ternama Indonesia tersandung kasus prostitusi, apakah ada efek jera ketika masyarakat mencibirnya? Saya raya tidak ada, toh mereka enjoy-enjoy saja, malah lebih berani menunjukkan taring didepan media. Dan yang mengherankan lagi ada saja kelompok manusia yang memberi dukungan penuh untuk yang bersangkutan agar tabah menjalani hukuman. Sudah diobok-obok akhlak anak bangsa, malah berterima kasih.
Kembali lagi ke masalah menangis diatas, kemarin (30/9) ada lagi yang berlaku demikian, betapa seorang Direktur Akfar Banda Aceh Ermeyda Ch, SE ikut-ikutan menangis setelah divonis 5,2 tahun penjara dengan denda 250 juta serta uang pengganti 436 juta (Harian Rakyat Aceh). Menangisnya itu entah sebuah bentuk kesedihan atau terharu ? Wallahualam.
Saya beranggapan, menangisnya itu bukanlah sebuah bentuk kesedihan ataupun terharu, melainkan sebuah perasaan yang timbul begitu saja ketika banding yang kita ajukan tidak didengarkan alias ditolak.
Banyak orang bukan 'beliau' saja, pasti menangis ketika kita mendapati nasib demikian, sedih ataupun sebagainya ketika kesalahan-kesalahan menjadi buah bibir khalayak ramai, dipublikasikan, dibaca oleh sanak-saudara, ayah-ibu, musuh-sahabat, karib-kerabat, dan lainnya. Dengan demikian semua orang akan tau bahwa kita telah kedapatan memaksa kehendak dengan mengambil yang sebenarnya bukan hak kita. Sungguh teraniaya bukan?
Apalagi saat memikirkan bagaimana perasaan ayah-ibu-anak-menantu-cucu-kakek setelah terang-terangan divonis mengambil harta negara untuk memperkaya diri, berleha-leha, bermegah-megah sudah barang tentu dan pasti mereka akan malu; iya malu. Maka disaat bersamaan air mata tidak akan terbendung. Menangis dan terus menangis hingga air mata kering.
Bergerak dari situ, ada juga segelintir manusia yang belum terendus akal bulusnya maka bersenang-senanglah, persiapkan diri sedini mungkin untuk siap tidak menangis apabila nanti juga kedapatan mencuri, oh bukan mencuri, korupsi. Juga persiapkan topeng baru bagi keluarga untuk berjaga-jaga apabila suatu hari nanti tertangkap tangan, suruh mereka bertranformasi ke wajah baru agar mereka tidak menanggung malu. Belajarlah dari senior-senior seperti Gayus Tambunan, Mas Anas, Bu Ratu Gubernur, Mbak Enji atau lain sebagainya kawan seprofesi kalian.
Atau bisa juga menangis di hari penentuan nasib didepan Mahkamah Agung untuk menuai rasa iba dari hadirin dan hadirat yang menyaksikan, dan/atau mengundang simpati dari sanak-saudara dan/atau sebagai topeng bahwa merasa menyesal telah berbuat salah dan ingin segera tobat. Dengan demikian bisa jadi nanti tidak segera diberi hukuman dan boleh jadi diberi kesempatan untuk plesir ke manca negara sekalian menghabiskan harta benda agar tidak disita negara. Menagislah, menangislah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H