Mohon tunggu...
Joehanes Budiman
Joehanes Budiman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Health, Wealth, Happiness and Beyond

Selanjutnya

Tutup

Politik

Preambule NKRI - Pancasila

1 Juni 2010   03:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:50 4658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pancasila adalah Preambule (Preamble) dari Konstitusi UUD’45 Tahukah kita bahwa Pancasila adalah Preambule dari Konstitusi UUD’45? Preambule sendiri adalah dasar dari Konsitusi. Konstitusi bisa dirubah (diamandemen) tanpa harus ‘membubarkan’ negara itu terlebih dahulu. Tapi bila Preambule dirubah, maka negara itu pasti ‘bubar.’ Kemudian kenapa menempatkan Pancasila, GBHN, P4, UUD’45 dan Tap MPR dalam satu tataran? Padahal kalo dalam sistem ketatanegaraan. Pancasila jelas teratas kemudian disusul UUD’45, …., GBHN, Tap MPR, ……dstnya sedangkan P4 adalah suatu produk pelaksanaan yang tidak termasuk dalam sistem ketatanegaraan tapi hanya merupakan suatu syarat dalam menduduki suatu birokrasi pada jaman Orde Baru. [caption id="attachment_155109" align="alignleft" width="181" caption="kurnaelis.wordpress.com"][/caption] Jadi logikanya, kalo bernegara perlu suatu platform bersama, yaitu Pancasila. Karena Platform ini adalah Landasan filosofis maka perlu penjabarannya secara garis besar, yaitu Konstitusi UUD’45. Berdasarkan (berpedoman) Pancasila dan UUD’45, maka dibentuk GBHN sebagai guidance. Realisasi dari GBHN adalah Tap MPR dan policy-nya dalam bentuk UU … dstnya PP, Keppres, Kepmen, Perda…dstnya. Ini ‘kan urutan ketatanegaraan dan di tiap negara pun pasti birokrasinya seperti itu. Masalah di Indonesia adalah ketika banyak peraturan di level birokrasi bawah tidak sinkron dengan peraturan di level di atasnya atau bahkan bertentangan dengan Landasan Filosofi Pancasila atau UUD’45. Kenapa ini bisa terjadi? Karena tidak mengertinya (atau ada pihak lain yang berkepentingan menghancurkan negara) para pembuat policy tsb akan Pancasila. Inilah kenapa pengertian Pancasila itu sangat penting untuk kelangsungan hidup NKRI. Kemudian apakah kemajuan suatu Bangsa hanya dihitung dari indeks GDP-nya? Bagaimana dengan Kebebasan Beragama (Religiositasnya-Sila ke-1)? Bagaimana dengan Index of Humanity atau keadaan Humanitas (sila ke-2) di sana? Bagaimana dengan Persatuan dalam kesetaraan (sila ke-3)? Bagaimana dengan kedaulatan dan demokrasinya (sila ke-4)? Dan bagaimana dengan Keadilan Sosialnya (sila ke-5)? Apakah sebuah negara makmur tapi kecil seperti Singapore bisa ‘independen’ (berdaulat, sila ke-4) bila negara besar seperti Amerika thinks otherwise? Apakah Singapore dalam masa puluhan tahun merdeka bisa me-manage belasan ribu pulau, ratusan suku dan bahasa dan memperlakukannya secara equal (sila ke-3) ? Kalo mau basis GDP, lihat Arab Saudi saja. Makmur, tapi tidak merata (Tidak ada sila ke-5). Makmur tapi HAM-nya parah (Sila ke-2). Makmur, tapi cuma 1 Ras saja. (Sila ke-3). Makmur tapi apa ada Kebebasan beragama (sila ke-1). Paling banter mereka punya Kedaulatan, tapi tanpa demokrasi. Sayang sekali, Indonesia memang dari awal sudah menerapkan standard tinggi. (Istilah sindirannya : [caption id="attachment_155116" align="alignright" width="150" caption="Garuda"][/caption] Garuda membumbung tinggi). Mau Makmur tapi ada Kebebasan Beragama, ada Human Rights, ada Kesetaraan dalam Persatuan, ada Kedaulatan dalam kerangka demokrasi dan ada pemerataan sosial. Tapi apakah ke-5 nilai-nilai itu cocok dengan saya yang kebetulan lahir di Indonesia? Menurut saya, cocok dan amanah. Maka saya dukung negara Indonesia dengan Weltanchauung Pancasila…ngapain dirubah bila tidak bisa menemukan yang lebih baik. Kalo ngak setuju dengan ke-5 nilai-nilai itu, ya mbok, cari dong negara lain yang cuma mengadopsi Kemakmuran sebagai landasan filosofis-nya misalnya. Istilahnya, Mau jadi spiritual, ya harus bertobat dulu, masa cuma mau punya koneksi dengan orang-orang kaya atau cari jodoh di rumah ibadah. Ya jangan dong! Apa bisa seperti itu? Ok, let’s compare what happen in Indonesia with what happen in AS. Weltanchauung suatu negara biasanya ada di Preamble of The Constitution. Untuk Amerika, in this case, ternyata Preamblenya adalah Declaration of Independence yang isinya antara lain adalah : [caption id="attachment_155119" align="alignleft" width="300" caption="www.frugal-cafe.com/public_html"][/caption] We hold these Truths to be self-evident, that all Men are created equal, that they are endowed, by their Creator, with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty, and the Pursuit of Happiness. Intinya, Amerika mengizinkan setiap warganya untuk bertahan hidup secara merdeka dan mencari kebahagiaan as long as warganya menganggap semua orang adalah Setara atau Equal. AS merdeka 1776, tapi tahun 1960-an masih saja terdapat segregration white and black atau White Supremacy di hampir semua negara bagian (bukan negara federal) yang berada di selatan AS. Dan banyak UU/PP/Perda yang membenarkan Segregation itu. Jadi selama hampir 200 tahun merdeka, ternyata "All Men are created equal" hanyalah mitos bagi sebagian besar WargaNegara Amerika berkulit hitam yang tinggal di negara2 bagian yang terdapat di selatan AS. Tapi tentu saja, setelah Martin Luther King, Jr. memprotes hal ini dan menggerakan gerakan sipil tanpa [caption id="attachment_155125" align="alignright" width="150" caption="Setara"][/caption] kekerasan di jalan-jalan utama Amerika, maka ternyata integrasi yang sebenarnya dan sinkronisasi terhadap "All Men are created equal" baru terjadi tahun 1960-an, hampir 200 tahun setelah Amerika menyatakan kemerdekaannya. Di Indonesia, kita baru merdeka 60 tahun dan kita tidak harus menunggu sampai hampir 200 tahun (seperti AS) untuk mensinkronkan keinginan kita dengan Pancasila. Kita harus lakukan sekarang! Gantilah nama Pancasila dengan apapun namanya, bila sudah terlalu muak [caption id="attachment_155159" align="alignleft" width="300" caption="iwandahnial.wordpress.com"][/caption] dengan AKSARA Pancasila, asalkan ke-5 nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak diganti secara substansial. Soekarno sendiri merekomendasikan hal itu, dengan memberikan alternatif Trisila maupun Ekasila (Gotong Royong). Pembatasan jabatan presiden maks. 2 kali di Amerika baru menjadi hukum pada jaman kepemimpinan presiden Truman (1945-an). Sebelumnya, tidak pernah ada hukum ttg. hal itu kecuali meneladani apa yang dilakukan Presiden pertama AS George Washington. Tapi memang ada seorang president AS yang menjabat 3 kali masa jabatan, yaitu Presiden FDR (Roosevelt). Tapi ini terjadi sebelum pembatasan jabatan presiden maks. 2 kali di Amerika diberlakukan sebagai hukum yang baku. GDP tidak selalu objektif dan tidak bisa dijadikan indikator untuk mengukur keberhasilan suatu negara. GDP mungkin saja bisa mengukur tingkat kemakmuran suatu negara, tapi tidak mampu mengukur pemerataan kemakmuran. Itu pun tidak bisa selalu objektif karena data-data tersebut diperoleh dari birokrasi-birokrasi dari negara masing-masing. Tapi GDP jelas tidak bisa mengukur keberhasilan suatu negara. GDP Indonesia jelas lebih tinggi ketika di jaman rezim Orde Baru, tapi angka tsb bisa tercapai pada era itu dengan pengorbanan Sila ke-5, dan Sila ke-2 karena tidak ada ‘equality distribution of income’ (sila ke-5), dan tidak ada ‘humanitas’ (sila ke-2). Sekali lagi masalah yang dihadapi Indonesia. The preamble is presented as a syllogism, with one proposition leading to another proposition. From the first proposition (that all men are created equal), a chain of logic is produced that leads to the right and responsibility of revolution when a government becomes destructive of the people’s rights. Demikian pula negara Indonesia. Pancasila yang terdapat dalam Preambule (Pembukaan-ed) UUD’45 semestinya menjadi sebuah rantai logika yang digunakan pembuatan keputusan dan penerapan UU yang mengatur negara atau ‘alasan’ sebuah gerakan protes pada keputusan atau UU atau aturan sebuah pemerintahan dan penguasa yang tidak sesuai dengan hati nurani rakyat. Hati nurani rakyat itu apa … ya untuk di Indonesia basisnya adalah Pancasila. Di AS basisnya adalah All Men are created Equal (kesetaraan). Di Taiwan basisnya adalah Demokrasi, Nasionalis dan Sosialis. Di Russia basisnya adalah Marxisme, Sejarah dan Materialisme. Di Arab Saudi adalah Syariat Islam (berdasarkan Mazbah Hambali). Jadi misalnya SKB 2 Menteri ttg. Pengaturan Rumah Ibadat atau UU No. 6/1965 ttg. pengaturan agama yang diakui di Indonesia, jelas mencederai hati nurani rakyat bila mengacu pada Pancasila. Kenapa? Sila ke-1 Pancasila adalah Ketuhanan YME, bukan Tuhan YME. Penjelasan di P4 Orde Baru, berarti RI hanya mengakui agama yang menyembah Tuhan YME, yang mana arti "ESA" pun akhirnya di’downgrade’ kan artinya menjadi Tuhan yang Personal. Akhirnya pun, agama Buddha ‘terpaksa’ berkompromi dengan mengakui Buddha sebagai Tuhan Personal mereka. (Padahal bukan begitu). Tapi bila kita lihat lagi pidato Soekarno 1 juni 1945, Sila ke-1 yang dimaksud adalah Kebebasan Beragama bagi setiap WNI atau Religiositas. Hal ini dipertegas (one proposition leading to another proposition) oleh UUD’45 Psl 29, dimana Negara menjamin (bukan mengatur) kebebasan WNI untuk beribadah menurut agama/kepercayaannya masing2. UUD’45 sendiri tidak mengatur agama apa saja yang boleh/tidak boleh atau di mana lokasi rumah beribadah. [caption id="attachment_155156" align="alignright" width="119" caption="www.dinamikaebooks.com/"][/caption] Jadi SKB 2 Menteri ttg. rumah peribadatan maupun UU No. 6/1965 misalnya jelas menyalahi pasal 29 UUD’45 dan Sila ke-1 Pancasila. Atas dasar ini ( a chain logic to produce right and responsibility), maka rakyat boleh ‘menegur’ atau bahkan ber-revolusi untuk menjatuhkan pemerintah yang berkeputusan tidak berdasarkan nilai-nilai dalam Pancasila. Jadi …ha ..ha jangan tertipu. Seorang Hizbut Tharir (HT) atau FPI atau MMI tidak bisa mempersilakan orang lain keluar dari Indonesia bila tidak bisa menerima Syariat Islam. Dasarnya apa? kecuali kekuatan fisik alias kekerasan. Kalo dasarnya mayoritas, mayoritas yang mana? Toh, yang membuat Pancasila pun termasuk orang-orang muslim juga. Dasar Negara Indonesia adalah Pancasila, dan selama Pancasila masih menjadi dasar negara, justru ormas-ormas apapun yang tidak bisa menerima Pancasila, silakan keluar dari Indonesia. Untuk hal ini kita harus tegas bahkan kepada seorang teman HT. Masalah jumlah orang yang tanda-tangan sebuah Proklamasi Kemerdekaan. Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia memang hanya ditanda-tangani oleh Soekarno dan Hatta. Tapi bukan berarti itu tidak mewakili seluruh wilayah Indonesia dan ‘terjadi pemaksaan’ penggabungan daerah lain pada Jawa dan Sumatera. Logika ini dibandingkan dengan Declaration of Independence yang ditanda tangani dari wakil2 13 daerah koloni di AS tahun 1776. Dengan pemahaman yang sama, apakah berarti AS memaksakan 37 negara bagian lainnya (sekarang AS mempunyai 50 Negara Bagian) untuk bergabung dalam USA? Colorado, Texas, Hawai, Alaska, Indiana, Florida, New Mexico, California, Washington termasuk dari daerah-daerah yang tidak ikut menanda-tangani Declaration of Independence, demikian juga suku asli Indian dan Orang berkulit hitam, apakah berarti mereka ‘dipaksa’ utk bergabung dengan USA dan punya ‘hak atau kewajiban’ untuk tidak merujuk pada "All Men are created Equal" ? Saya yakin, AS di tahun 1960-an, ketika terpaksa di’blow-up’ oleh Martin Luther King Jr di jalan-jalan utama Amerika, punya diskusi yang sama dengan apa yang sedang kita lakukan di Indonesia sekarang ini. Bagaimana tidak, karena telah terjadi ‘ketidaksinkronan’ antara apa yang terjadi di negara-negara bagian selatan AS seperti Alabama, Mississippi, etc, yang menerapkan segregration white-black (mirip apartheid) dengan apa yang tertulis dalam Preambule Declaration of Independence, yaitu "All Men are created Equal." Apalagi Alabama, Mississippi termasuk 13 states yang tidak ikut menanda-tangani Declaration of Independence tahun 1776. Tapi Amerika bisa menyelesaikan masalah ini dengan tetap pada "Equality" yang tertera dalam Declaration of Independence. Setelah masalah "segregation" ini beres, Amerika bisa menjadi negara superpower. Bandingkan dengan India, ex-Yugoslavia, ex-Provinsi Timor, dan ex-Uni Sovyet. Hari ini, India dihantui dan dipermainkan negara-negara besar lain ttg. permusuhan mereka dengan Pakistan, karena tidak mampu menyelesaikan masalah Hindu-Islam di tahun 1940-an, menjelang kemerdekaan ke-2 negara ini. ex-Yugoslavia sudah menjadi hancur menjadi negara-negara berdasarkan mayoritas agama seperti Serbia, Montenegro, Bosnia, Kroasia, dan Slovakia. Mereka menjadi negara-negara lemah, baik dari segi kekuatan politik maupun ekonomi. ex-Provinsi Timor, atau sekarang Negara Timor Leste menjadi sapi perahan negara besar seperti Australia (dan Indonesia) karena amat sukar mandiri. ex-Uni Sovyet seperti Russia sudah tidak punya gigi lagi di depan negara superpower seperti AS dan China karena Ukraina, Russia, dll lebih memilih terpecah belah dalam menyelesaikan masalah dalam negeri mereka tahun 1990-an ketimbang bersatu dalam suatu negara utuh seperti apa yang dilakukan Amerika ketika perang sipil maupun ketika di tahun 1960-an. Perpecahan suatu negara bukanlah satu-satunya solusi. Apakah Burung Garuda masih terbang tinggi membumbung di Angkasa? Menurut saya sih tidak karena itulah realitas yang kita belajar dari sejarah dunia. NB: Selamat Ultah Hari Lahirnya Pancasila ke-65. Dasar Negara Indonesia, bukan hanya platform dari suatu partai tertentu. [caption id="attachment_155151" align="aligncenter" width="300" caption="www.nationalintegrationmovement.org/"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun