Awalnya ketika digulirnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di DPR adalah inisator dari DPR sendiri dan bukan dari Pemerintah. Namanya saja usulan RUU yang tentunya harus mendapat persetujuan di semua fraksi yang terdiri dari para anggota Dewan di rapat paripurna. Jika pada rapat paripurna usulan RUU HIP ternyata tidak mendapat persetujuan dari suara terbanyak para anggota Dewan dari semua fraksi, maka usulan RUU tidak dapat menjadi RUU HIP. Jika usulan diterima oleh mayoritas fraksi, maka usulan RUU akan deal menjadi RUU yang siap diserahkan kepada Presiden untuk ditandatangani.
Tegasnya, yang namanya usulan ya tetap saja usulan yang tentunya bisa ditolak atau disetujui. Dalam sistem demokrasi yang namanya penolakan dan persetujuan harus didasari oleh suara terbanyak dari pihak-pihak yang dilibatkan. Dalam aturan main pada konstitusi kita, rakyat Indonesia yang berjumlah 267 juta berdasarkan catatan data BPS tahun 2018, aspirasi rakyat telah diserahkan kepada masing-masing wakil rakyat melalui sistem Pemilu yang terpilih duduk sebagai anggota Dewan.
Jadi, proses pembentukan RUU jika kita melihat dalam perspektif sistem demokrasi dalam konstitusi kita, maka rakyat Indonesia yang berjumlah 267 juta sudah dilibatkan dalam setiap proses pembentukan RUU melalui masing-masing perwakilannya di DPR. Tapi melihat hiruk pikuk aksi perlwanan sebagian masyarakat yang menolak RUU HIP, saya mendadak menjadi bingung sendiri sebab aturan main yang berlandaskan konstitusi mendapat penolakan terbukti para wakilnya yang duduk sebagai anggota Dewan tidak mendapat legitimasi kepercayaan dari rakyatnya. Kalau sudah demikian untuk apa diadakan pemilu legislatif dan apa gunanya lembaga Negara bernama DPR?
Apa yang telah menjadi keberatan sebagian dari elemen masyarakat Indonesia terhadap RUU HIP ini yang notabene RUU HIP ini telah disepakati oleh sebagian besar fraksi dari sebagian besar anggota Dewan, kecuali PKS dan Demokrat, yang mewakili 267 juta penduduk Indonesia?
Kalau pihak yang anti RUU HIP ini beralasan bahwa kandungan isi dalam draft RUU HIP ini akan mengkerdilkan Pancasila dan memberikan peluang terhadap kebangkitan ideologi Komunisme, maka mengapa sebagian besar fraksi dari sebagian besar anggota Dewan yang mewakili 267 juta penduduk Indonesia tidak memberikan sikap penolakannya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas tentunya agar saya tidak terperosok kepada pemahaman yang gagal, maka saya harus membaca dan sekaligus mencerna semua isi draft RUU HIP, apakah benar RUU HIP ini memang mengkerdilkan Pancasila dan memberikan peluang terhadap kebangkitan ideologi Komunisme? Perihal pro kontra maraknya issue kebangkitan komunisme yang digaungkan oleh sebagian elemen masyarakat, saya tidak akan berbicara yang tidak ada dan yang tidak nyata saja serta menghindar pada perdebatan apologia dengan cara sudut pandang kacamata kuda.
Setelah saya mengupas tuntas isi kandungan draft RUU HIP, saya tidak menemukan adanya indikasi untuk melemahkan Pancasila kecuali maksud yang tersirat dalam RUU HIP ini tiada lain dan tiada bukan ingin memperkokoh Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Sedemikian juga isi darft  RUU HIP tidak ada satu pun alinea yang mengindikasikan adanya peluang terhadap kebangkitan ideologi Komunisme sebab  pelarangan ideologi Komunisme dengan tegas sudah diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Berdasarkan hierarki norma tata hukum di Indonesia, kedudukan Ketetapan MPR lebih tinggi kedudukannya dari pada Undang-Undang. Dengan demikian sudah otomatis keberadaan RUU sebagai cikal bakal Undang-Undang tunduk pada Ketetapan MPR.
Kalau yang menjadi kancah polemik di seputar RUU HIP adalah konsep Trisila dan Ekasila, maka mau tidak mau kita harus menyimak kembali pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang notabene sebagai Penggali Pancasila dan sekaligus penggagas pencetus konsep Trisila dan Ekasila. Menurut Bung Karno intisari dari kandungan Pancasila substansinya tiada lain Trisila. Sedangkan Trisila ini jika mau diintisarikan substansinya dapat menjadi Ekasila.
Substansi dari Trisila yang mengandung ruh nilai-nilai pokok universal: Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan. Penjabaran Sosio-Nasionalisme mengandung nilai Sila Kedua (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan Sila Ketiga (Persatuan Indonesia). Penjabaran Sosio-Demokrasi mengandung nilai Sila Keempat (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan) dan Sila Kelima (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Penjabaran Ketuhanan mengandung Sila Pertama (Ketuhanan yang Maha Esa).
Mengapa Bung Karno meletakkan konsep Ketuhanan pada urutan terbawah? Sebab terbawah dimaksudkan sebagai fundamental atau dasar atau dapat diartikan sebagai akar. Tegasnya konsep Ketuhanan menjadi dasar yang paling fundamental bagi terwujudnya nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila.
Kalau Trisila mau diintisarikan lagi maka menjadi Ekasila yaitu masyarakat Gotong Royong yang merupakan ruh dari semboyan Pancasila yaitu Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu).