Perempuan : Pelopor Ketahanan Pangan Nasional
Ada yang menarik dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh National Integration Movement (NIM) di padepokan One Earth-Ciawi. Diskusi bertema “Perempuan: Pelopor Ketahanan Pangan Nasional” dan dipandu oleh Muhammad Dian Martin, menghadirkan Ir. Hj. Sri Soesilo Rini Soerojo Soemarno, anggota Badan Pengawas Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (BPO HKTI) periode 2004-2009, yang sarat pengalaman serta informasi terkait masalah pangan dan isu gender, sebagai pembicara.
[caption id="attachment_144965" align="alignleft" width="300" caption="Sumber-Sumber Pangan (www.satudunia.net)"][/caption]
Lulusan Institut Pertanian Bogor (1965) ini membeberkan fakta-fakta yang memprihatinkan terkait soal ketahanan pangan di Indonesia saat ini. Dari pengalamannya sebagai mantan pegawai di Departemen Pertanian, beliau mengemukakan bahwa perempuan selalu terlibat aktif dalam pertanian, tetapi jarang mendapatkan perhatian secara khusus oleh pemerintah. Padahal 17% dari total pencari nafkah tunggal keluarga di Indonesia adalah perempuan. (Di dunia 15%) Kecenderungan ketergantungan pada perempuan sebagai tulang punggung keluarga saat ini bahkan terus meningkat. Bahkan di beberapa daerah persentase keluarga yang bergantung pada penghasilan perempuan meningkat menjadi 50-70% karena : (1) Migrasi musiman, (2) Keluarga berantakan, (3) Kematian, atau (4) Permanen Migran.
Sebanyak 60.7 % penduduk Indonesia tinggal di desa (BPS, 2000) dan secara geografis, lebih banyak orang miskin tinggal di desa daripada di kota. 48% mencari nafkah dari sektor pertanian dengan melibatkan 50% tenaga kerja atau 60 juta petani, dan 38.2% di antaranya adalah perempuan. Sebanyak 16% Petani Kepala Rumahtangga (PKRT) adalah perempuan. Data-data di atas menunjukkan keterlibatan aktif perempuan dalam pertanian tapi di lapangan telah terjadi ketidak-sensitif-an gender terhadap perempuan. Misalnya dalam pembinaan kelompok tani hanya berfokus pada Bapak Tani. Bila pun ada untuk Ibu Tani dikarenakan kebutuhan praktis gender perempuan. Jumlah penyuluh tani perempuan pun masih relatif sedikit (5%). Contoh lain adalah kasus pembelian alat-alat penyemprot tanaman holtikultura yang dirancang hanya untuk pria dan tak bisa digunakan oleh petani perempuan.
[caption id="attachment_144966" align="alignright" width="150" caption="Sumber : tanahbumbukab.bps.go.id"][/caption]
Pembangunan manusia Indonesia seharusnya menghasilkan individu-individu yang produktif, terjadinya pemerataan dan melalui proses pendidikan yang berkelanjutan. Pemberdayaan diri perlu secara terus-menerus dilakukan sampai seseorang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai hal, mulai dari timbulnya ide, merencanakan, melaksanakan, mengontrol/memonitor dan mengevaluasi hasil yang didapat. Pemberdayaan diri yang ditopang oleh pola konsumsi seimbang dan berkesinambungan, serta pemahaman budi pekerti dan agama yang baik akan menghasilkan kesehatan lahir dan batin yang cukup untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Ketahanan pangan adalah salah satu hasil pemberdayaan diri. Ketahanan Pangan berarti kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah-tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup baik jumlah, maupun mutunya, aman, serta merata terjangkau. Ketahanan Pangan harus sepenuhnya tertumpu pada (1) Sumber Pangan Lokal, (2) Mengandung keragaman antar daerah, dan (3) Tidak tergantung pada pemasukan pangan dari luar negeri. Perwujudan ketahanan pangan nasional menjadi tugas dan tanggung jawab utama pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, desa dan masyarakat sendiri.
Tidak lupa pula, Ibu Rini, yang masih tampak energik walaupun sudah mempunyai 14 cucu itu, mengajak semua wanita untuk bangkit memperjuangkan kesetaraan gender dan mengupayakan pemberdayaan diri untuk mencapai kesejahteraan bersama. “Perlu ada upaya aktif dari tiap orang untuk menyuarakan hal ini. Faktanya, istilah kesetaraan gender saat ini masih belum populer di kalangan pemerintah dan masyarakat. Bahkan saya pernah menemui kasus di mana Dinas Pemberdayaan Perempuan digabungkan dengan kantor Dinas Pemakaman!” tukas Ibu Rini.
