Reformasi politik setengah hati yang dicapai oleh Thein Sein selama sebelas tahun justru akan menjadi bom waktu terciptanya kudeta militer kembali terulang sebab bagaimana demokrasi bisa berjalan jika Panglima militer masih memegang kekuasaan tertinggi di atas Presiden dan melibatkan militer secara intens masuk ke dalam instalasi politik sipil di parlemen serta menjadikan partai politik sipil sebagai rival politiknya.
Konklusinya jangan ada harapan pemerintahan sipil dapat berdaya dan bertahan dalam menjalankan roda pemerintahannya selama belum ada pemisahan militer antara polisi dan tentara, selama komando polisi ada dikewenangan tertinggi Panglima militer, selama militer dilibatkan dalam instalasi sistem politik sipil di parlemen dan selama kekuasaan Panglima Militer berada di atas Presiden.
Hikmah dari kudeta militer di Myanmar justru telah membuka mata masyarakat internasional yang selama ini salah menimpakan beban Aung San Suu Kyi perihal penindasan Negara kepada minoritas Rohingya sebab urusan minoritas Rohingya adalah sepenuhnya otoritas Panglima militer, sementara Kebijakan pemerintahan sipil yang dikendalikan oleh Aung San suu Kyi tidak akan berdaya jika kewenangan sudah ada pada kendali otoritas Panglima militer.
Akhirulkalam, jika masih ada negara selain Myanmar yang memposisikan Panglima militernya di atas Presiden sipil dan kedudukan Presiden sipil  hanya sebagai kepala pemerintahan admistrasi negara dan bukan sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, maka kondisi Negara seperti ini hanya menunggu waktu peluang bakal akan terjadi kudeta militer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H