Sudah 36 tahun saya tinggal di Jogjakarta hingga sampai dengan sekarang. Betapa tidak saya pungkiri selama hidup puluhan tahun di hayuning bawana Nagari Kasultanan Ngayogyokarta Hadiningrat alias Jogjakarta, saya senantiasa disuguhi pergaulan hidup sosial yang serba menghargai berbagai keragaman identitas yang multikultural. Tidak berlebihan jika saya sebut Jogjakarta tidak hanya sebagai miniatur Indonesia, tapi juga sebagai miniatur dunia.
Bayangkan keragaman multietnik Indonesia hingga sampai multirasial dunia pun telah mewarnai kehidupan sosial di Jogjakarta selama berpuluh-puluh tahun.
Tapi lima tahun belakangan ini mendadak kita telah dikejutkan oleh stigma yang menyebut betapa Jogjakarta yang selama puluhan tahun dikenal dengan keistimewaan oleh keharmonian keragaman identitas multikulturalnya, kini telah mengalami penggerusan secara sistemik yang lambat laun masyarakat dihadapkan kepada realitas betapa keistimewaan kehidupan sosial Jogjakarta yang multikultural kini lambat laun berubah wajah perilakunya sebagai Jogjakarta yang intoleransi atau lemahnya sikap menghargai perbedaan dari keragaman identitas manusia yang multikultural.Â
Sebagai notabene, saya lebih suka memakai kuosa kata intoleransi ketimbang kuosa kata radikalisasi atau radikalisme khususnya dalam konteks pemahaman sikap menghargai sesama manusia dalam setiap perbedaan keragaman identitas manusia yang multikultural.
Betapa ironisnya, kita telah dihadapkan oleh dua realitas yang saling tumpang tindih terjadi, di satu sisi kita dihadapkan keistimewaan Jogjakarta dengan keragaman yang multikulturalnya. tapi di sisi lain kita dihadapkan corat-marutnya keistimewaan Jogjakarta yang serba intoleransi terhadap keragaman identitas multikultiralnya.Â
Kalau kondisi corat-marutnya keistimewaan Jogjakarta ini terus dalam pembiaran, maka keistimewaan Jogjakarta sebagai miniatur Indonesia dan terlebih sebagai miniatur dunia pun tampaknya sudah menjadi kepatutan untuk dipertanyakan kembali.
Absurditas keistimewaan Jogjakarta dengan keragaman multikulturalnya telah menjadikan Jogjakarta masuk dalam peringkat daftar 10 besar daerah di Indonesia dengan kasus intoleransi tertinggi.Â
Bayangkan betapa ironisnya, Jogjakarta yang dikenal dengan keistimewaan oleh keharmonian keragaman identitas multikulturalnya, kini mulai tergerus oleh kasus-kasus intoleransi.
Kalau keistimewaan Jogjakarta ibarat fenomena alam bernama Pelangi yang keindahannya adalah corak warna-warni multikulturalnya, tapi lima tahun belakangan ini telah mengalami pergeseran ke pemahaman ananiah yang memaksakan corak warna-warni pelangi dari perspektif satu warna saja.Â
Kalau keistimewaan Jogjakarta ibarat kebun raya yang ditanami oleh aneka macam tumbuh-tumbuhan, tapi lima tahun belakangan ini telah mengalami pergeseran ke pemahaman ananiah yang memaksakan kebun raya hanya boleh ditanami satu macam tumbuhan saja.
Berbagai kasus intoleransi yang terjadi secara kontinu di keistimewaan Jogjakarta selama lima tahun belakangan ini telah membuat kita menjadi bertanya-tanya, "Di manakah aroma keistimewaanmu sekarang, Jogjakarta?"Â
Pertanyaan ini bukanlah sindiran yang berlebihan dan nyinyiran yang mengada-ngada jika realitasnya kita telah dihadapkan pada kasus-kasus intoleransi yang secara kontinu selalu terjadi di wilayah Jogjakarta yang slogannya selalu digaungkan sebagai Jogja Istimewa.
Betapa selama ini peranan Otoritas Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta akan bergerak bilamana sudah terjadi kasus intoleransi ke tengah masyarakat. Ini artinya otoritas peranan Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta selama ini belum melakukan tindakan preventif kecuali hanya akan selalu  bertindak jika kasusnya sudah bergulir viral dan sampai meresahkan masyarakat.Â
Tetapi bilamana kasus intoleransi tidak sampai bergulir viral, maka tentunya peranan Otoritas Pemerintah  Daerah Istimewa Jogjakarta akan melakukan pembiaran.
Dibutuhkan ketegasan dan keberanian dari peranan Otoritas Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta untuk tidak dapat mentolerir dan memberikan sanksi hukum terhadap segala tindakan intoleransi yang telah menciderai keistimewaan Jogjakarta yang multikultural pada khususnya dan konstitusi Negara perihal Kemerdekaan beragama dan berkeyakinan pada umumnya.
Sehingga kasus intoleransi seperti kejadian insiden pembubaran secara paksa dengan disertai pengrusakan oleh arogansi sekelompok orang yang menggunakan atribut Agama tertentu terhadap acara tradisi ritual Sedekah Laut yang digelar secara rutin turun temurun setiap tahun oleh para nelayan Pantai Baru, Srandakan, Bantul tidak akan terulang kembali.
Otoritas peranan Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta sudah saatnya tidak boleh melakukan pembiaran atau berdiam diri terhadap arogansi sebagian dari kelompok masyarakatnya yang ingin mau menang sendiri dan mau paling benar sendiri dengan melakukan serangkaian perbuatan intoleransi yang melawan hukum.
Sehingga  kasus intoleransi seperti kejadian insiden pemotongan nisan berbentuk kayu salib milik Albertus Slamet Sugihardi di pemakaman Jambon Purbayan, Kota Gede dan larangan dari keluarga almarhum Albertus untuk melakukan acara doa arwah di rumah duka hanya gara-gara jasad mendiang Albertus semasa hidupnya beragama non muslim tidak akan kembali berulang.
Pentingnya peranan Otoritas Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta melakukan intervensi terpadu dalam upaya pembinaan terhadap jajaran aparatur sipil kewilayahan di sektor pedesaan dari mulai Ketua RT, Ketua RW, Kepala Pedukuhan sampai Kepala Desa agar setiap mengambil kebijakan tidak akan bertabrakan dengan konstitusi Negara tentang makna pentingnya kebebasan warga negara memeluk agama dan beribadat menurut selera agama dan keyakinan, sehingga tidak akan terulang kembali kasus intoleransi yang pernah menimpa Slamet Jumiarto dan keluarganya yang nonmuslim dilarang tinggal sebagai warga baru oleh Ketua RT dan Kepala pedukuhan di pemukiman barunya di RT 08 Pedukuhan Karet, Pleret, Bantul.
Sudah saatnya segera, bila tidak ingin disebut terlambat, peranan Otoritas Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui kewenangan di sektor pendidikan melakukan screening terhadap para pendidik di sekolahan dan Perguruan Tinggi yang pola berpikirnyanya sudah teracuni oleh pemahaman intoleransi, sehingga tidak akan terjadi lagi kasus intoleransi yang dilakukan oleh seorang pembina Pramuka di SD Negeri Timuran Jogjakarta yang mengajarkan yel-yel intoleransi berupa tepuk tangan salam Pramuka "Islam, Islam yes, Kafir, Kafir no" Â terhadap anak-anak didiknya.
Akhirulkalam, tampaknya dalam lima tahun belakangan ini ada dua akurasi krisis yang terjadi di Jogjakarta yaitu Krisis Kebangsaan yang ditandai dengan merebaknya kasus-kasus intoleransi dan Krisis Kepemudaan yang ditandai dengan merebaknya kasus-kasus Klitih (aksi kekerasan para gangster anak-anak remaja sekolahan) yang sampai sekarang peranan Otoritas Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta belum dapat memberikan jaminan kepastian kepada masyarakatnya apakah kasus-kasus tersebut bakal tidak akan terulang kembali?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H