Memperingati Tragedi Mei 1998
(Once Again) Permasalahan Etnis Tionghoa di Indonesia.
Dalam sebuah Diskusi Kebangsaan National Integration Movement (NIM), (9/12/06) di One Earth, Ciawi, Koordinator Jaringan Tionghoa Muda Indonesia, Kristan, mengatakan, “Indonesia adalah Harga Mati karena kita semua (adalah) Orang Indonesia!; Demikian jawabannya secara tegas bila dirinya ditanya dengan pertanyaan : “Are you Chinese?”
Tapi, berapa banyak etnis tionghoa di Indonesia yang bisa menjawab sedemikian tegas seperti yang diutarakan oleh Kristan. Berapa banyak yang secara hati dan perbuatan, percaya bahwa mereka adalah bagian integral, baik dalam sejarah pembentukan (masa lalu), masa kini dan masa depan dari Republik ini? Menurut pengamatan, tidak banyak.
Minimnya informasi tentang keterlibatan dan sumbangan masyarakat etnis tionghoa berhubungan dengan berdirinya negara Indonesia, paradigma negatif tentang sikap dan peran mereka dalam perekonomian Indonesia, serta pengkondisian turun-temurun dan terus menerus tentang kekurangan-kekurangan dalam hal sosialisasi, kepedulian dan nasionalisme membuat sebagian besar orang-orang tionghoa di Indonesia, baik secara sadar maupun tidak sadar “Tidak Merasa Dirinya sebagai Orang Indonesia.” Problem ini “diperkuat” dengan pendapat sebagian “bumiputera” yang juga menganggap orang-orang tionghoa bukanlah orang-orang asli dan hanya “menumpang hidup” di Indonesia. Problem ini bila ditelusuri bukanlah timbul tanpa alasan, tapi malah cukup beralasan.
Menurut catatan sejarah, aksi kekerasan anti-Tionghoa di Nusantara sudah terjadi berulang-ulang pada jangka waktu yang cukup lama, yakni sejak Kerusuhan yang berujung pada Pembantaian Massal tahun 1740 di Batavia oleh tentara VOC pimpinan Gubernur Jendral Adriaan Valckenier sampai Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Hampir semua kerusuhan itu memang lebih terkonsentrasi terjadi di Pulau Jawa, kecuali kerusuhan anti-tionghoa oleh suku dayak di Kalimantan tahun 1967.
Pandangan negatif tentang Tionghoa diperparah oleh kebijakan-kebijakan para penguasa Nusantara sejak dari jaman VOC, raja-raja Mataram, Pemerintah Hindia Belanda dan diteruskan sampai kepada pemerintahan Republik Indonesia. Padahal sebelum abad ke-16, pembauran antara penduduk setempat dengan masyarakat etnis tionghoa sudah terjadi dan harmonisasi sangat terasa. Banyak catatan-catatan dari bangsa Portugis, Inggris, Belanda dan China yang pernah menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di Nusantara mengkonfirmasikan hal itu.
Pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara, seringkali tugas penagihan pajak diserahkan kepada golongan etnis Tionghoa dengan cara borongan sehingga ketika pajak dinaikkan (oleh Raja), maka para penagih pajak-lah yang selalu dimusuhi oleh rakyat. Ketika, Pangeran Diponegoro berperang melawan penjajah, muncul mitos-mitos kesialan yang dihubungkan dengan keberadaan masyarakat tionghoa. Padahal banyak orang tionghoa yang ikut berperang bersama pasukan Diponegoro dalam menghadapi Belanda.
Baik VOC dan Pemerintah Belanda pun seringkali menerapkan politik adu-domba antara tionghoa dengan bumiputera sehingga seringkali terjadi “kecurigaan” antara ke-2nya melewati batas-batas generasi. Demikian pula yang terjadi pada pemerintahan berikutnya yang selalu saja memakai isu-isu golongan tionghoa dalam permainan politik praktis sehingga golongan tionghoa selalu menjadi kambing hitam dan korban kerusuhan atas kebencian rakyat pada pemerintahan yang berkuasa.
Kekerasan-kekerasan yang berulang kali menimpa etnis tionghoa ini menimbulkan rasa dendam dan trauma yang berasal dari rasa takut dalam diri mereka dan akhirnya menciptakan “perasaan tidak pernah diterima” di negara ini biarpun sudah lebih dari seribu tahun terakhir bermukim di Kepulauan Nusantara dengan kontribusi yang tidak sedikit bagi perkembangan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari menginspirasi Kebangkitan Nasional 1908, ikut serta secara aktif dalam Sumpah Pemuda tahun 1928, sampai Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Semuanya itu tercatat secara lengkap dan rapi dalam sejarah Indonesia.
Tapi sayang, catatan sejarah ini sering sengaja dikesampingkan (“disembunyikan”) untuk kepentingan tertentu sehingga sumbangan masyarakat Tionghoa bagi pembentukan NKRI dianggap minimal atau kadang sama-sekali tidak ada. Jadi perasaan “Tidak Merasa Diri sebagai Orang Indonesia” berasal dari dendam dan trauma terhadap agresor. Dendam dan Trauma ini terjadi karena adanya rasa takut akan terulang kembalinya segala bentuk kekerasan pada diri golongan tionghoa.
Menurut ilmu psikologi (Walter Cannon, 1927), umumnya respon terhadap Rasa Takut akan berujung pada 2 tindakan berlawanan, yakni : Melarikan Diri (Flight) atau Melawan Rasa Takut (Fight) tersebut. Hal sama terjadi pada kelompok orang-orang tionghoa di Indonesia, tapi ada juga yang sudah berhasil melampauinya.