(PENGIKUT YESUS ATAU IMAM FARISI?)
Perdebatan Pernyataan Pastoral Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH PGI) mengenai LGBT yang dihasilkan dalam Sidang MPH PGI tanggal 28 Mei 2016 lalu (baca: http://pgi.or.id/pernyataan-pastoral-tentang-lgbt/), sudah sampai pada tahap diskusi yang tidak sehat. Aroma Politik dan Egosentrisme dari orang-orang yang menanggapi Pernyataan Pastoral MPH PGI sudah sangat emosional. Ketika Pernyataan Pastoral dikeluarkan, maka si Penolak LGBT menolak apapun argumentasi dari pihak yang mendukung Pernyataan Pastoral MPH PGI dengan menggunakan ayat-ayat Alkitab, memaki MPH PGI yang ada (sudah bawa ayat Alkitab, memaki lagi), bahkan ada juga pernyataan yang meminta MPH PGI untuk mundur dari jabatannya serta mencabut pernyataan pastoralnya.
Saya penasaran dan bertanya kepada salah seorang Pengurus MPH PGI mengenai banyaknya penolakan terhadap Pernyataan Pastoral MPH PGI tersebut. Lalu, Pengurus MPH PGI tersebut memberikan jawaban begini:Â
"Banyak orang memelintir dari Orientasi Seksual (concern dalam Pesan PGI) menjadi perilaku seksual. PGI tidak sedang bicara tentang perilaku seksual. PGI pun tidak ada menyebut menyetujui perkawinan sejenis. Cuma, kita tak hendak berdiskusi masalah sensitif begini di medsos. Terlalu riskan untuk disalah-mengerti dan digoreng-goreng".
Sesungguhnya, tanpa harus bertanya ke Pengurus MPH PGI, saya sudah membaca dan memahami isi serta memandang bahwa pernyataan pastoral itu bukan ditujukan untuk mendukung atau menolak LGBT. Pernyataan Pastoral tersebut justru ingin mengajak setiap orang untuk mengasihi sesama manusia, termasuk LGBT yang secara sistem maupun sosial mendapatkan perlakuan diskriminatif. Orang yang sudah menderita secara sosial maupun sistem, jangan semakin disiksa dan disakiti lagi. Seharusnya kita (baca: warga gereja) menjadi bagian dari solusi dengan tidak membuat permasalahan sosial baru. Tanpa kita sadari, LGBT ada di sekitar kita, bahkan ada yang menjadi bagian dari keluarga kita. Akankah kita mengucilkan anggota keluarga tersebut? Alkitab mencatat bahwa orang gila yang disembuhkan YESUS (Lukas 8: 26-39), dia dikucilkan oleh keluarganya, karena sudah gila dan tidak lagi dianggap sebagai manusia. Tetapi YESUS mengasihi orang gila itu, mengusir setan yang ada didalam raga orang gila itu dan memindahkannya ke kawanan babi yang akhirnya terjun ke jurang di pinggir danau serta sembuhlah orang gila itu. Ketika dia hendak mengikut Yesus, Yesus mengatakan kembalilah ke rumahmu dan pergilah, kabarkan berita baik itu. Jadi, bukankah itu sebenarnya tugas yang diberikan Tuhan kepada pengikutNYA? mengasihi dan menyampaikan kabar baik?
Saya melihat bahwa polemik tentang Pernyataan Pastoral MPH PGI sudah memasuki arena kontestasi politik yang seharusnya tidak perlu. Aroma politis dan ke-aku-an sangat kental, walau sebagian yang berkomentar itu memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan mengenal betul majelis yang mengeluarkan pernyataan pastoral tersebut. (baca: http://www.jawaban.com/read/article/id/2016/06/21/91/160622090110/ini_surat_terbuka_mangapul_sagala_kepada_sekjen_pgi_soal_lgbt). Barangkali para komentator tersebut lupa, pada bagian awal Pernyataan Pastoralnya, MPH PGI telah menuliskan:Â
"....Disadari bahwa sikap dan ajaran gereja mengenai hal ini (baca:LGBT) sangat beragam, dan pertimbangan-pertimbangan ini tidaklah dimaksudkan untuk menyeragamkannya. Pertimbangan-pertimbangan ini justru sebuah ajakan kepada gereja-gereja untuk mendalami masalah ini lebih lanjut. MPH PGI akan sangat berterimakasih jika dari hasil pendalaman itu, gereja-gereja dapat memberikan pokok-pokok pikiran sebagai umpan balik kepada MPH PGI untuk menyempurnakan Sikap dan Pandangan PGI mengenai masalah ini."
Tulisan pada bagian awal pernyataan pastoral tersebut sebenarnya sudah sangat jelas dan gamblang. MPH PGI ingin mengajak gereja-gereja (baca: surat PGI nomor 360/PGI-XVI/2016 tertanggal 17 Juni 2016 ditujukan kepada Pimpinan Gereja Anggota PGI) untuk mendalami masalah ini lebih lanjut dan mengharapkan umpan balik untuk menyempurnakan Sikap dan Pandangan PGI mengenai masalah LGBT. Pernyataan pastoral tersebut sudah jelas ditujukan kepada siapa. Begitu juga apa harapan dari Pernyataan Pastoral tersebut? Seandainya ada poin dari pernyataan pastoral tersebut yang kurang jelas atau tidak dipahami, tentu akan lebih berwibawa dan elegan (Baca: lebih etis) jikalau meminta penjelasan lebih lanjut kepada MPH PGI, bukan? Sebaliknya, tidak berkoar-koar di Media Sosial, seolah yang membuat Pernyataan Pastoral tidak memberi kesempatan berdiskusi dan komunikasi kepada anggota gereja maupun ahli kitab.Â
Berhubung para komentator atau si Penolak LGBT sudah sentimen terhadap LGBT, maka sangat kecil kemungkinan kelompok ini mau bertanya dan berdiskusi kepada MPH PGI, sekalipun secara pribadi, diantara kelompok (kristen) penolak LGBT ini ada yang mengenal orang  di MPH PGI, bahkan ada yang sudah mengenal sejak muda dan satu gereja. Penjelasan seperti apapun tetap saja tidak dapat diterima karena kelompok ini sudah memiliki pemahaman tidak mengenal Kompromi dengan penganut LGBT yang karya iblis itu. Demikian murkanya kelompok ini dengan Pernyataan Pastoral MPH PGI, sehingga Media Sosial dijadikan sebagai media untuk menumpahkan segenap kekesalan dan mengeluarkan isi hati serta pikiran mereka. Entah disengaja atau tidak, pada akhirnya media sosial yang seharusnya dapat digunakan sebagai ajang untuk mempererat komunikasi bagi yang sudah saling mengenal, dan menjadi ajang berkenalan bagi yang belum saling kenal berubah menjadi hujatan, makian, penghakiman, pendiskreditan, dan hal buruk lainnya persis seperti PERANG DINGIN antara UNI SOVYET dengan AMERIKA SERIKAT ketika itu.Â
Para penolak LGBT memiliki kacamata tersendiri memandang kaum LGBT, dan sudah menembok atau membatasi dirinya untuk berbicara tentang LGBT. Bahkan kelompok penolak LGBT ini, memberi cap LGBT kepada orang atau kelompok masyarakat yang melakukan pembelaan terhadap hak kaum LGBT dari ketidakadilan maupun diskriminasi yang mereka alami. Saya melihat bahwa sikap Kelompok penolak LGBT ini seolah menunjukkan dirinya sebagai tuhan di muka bumi ini. Yesus sendiri tidak pernah memberi pembelajaran hidup untuk menghakimi siapapun. Sebaliknya DIA memberi contoh kepada pengikutNYA untuk berbuat baik dan mengasihi sesama manusia, sehina apapun orang tersebut, tidak layak didiskriminasi apalagi dikucilkan. Salah satunya Perempuan Samaria yang BERZINAH (Yohanes 8: 2-11).Â
Dengan mengacu pada Hukum Taurat Musa (kalau sekarang dengan dalil ayat-ayat Alkitab), Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi mengatakan bahwa perempuan berzinah harus dilempari dan dihukum. Namun YESUS berkata kepada ahli Taurat dan orang Farisi itu: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Mendengar pernyataan Yesus itu, maka kaum Agamawan (yang katanya suci itu), satu persatu meninggalkan perempuan itu bersama Yesus. Lalu Perempuan itu bersujud pada Yesus dan menyesali perbuatannya. APA KATA YESUS? "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." Kenapa YESUS Tidak menghakimi perempuan itu? Sementara Si Ahli Taurat dan orang Farisi itu ingin menghakimi? Padahal jelas, hukum taurat melarang perbuatan zinah dan itu dosa besar bagi kaum Yahudi. Apakah anda sesungguhnya PENGIKUT YESUS atau PENGIKUT AHLI TAURAT DAN ORANG-ORANG FARISI?