Dalam kesempatan tanya-jawab, para peserta dengan aktif mengajukan berbagai pertanyaan tentang kondisi pangan nasional saat ini dikaitkan dengan peranan perempuan. Yang paling menarik adalah ketika Ibu Rini menegaskan perlunya kita mengubah paradigma bahwa beras adalah makanan utama karena Indonesia memiliki banyak sumber pangan lain. Perubahan paradigma itu harus disertai penghentian impor beras. Organisasi PKK dan penyuluh pertanian perlu digalakkan kembali untuk mendorong pertanian tanaman pangan yang semakin beragam. Inklusifitas gender pun menjadi perhatian beliau, “Setiap individu, baik lelaki maupun perempuan, harus memiliki kesempatan yang sama dalam meraih cita-cita,” kata Ibu Rini mengakhiri uraiannya.
Di penghujung acara diskusi kebangsaan, Bapak Anand Krishna menegaskan bahwa kita perlu merubah paradigma bahwa pangan adalah beras. Kita sudah lupa dengan sejarah bangsa sendiri. Dulu Pulau Jawa dikenal dengan sebutan Yavadwipa berasal dari bahasa Sanskrit. Yava berarti barley. [caption id="attachment_144969" align="alignleft" width="202" caption="Sumber : storesonline.com"][/caption]
Barley adalah sejenis pangan yang bisa diproses seperti beras maupun gandum. Bila kita baru kenyang makan 4 potong roti terigu, maka kita cukup makan 3 potong roti gandum atau 1 potong roti barley. Dulu, India pernah mengimpor barley dari Jawa ketika kelembaban di sana tiba-tiba meningkat. Barley sangat efektif untuk mengurangi gejala-gejala encok maupun masuk angin yang sering kali menjangkiti diri manusia Indonesia. Tapi karena warna barley (ketika diolah menjadi roti) tidak seputih dan sebersih terigu, maka roti barley menjadi kurang diminati.
Jadi mari kita mulai dari diri sendiri dengan mengkonsumsi segala jenis pangan yang tumbuh dan mudah dihasilkan oleh bumi Nusantara ini sehingga kita tidak tergantung pada satu jenis makanan saja, apalagi jika makanan itu harus diimpor dari luar negeri.
Hal ke-2 adalah kebiasaan kita untuk makan mie-instan. Banyak orang-orang yang tinggal di desa, tapi sudah punya kebiasaan makan mie-instan. Padahal dalam mie-instan terkandung bumbu-bumbu masakan yang tidak menyehatkan dan tidak mengandung gizi. Menurut statistik, penjualan mie-instan adalah terbanyak di Indonesia dan pemakan mie-instan terbanyak berasal dari kelas menengah ke bawah. Apalagi 90% kandungan mie-instan yang dijual di Indonesia saat ini merupakan bahan-bahan impor sehingga membebani neraca perdagangan negara.
Celakanya, kebodohan manusia-manusia Indonesia akibat kebiasaan mengkonsumsi pangan yang tidak bergizi ini, membuat dirinya tidak cerdas sehingga mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan oleh orang lain, terutama pemerintah, rohaniwan, pengusaha, dll. “Di Tangerang, baru-baru ini ada seorang istri dibakar oleh suaminya karena sebelumnya menolak melayani sang suami di ranjang. Sang istri menolak karena baru saja melahirkan. Tapi ketika ditanya oleh pihak berwajib kenapa sang suami tega berbuat hal seperti itu, sang suami dengan enteng berkata bahwa menurut ajaran agamanya, seorang istri tidak boleh menolak melayani suami,” cerita guruji sambil menambahkan, “di mana kecerdasan kita bila berpikiran seperti itu dalam menafsirkan ajaran agama?”
Begitu juga sangat buruk kecerdasan kita mengenai ketahanan pangan, sehingga lahan sawah sebagai basis produksi beras malah semakin berkurang karena dialihkan menjadi pabrik-pabrik untuk keperluan industri. Ditambah kebiasaan hanya memakan beras sebagai makanan pokok, maka ketergantungan Indonesia pada impor beras dari negara lain semakin tinggi. Para petani pun yang masih bertani dengan lahan yang seadanya malah terus tertekan karena kelangkaan dan kenaikan harga bibit, pupuk, dan obat-obatan menjelang musim tanam sedangkan harga jual beras menjelang musim panen malah melorot ke bawah karena masuknya impor beras dari negara lain. Perhatian pemerintah kepada petani lewat subsidi sepertinya diharamkan, padahal negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang pun masih mensubsidi hasil-hasil pertanian yang dihasilkan oleh petani-petani mereka. Di Eropa, pemerintah belanda sampai saat ini masih mensubsidi kira-kira 2.5 US Dollar per hari per sapi untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat Belanda.
[caption id="attachment_144972" align="alignright" width="276" caption="Sumber : (www.trekearth.com/gallery/Asia)"][/caption] Menjelang akhir pembicaraan, Bapak Anand Krishna mengajak kita semua (rakyat Indonesia) untuk mendesak pemerintah dan partai-partai politik untuk merubah sistem ketahanan pangan nasional. Hanya dengan desakan dari rakyatlah, pemerintah dan parpol (yang memerlukan dukungan/suara rakyat) akan lebih memperhatikan nasib-nasib rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H