Mohon tunggu...
JOE HOO GI
JOE HOO GI Mohon Tunggu... Penulis - Berminat menekuni sebagai Blogger yang saat ini tinggal di Yogyakarta.

Berminat menekuni sebagai blogger, video creator, web developer, software engineer dan social media manager yang saat ini tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Trikora Jilid Dua? Menolak Men-Timor Leste-kan Papua

3 September 2019   16:03 Diperbarui: 5 Februari 2020   04:49 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harus dibedakan mana yang Papua pro NKRI dan Papua anti NKRI. Keduanya dari outer skin perspective sulit untuk dibedakan karena memang sama-sama satu rumpun melanesia. Sejak  Perjanjian New York 1962 sampai dengan sekarang bangsa Papua terbelah menjadi two opposing shafts, yaitu bangsa Papua yang terintegrasi sebagai Bangsa Indonesia sesuai kesepakatan  Perjanjian New York 1962 dan ada bangsa Papua yang menolak Perjanjian New York 1962 yang kemudian dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). 

Dari dulu sampai sekarang, sejak pasca Perjanjian New York 1962 wilayah Papua tidak pernah sepi dari gejolak politik perlawanan separatisme dari para milisi bersenjata OPM kepada Pemerintah Indonesia. Mereka kaum milisi bersenjata OPM sulit untuk ditumpas akibat medan kondisi wilayah Papua yang masih dipenuhi pegunungan rimba raya sehingga sulit untuk dijangkau. Mereka ketika terdesak bersembunyi di hutan-hutan. Akibat medan kondisi wilayah Papua yang sulit untuk dijangkau inilah yang menjadi penyebab mengapa kontak perlawanan separatisme OPM kepada Pemerintah Indonesia tidak akan pernah ada selesainya.

Insiden rasis yang berlangsung di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya justru menjadi pemantik kemarahan keseluruhan masyarakat Papua pro NKRI di Propinsi Papua yang justru menjadi angin sorga bagi kaum milisi OPM untuk berbondong-bondong turun gunung melebur bersama aksi protes massa Papua yang pro NKRI untuk bertindak anti NKRI. Aksi damai oleh masyarakat Papua pro NKRI anti rasis yang berlangsung di wilayah Papua justru ditunggangi kelompok OPM yang bergabung di dalam aksi damai sehingga berubah menjadi amuk massa.

Betapa amuk massa di Propinsi Papua tidak dapat dipisahkan begitu saja dari skenario dari Amerika Serikat yang memiliki kepentingan besar terhadap eksplorasi sumber daya alam tanah Papua berupa emas, perak dan tembaga dengan terus memprovokasi para anak bangsa Papua agar dapat melakukan upaya perjuangan ke arah refrendum melalui perlawanan disintegrasi kepada Pemerintah Indonesia di bawah bendera separartisme Bintang Kejora. 

Tapi boleh jadi adanya pesan sponsor dari pihak Dalam Negeri sendiri yang tujuan politisnya agar kasus rasisme di Surabaya bisa menjadi pemantik kemarahan masyarakat etnik melanesia Papua secara keseluruhan. Kalau chaos huru-hara sudah mengarah kepada instabilitas dan disintegrasi bangsa maka sangat dimungkinkan menjadi awal terbukanya Jokowi dapat dilengserkan dari kursi Presiden. 

Kondisi chaosnya tatanan masyarakat di Propinsi Papua telah menunjukkan kepada kita betapa  perjuangan anti rasisme di Surabaya sudah semakin absurditas dan sudah bukan menjadi tujuan awal dari persoalan krusial lagi. Meskipun katakanlah pemerintah bersungguh-sungguh berhasil melakukan penegakan hukum mengganjar hukuman tindak pidana kepada pelaku rasis di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, maka penegakan hukum ini akan menjadi sia-sia, sudah bukan menjadi solusi dan tidak akan  membawa perubahan apa-apa sebab kasusnya sudah irrelevant  melebar jauh ke arah distablitas dan disintegrasi bangsa sebagai tujuan dari cita-cita OPM. 

Tampaknya Presiden Jokowi telah memikul beban ujian yang terberat yang harus diselesaikan dalam waktu tempo sesingkat-singkatnya perihal chaos Papua yang semakin hari semakin memprihatinkan demi atas nama keutuhan Kedaulatan NKRI yang sudah final.  

Meskipun gejolak politik perlawanan separatisme dari para milisi bersenjata OPM kepada Pemerintah Indonesia sudah terjadi dari sejak pasca Perjanjian New York 1962 hingga sampai hari ini, tetapi puncak gradual gejolak membaranya terjadi pada pasca insiden rasis di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang notabene terjadinya justru bertepatan ketika Jokowi sebagai Kepala Negara yang belum dilantik oleh MPR pada bulan 20 Oktober 2019. 

Up date solusi untuk penyelesaian chaos Papua ternyata tidak cukup sekedar penegakan hukum kepada para pelaku rasis yang terjadi di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Kalau pun Pemerintah Indonesia dapat mengupayakan penegakan hukum kepada para pelaku rasis, maka upaya penegakan hukum ini tidak akan memulihkan kondisi chaos yang terjadi di Papua sebab keinginan dari persoalan Papua sampai hari ini tiada lain perjuangan ke arah Refrendum sebagai cita-cita awal dari lahirnya OPM. 

Kini opsi upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia tiada lain menolak men-Timor Leste-kan Propinsi Papua melalui Trikora jilid dua sebagai jawaban terakhir ketika diplomasi mengalami deadlock. Pemerintah wajib menolak refrendum kecuali merebut kembali wilayah Papua sebagai bagian dari Kedaulatan Negara Kesatuaan dari tangan kaum milisi separatis OPM yang telah meracuni masyarakat Papua pro NKRI anti rasis. 

Tapi sebelum opsi Trikora jilid dua ini dilakukan, sebaiknya diterapkan tindakan rescue untuk masyarakat sipil yang bukan milisi bersenjata agar dapat dievakuasi dari tempat yang aman dari segala resiko yang diakibatkan oleh imbas kontak senjata agar tidak ada darah tumpah untuk masyarakat sipil yang tidak berdosa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun