Mohon tunggu...
Jo Amatir. Greenwood
Jo Amatir. Greenwood Mohon Tunggu... wiraswasta -

cuap cuap

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pejuang Sampah dan Mereka

20 Agustus 2011   17:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:36 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu persatu gugur, di gantikan oleh yang masih hijau dan segar, hukum alam tak mampu di lawan, keabadian hanya milik Sang Pencipta, daun mengering jatuh ke tanah, membusuk untuk memberikan pupuk bagi yang hidup dan membutuhkan. Sungguh indah dan begitu adil Sang Pencipta. Yang busuk pun masih bisa berguna untuk kehidupan.

Begitu juga di kehidupan manusia, sesuatu yang oleh sebagian orang di di buang dan di terlantarkan, sudah menjadi sampah. bagi orang lain mungkin di anggap sangat berguna dan bermanfaat, seperti yang ku saksikan di layar kaca tadi sore, di mana truk sampah di tunggu dan begitu sampai langsung di serbu oleh para pemulung, bagaikan rebutan emas yang berharga mereka berjuang memungutnya dengan segenap jiwa.

Mulai dari yang tua, dewasa, remaja hingga anak anak pun ada,  tak peduli laki laki atau perempuan mereka terlihat sama, sama sama berjuang demi kelangsungan hidup. ada yang menyerbu langsung setiap ada truk pengakut sampah datang, ada juga yang mencari di sampah yang sudah menggunung. bak di sebuah perbukitan mereka mendaki tanpa tali, hanya berbekal rinjing yang di ikat di punggung, bagai seorang pendaki gunung yang gagah penuh semangat hidup. sampah bagi mereka merupakan sebuah berkah. begitu sederhana, hanya kerja keras dan kejujuran yang bekal mereka.

Karna langkah mereka merupakan sebuah pijakan, sepenuh jiwa di setiap jejaknya, mengalir penuh gairah, selalu tersenyum menikmati terjalnya kerikil dan debu di depannya, menikmati setiap nada alunanya, Tak ada yang mengajari mereka, hanya bau busuk dan rintihan tak mau malu selalu berpangku tangan. itu yang kupelajari dari mereka. semangat di pijakan pertama dan selalu menikmati langkah langka selanjutnya.

Bau yang begitu menyengat busuk tak pernah mereka pedulikan, bagi mereka busuk itu parfum yang harum, karna berjuang iklas sepenuh jiwa itu bagai darah yang memberikan aliran nadi di kehidupan, di mana setiap alirannya memberikan kehangatan yang tak bisa di ciptakan oleh seorang profesor yang maha pintar sekalipun.

Gunungan sampah itu bukanya tak pernah menelan korban, sudah puluhan pemulung mati tertimpa longsoran sampah, meregang nyawa di busuknya sampah, mati menguburkan mimpi mereka yang harum. Resiko yang sangat besar, untuk sebuah perngorbanan. Mati tertelan sampah. terdengar satir dan mengenaskan.

Walau begitu setiap orang tetaplah pahlawan, paling tidak pahlawan bagi keluarganya. Rasa cinta yang ia persembahkan tuk keluarganya, dan itu lebih mulia di banding orang yang menghidupi keluarganya dari hasil kejahatan. seperti yang kulihat juga di tipi yang sama, walau di saluran berbeda, mereka yang tertangkap oleh kpk, skandal pemerintahan yang selalu menarik perhatian kita, walau pada akhirnya hukum negara tak mampu berbuat apa apa, karna pada akhirnya hukumanya tak sebading dengan kejahatanya, bahkan ada yang bebas tak tersentuh oleh hukum, mungkin mereka kebal hukum. tapi apa bathin mereka juga sebebas tubuhnya. sungguh ironis.

Kejujuran akan membawa perubahan yang mendasar dalam diri seseorang. Tetapi tanpa keberanian, kamu tidak bisa mengubah orang-orang di sekitarmu. Kejujuran menghasilkan pengikut, bukan pemimpin. Agar mampu mengubah orang di sekitarmu, keberanian adalah hal yang sangat penting

Dan sayangnya jarang yang jujur pada diri mereka sendiri, kebanyakan yang berani jujur tambah nasibnya ajur. itulah negaraku saat ini, entah sampai kapan. hanya doa doa dan harapan. itu yang sekarang aku bisa. itulah sedikit ocehan malam saya, seorang rakyat yang hanya bisa ngoceh, tanpa pernah mau ragu dengan bangsaku, mungkin suatu saat nanti kita kan maju. dan tak ada lagi yang mati sia sia hanya demi perutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun