Mohon tunggu...
Joel Alta
Joel Alta Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cantik bukan untuk dipuji; Jelek bukan untuk di hina; Miskin bukan untuk di caci; Kaya bukan untuk di bangga; Kita disini: jitucell.com // habatekno.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nelangsa

2 Oktober 2014   00:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:44 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada banyak hal yang bisa kulakukan jika aku masih punya pegangan kuat seperti dulu, persis seperti ketika suamiku masih ada.

Sekarang semua impianku buyar. Cita-cita dan harapan menata masa depan yang lebih baik hanya berupa angan, tak kesampaian.

Mungkin semua orang disini bisa saja iba dengan nasibku hari ini, lebih tepatnya kasihan. Betapa dulu kami tumbuh di desa ini, hidup berdampingan dan seingatku tidak ada riuh atau cekcok tak berkesudahan. Suamiku yang sedikit diberi kemudahan rezeki tidak sombong, boleh dikata dermawan dan murah hati. Dia sangat menyayangi anak yatim, terlebih yang ayahnya seperjuangan dengannya dulu, di hutan belantara.

Sekarang apa boleh dikata. Nasi menjadi bubur, pisang lepas dari tandan. Pasang telah surut, sarden, kepiting, dan ikan-ikan kecil lainnya telah kembali ke peraduan, tinggallah semak belukar yang tersangkut di kaki-kaki jembatan.

Angir semilir tepi pantai menggoyahkan dahan bakau, membuat ranting-rantingnya yang kering berjatuhan. Tampak di laut lepas kapal-kapal timbul tenggelam. Nyiur diujung selatan melambai-lambai, sesekali terlihat tupai yang kegirangan berkejaran dengan kawanannya, tidak pernah bosan. Aku sedari tadi berada disini menyaksikan keindahan cipta Tuhan, tapi seperti begitu hening, tanpa warna, tanpa rasa. Mungkin karena kegalauan yang kian mendera.

Saat hati risau, aku menyempatkan diri kesini. Melihat matahari mengulum senja, berupa hitam menyelimuti alam, menanti gelap membuai malam yang kian terasa sunyi, sepi. Tak luput ku bawa permata jiwa yang sejak umur 3 tahun sudah ditinggal pergi ayahnya. Hanya itu harta yang sekarang kumiliki, intan delima nan indah yang diilhami dari suamiku tercinta. Peninggalan-peninggalannya yang lain sudah dulu disita, ada sepetak tanah yang dulu sempat kami beli itupun sudah ada yang menggugat, kata mereka surat-suratnya tidak sah, ya sudah... bagiku itu tak apa. Manis hanya sebentar, pahitnya terasa lama.

Ku seduhkan kopi yang sengaja ku bawa dari rumah, berharap bisa menghilangkan sedikit lara. Terasa aneh, bayang-bayang suami tetap bermunculan, apalagi mengingat ketika sehari sebelum orang-orang berdasi menjemputnya ke rumah dengan alasan ada keperluan partai, kami disini menghabiskan hari dengan canda tawa melihat buah hati kami bermain pasir girang bukan kepalang.

Lima tahun sudah, "setelah keperluan partai, ada rapat dadakan" begitu mereka beralasan, suamiku juga belum pulang. Tidak tau rimbanya walau sudah kami cari kemana-mana, melibatkan dukun-dukun (kebiasaan di Desa kami jika ada kehilangan-walau itu hal yang bersalahan dengan agama) juga tidak mempan, katanya sudah dibawa ke hutan. Hutan mana? Juga wallahua'lam, "dasar setan" batinku membentak.

Lima tahun, waktu yang lama. Tapi luka, pilu masih tetap ada. Rasa kehilangan tetap membekas di dada.

Perlahan sesudah kepergiannya aku berusaha hidup mandiri, bekerja apa saja yang penting halal demi mengepulkan asap di dapur dan untuk keperluan lainnya, termasuk sekolah putriku.

Tahun kedua, aku sudah mulai bangkit. Dengan bekal ijazah S1 Ekonomi aku memberanikan diri melamar kerja (lagi). Punya pengalaman yang mantap dan umur belum terlalu tua, aku yakin akan mudah diterima.

Sebelumnya akupun sudah pernah bekerja di perusahaan BUMN, tapi karena suamiku menginginkan aku untuk sepenuhnya tinggal dirumah maka kuputuskan untuk berhenti bekerja. Alasannya cukup kuat, dia ingin aku tidak terlalu capek apalagi saat itu aku sedang mengandung untuk anak kami yang pertama.

Suamiku seorang pengusaha. Bukan pengusaha kaya, tapi hidup kami berkecukupan. Disaat usia pernikahan kami sudah tiga tahun lima bulan, sudah dikaruniai satu putri, suamiku memutuskan untuk masuk ke ranah politik. Suamiku mencalonkan diri sebagai anggota DPR Kabupaten diusung oleh sebuah partai yang boleh dikata cukup dominan di tempat tinggal kami.

Namun sebenarnya aku khawatir dan sangat was-was dengan keputusannya itu. Mengingat politik itu licik, picik, kotor dan boleh diketahui didalam politik itu "tidak ada kawan abadi yang ada hanya kepentingan abadi" begitu orang-orang menyebutnya.

Rasa kekhawatiran itu terjawab sudah, malapetaka yang menyesakkan dada itu tiba hanya setelah satu bulan dia mencalonkan diri. Sekelompok orang berdasi dengan menebar senyum palsu membawanya entah kemana. Hingga hari ini batang hidungnya tidak terlihat lagi.

***

Aku diterima bekerja di anak perusahan BUMN, tidak bertahan lama. Cuma satu tahun, perusahan bangkrut, sebagian karyawan di PHK termasuk aku didalamnya.

Derita makin menjadi-jadi, di tahun ke tiga pemilik tanah membuat ulah. Tanah yang kami beli katanya bermasalah, sertifikat yang kami pegang ternyata palsu, dan agen perantara yang mengurus semua surat menyurat tanah tersebut sudah melarikan diri.

Tidak sampai disitu, ditahun ke-empat setelah suamiku hilang tanpa arah, putriku sakit parah, lima hari tidak sadarkan diri. Dokter mendiagnosanya terkena penyakit ITP (Idiopathic Thrombocytophenic Purpura) keadaan dimana jumlah trombosit terus menurun tanpa diketahui penyebabnya, hari demi hari keadaannya semakin parah. Segala cara telah aku tempuh, berusaha agar penyakit putriku segera sembuh. Ikhtiarku tidak sia-sia. Setelah dua puluh tujuh hari dirawat, berangsur-angsur keadaannya mulai membaik. Hatiku sudah sedikit lega.

***

Betapa pilu hati ini, tepat di tahun ke lima suamiku pergi, putri jelitaku kembali masuk rumah sakit, penyakitnya kambuh lagi. Tubuhnya membiru, tidak sadarkan diri disertai kejang-kejang yang sangat dahsyat, aku menangis tersedu-sedu. Cuma dua hari dirawat, kemudian diapun pergi menjumpai ayahnya.

Tidak ada lagi penyemangat hidup ini. Suami tiada, jelita pelipur lara-pun sudah tiada. Tinggallah aku seorang diri tanpa arah tujuan kemana akan ku labuhkan haluan.

***

Dengan rasa putus asa, duka berkecamuk, hati seakan remuk, aku sudah bagaikan nelangsa yang tak tau bagaimana jalan kehidupan yang akan aku jalani. Aku benar-benar rindu ingin kembali ke masa lalu, masa dimana bisa tersenyum getir pada tiap jengkal langkah hidup. Rindu akan suami, rindu pada putri jelita ku.

Hari ini, tepat dua ribu hari kepergian suamiku. Aku menyempatkan diri ketempat ini, tempat dimana kami saling melepas rindu. Pantai yang indah bersama nyiur melambai, desir pasir berkilauan tersapu cahaya, pohon bakau yang sempoyong oleh angin barat daya, juga perahu nelayan yang timbul tenggelam bagai bunga hiasan yang menggugah selera. Tapi sudah lima tahun keindahan-keindahan itu sudah tidak berarti apa-apa, hanya membuat hati kian luka.

Lima tahun belakangan ini, aku mengibaratkan diri bagai angsa ditengah lautan, disaat bersamaan datang badai yang maha dahsyat. Berusaha untuk naik kedaratan terlalu payah, nekat tetap dilautan akan tenggelam tersapu badai atau jadi mangsa ikan-ikan buas penghuni lautan. Hati ini kian bimbang. Jalan kehidupan tidak terlihat lagi, jiwa sudah sangat lapar akan kebahagian.

Mungkin sudah cukup disini kisah lara ini. Ku tulis dengan gelisah dan mata berkaca-kaca disaat senja mulai temaram, bersama rindu yang mulai padam. Tidak ada lagi, iya tidak ada lagi yang bisa ku pertahankan. Bila nanti ada yang menemukan tulisan ini berserakan dijalan atau terdampar dipantai tempat biasa aku rebahan mohon sampaikan pada dunia, pada siapa saja bahwa aku selalu merindukan suamiku, putri jelitaku.

Maka hari ini tepat pada dua ribu hari kepergian suamiku aku memutuskan untuk memperjuangkan rinduku, menyambung kembali ranting-ranting yang telah patah semoga tumbuh merekah menjadi dahan-dahan yang indah. Sampai jumpa kekasih selamat tinggal dunia, ku kubur segala yang lara dipantai penuh cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun