Salam Kompasiana dimana berada..........
He...........benar-benar agak sedikit ketar ketir saya menulis judul diatas karena saya agak memahami kalau pengelola pohon agak condong kemana, tapi karena aku mempunyai positif berpikir yang terus menerus aku tanamkan ke otak maka akan dengan yakin terus menulis walau pada akhirnya pusat pohonnya yang menentukan bisa tampil atau tidak. Kadang-kadang selaku orang dusun yang sangat katrok saya nggak habis pikir kenapa orang-orang yang saya anggap cerdas dan hidupnya di metropolis seperti Jakarta mau aja membodohi masyarakat dengan sesuatu yang masiv.........santai aja bukan D'Masiv lho ya..........band kenamaan itu.
Nggak usah sepaneng membacanya bikin tua nanti lho...........ha.................
Mungkin pemerintah dan KPU selalu mengingatkan kepada semua paslon baik bupati, walikota maupun Gubernur untuk tidak melakukan politik uang, karena bisa-bisa paslon itu didiskualifikasi sebelum dilakukan pencoblosan. Karena politik uang akan merusak mental masyarakat dan juga melakukan pembodohan masiv sehingga menyebabkan demokrasi tidak akan bisa berjalan dengan sehat. Karena pemerintahan selama 5 tahun tidak bisa di hargai hanya dengan sembako atau uang Rp. 100.000,- saja tetapi lebih penting masyarakat paham bahwa bukan sedikit uang yang bisa mereka semua terima tapi pembangunan apa yang bisa mereka sama-sama rasakan selama 5 tahun kedepan.
Pepatahnya mungkin seperti ini "Jangan berikan ikan pada anak-anak kamu tapi berikanlah kail dan umpannya untuk dia bisa mendapatkan ikannya" kira-kira artinya seperti ini jangan didik anak-anak kamu dengan hanya memberikan uang saja tetapi didiklah anak-anak kamu untuk memberikan kepandaian atau kepintaran bekerja sehingga mereka bisa mengahasilkan uang untuk hidupnya. Masyarakat kurang mampu pasti akan senang sekali dan sangat antusias kalau langsung diberi uang tetapi kita yang berpendidikan dan berakhlak tinggi tentang agama pasti tidak akan melakukan hal itu karena itu merupakan pembodohan pada masyarakat secara sistemtis.
Mari kita didik bangsa ini lebih beradab dan lebih berakhlak agama secara benar, jangan kita mengajarkan sesuatu yang selalu memohon belas kasih tetapi bagaimana selalu memberi walau dalam kekurangan sekalipun. Saya yakin masih banyak masyarakat yang di katakan kurang mampu di negara ini yang mempunyai mental memberi walau dalam kekurangannya, BLT (Bantuan Langsung Tunai) sangat kurang mendidik bagi masyarakat. Sekarang sudah ada kartu keluarga harapan yang lebih manusiawi dan mereka yang belum mampu juga bisa menarik uang atau sembako dari indomart atau atm yang sudah di tentukan oleh pemerintah.
Kalau kita jadi penguasa janganlah mengajarkan pada orang miskin sesuatu yang tidak mendidik dan kurang manusiawi seperti beberapa kecil orang kaya Indonesia yang memberi bantuan langsung tunai sewaktu Idul Adha, hanya dengan memberi uang Rp. 50.000,- - Rp. 100.000,- tiap orang, Nenek Nenek, Kakek Kakek, Ibu Ibu, Bapak Bapak sampai berjubel menunggu giliran untuk mendapatkan uang tersebut walau mereka kadang-kadang merelakan nyawa mereka meregang. Memang sungguh menyesakkan kalau kita melihatnya dan secara langsung maupun tidak langsung BLT juga seperti itu, menyebabkan Kakek, Nenek, Ibu Ibu menunggu berjam-jam di kantor POS untuk mendapatkan BLT sampai pada sakit dan kadang-kadang kematiannya.
Sudah bagus saya pikir sekarang ini BLT di ganti dengan KIP, KIS, KKH (Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Keluarga Harapan) dan yang saya tahu, di daerah saya yang mendapatkan Kartu Kartu tersebut sudah sesuai kriteria di masyarakat, kalau dulu BLT belum menyasar yang tepat karena masih banyak warga yang mampu mendapatkan BLT. Semoga tulisan ini bisa menyegarkan kembali pada paslon Bupati, Walikota atau Gubernur sehingga Indonesia kedepan bisa semakin baik dan beradab.
Jayalah NKRI Indonesia Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H