Gemerisik suara rumput liar sedikit mengganggu beberapa serangga disekitarnya, mereka beterbangan merasa terusik. Ada juga seekor belalang yang hanya diam di batang rumput, mencengkramkan kakinya lebih kuat agar tak terpental. Beberapa pasang kaki bersepatu terus bergerak, berjalan beriringan merambah rerumputan. Sepatu-sepatu itu kini menjadi basah karena butir-butir bening yang menempel di helai-helai daun rumput dan semak itu.
Semerbak aroma khas rumput liar terasa menyengat hidung para pejalan kaki. Suasana yang tidak akan mereka ditemui di kota besar. Empat orang remaja belasan tahun itu terus berjalan menyusuri jalan setapak.
Mereka adalah Agus, Ferry, Iwan dan Adit. Empat remaja yg sedang camping. Dan pagi itu mereka sedang menuju sumber air yaitu sebuah sungai kecil yang mengalir bening dari atas bukit.
“Dit, kamu bawa jerigennya jangan salah, nanti jerigen minyak tanah yang kamu bawa kan gak lucu,” kata Ferry mengingatkan Adit.
“Nggak lah, kan bau nya juga ketauan,” jawab Adit.
“Iya Fer, paling seperti malem kemaren, masak aer, yang direbus minyak tanah, ha ha ha ha,” Agus menimpali.
Akhirnya mereka tertawa lepas, merasa lucu mengingat satu kejadian dimana pada malam yang lalu mereka akan membuat air panas, tetapi jerigen yang mereka tuangkan ke panci adalah yg berisi minyak tanah. Dan bisa dibayangkan apa yang terjadi. Minyak tanah mendidih dan terbakar. Dasar anak-anak.
Tidak beberapa lama mereka tiba di sungai kecil yang jernih. Batu batu yang tidak terlalu besar terlihat di sepanjang aliran sungai kecil itu. Sementara di seberangnya banyak pohon-pohon pakis yang dirambati oleh tetumbuhan dan juga bunga-bunga anggrek liar. Matahari pagi mulai mengintip di sela-sela pepohonan. Menerobos dedaunan dan menerpa beningnya embun. Menciptakan kilau yang indah. Kupu-kupu dan burung-burung liarpun mulai beterbangan meninggalkan sarangnya. Kicau burung, gemericik air yang mengalir di bebatuan dan suara-suara serangga pagi seakan alunan musik ciptaan alam yang merdu.
Tanpa menunggu lama ke empat remaja itupun segera menceburkan diri. Bermain air dan menikmati segarnya udara dan suasana damai saat itu.
Sambil duduk di bebatuan mereka becanda, bermain air.
“Aku dengar dari tukang nasi uduk di bawah sana, katanya di bukit ini suka ada monyet putih. Aku penasaran, dari kemarin aku gak pernah liat tuh,” kata Iwan sambil membersihkan sepatunya dengan rumput alang-alang.
“Kamu jangan macem-macem Wan, biarin aja kenapa sih? Monyet itu kan pengen bebas disini. Gak ada yg ganggu,” jawab Ferry, dia hapal sekali dengan sifat temannya yang satu ini. Badung tidak kenal takut. Selalu penasaran dengan hal-hal yang baru.
“Iya, aku tau. Aku cuma pengen liat aja, kalo bisa ditangkep sih boleh juga,he he,” Iwan tetap dengan niatnya sambil celingukan melihat kearah pohon-pohon sekelilingnya. Nasib baik rupanya sedang berpihak pada si badung Iwan. Dia melihat sesuatu yang bergerak-gerak diatas pohon lalu diam bertengger di ujung dahan. Seekor monyet berbulu putih keabu-abuan tampak berkilau tertimpa sinar matahari pagi.
“Naaaah, akhirnya nongol juga tuh si monyong ha ha ha,” Iwan tergelak merasa senang. Tergesa-gesa dia memakai sepatu yang basah. Ketiga temannya pun jadi turut berkemas.
“Jangan berisik, nanti dia kabur,” kata Iwan lagi sedikit berbisik.
“Mau kamu apain Wan?,” Tanya Agus.
Iwan tidak menjawab, dia mengendap-endap mendekati monyet yg belum menyadari ada yang mendekatinya dari bawah pohon. Monyet putih itu masih asyik menggaruk-garuk bulu indahnya. Sesekali mengeluarkan suara khasnya, melenguh berulang-ulang. Iwan mengeluarkan sesuatu dari balik ranselnya.
“Jangan diketapel Wan, kesian,” kata Adit memohon. Rupanya Iwan mengeluarkan ketapel andalannya. Soal menggunakan ketapel dia memang sangat mahir dengan benda itu.
“Tenang aja, gak akan mati, paling puyeng doang,” jawab Iwan santai.
Ketiga temannya hanya saling pandang, tidak berani membantah apa yang akan dilakukan Iwan. Mereka memperhatikan apa yang akan diperbuat Iwan dengan ketapelnya. Posisi keempat remaja itu sekarang benar-benar dekat dengan monyet putih itu. Sementara binatang itu tetap tidak menyadari akan bahaya yang sedang mengincar dirinya. Iwan mengambil batu kecil sebesar buah duku. Dengan posisi yang dia rasa strategis, ditariknya karet ketapel hingga meregang, terarah ke monyet putih itu. Dan batu kecil itupun lepas melesat dari kulit ketapel, lurus meluncur secepat kilat kearah tubuh monyet itu. Dan….
“Splak!!!!,” batu itu tepat mengenai kepala monyet itu.
“Kwaaaaaaaakkkkk!!!!,” terdengar nyaring suara monyet itu. Lalu jatuh melayang deras ke tanah. Tubuh monyet itu melayang, meluncur cepat dan tepat menimpa batu besar di bawah pohon. Keempat sekawan itu melihat dengan jelas bagaimana monyet itu jatuh terkena tembakan ketapel Iwan. Bersamaan dengan jatuhnya monyet itu, mereka melihat ada benda kecil berbulu yang turut terpental dari balik tubuh monyet putih itu ketika jatuh menghantam batu besar.
Satu kejadian yang sama sekali diluar dugaan keempat sekawan ini. Rupanya seekor monyet betina yang sedang menyusui anaknya.
Hampir satu meter anak monyet itu terpental diiringi suara erangan lembut. Sementara itu induknya tergeletak di tanah berumput diam tak bergerak. Matanya terpejam.
Anak monyet itu menggeliat dan bergerak merangkak tertatih-tatih mendekati tubuh yang tergolek diam. Tangan kecil mungil itu meraih wajah induknya, menggerak-gerakannya sambil tetap mengerang lemah seakan memanggil-manggil ibunya agar bangun.
Perlahan-lahan kepala induk monyet bergerak dan matanya terbuka sayu, terlihat memerah. Tangannya lemah terangkat, meraih sosok mungil dan merangkul ke dalam pelukannya.
Monyet putih dan anak dalam rangkulannya itu menggeliat lemah, terlihat betapa dia menahan sakit yang amat sangat. Tangan induk monyet itu meraih sehelai daun, sejenis daun talas yang memang banyak tumbuh di bawah pohon. Lalu dia lipat daun itu membentuk corong.
Keempat remaja itu berdiri terpaku menyaksikan adegan yang hampir tidak bisa dipercaya. Seakan tidak perduli kepada empat orang yg berdiri mematung di dekatnya, induk monyet mendekatkan daun yg menyerupai corong itu ke dadanya. Adegan selanjutnya adalah satu kejadian yang sangat luar biasa. Sekuat tenaga yg tersisa, induk monyet itu memeras susunya sendiri dan di teteskan kedalam wadah daun yg dia buat sebisanya. Tetesan-tetesan susu yang tertampung di daun itu dia minumkan ke mulut anaknya, tapi tertumpah membasahi bulu-bulu putihnya karena terlepas dari tangannya. Diapun terkulai lemas.
Ada titik-titik bening yg mengalir dari sudut mata induk monyet itu. Lalu terpejam diiringi lenguhan lemah dari mulutnya lalu diam tak bergerak. Dia mati setelah memberikan susu disaat-saat terakhir hidupnya. Kini tinggalah sosok mungil anak monyet itu menjilati tetesan susu di tubuh induknya. Disaksikan empat sekawan yang mematung tak bergeming mengiringi kematian induk monyet berbulu putih itu……………………………………………………………….…………
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H