Tanggal 11 Agustus 2010 yang lalu, masyarakat Indonesia, terkhusus masyarakat Yogyakarta dikejutkan dengan berita yang menghebohkan, yaitu hilangnya 87 koleksi masterpiece museum Sonobudoyo. Di kemudian hari, melalui Tim Evaluator yang dibentuk oleh Gubernur DIY pada tanggal 15 April 2011, pihak pengelola museum Sonobudoyo mengklarifikasi jumlah koleksi yang hilang menjadi 75 koleksi, dan selebihnya tercecer. Koleksi yang pada umumnya berbahan dasar emas, dan sebagian kecil berbahan dasar perunggu dan perak merupakan hibah dari Java Instituut. Sekedar menyegarkan kembali ingatan kolektif masyarakat tentang jenis koleksi yang hilang beberapa diantaranya topeng emas satu buah, lempengan siluette satu buah, Kalung emas bersusun tiga sebagai penghias dada satu buah, kalung berliontin dengan permata berlian satu buah, kalung berliontin segi enam satu buah, mahkota terbuat dari emas satu buah, perhiasan emas berbentuk bulan sabit satu buah, arca Dewi Tara berbahan emas satu buah, arca Awalokiteswara satu buah, arca Dyani Budha Akshobya berbahan perunggu berlapis emas satu buah, cepuk (kotak), dan beberapa fragmen perhiasan lainnya seperti lempengan emas dan perak, kalung dari jenis lainnya, wadah bertutup, dan mangkuk. Berbagai upaya telah dilakukan dalam mengungkapkan kasus tersebut, mulai dari penyelidikan dan pemeriksaan saksi-saksi yang dilakukan oleh pihak kepolisian sampai upaya supranatural. Namun sampai saat ini, pihak Kepolisian DIY belum mampu mengungkapkan siapa pelaku pencurian dan benda yang hilang belum terlacak keberadaannya.
Momentum Pembenahan Museum Sonobudoyo
International Council of Museum (ICOM,2007) mendefinisikan bahwa museum adalah lembaga permanen yang tidak untuk mencari keuntungan (not for profit), diabdikan untuk kepentingan dan pembangunan masyarakat, serta terbuka untuk umum dengan cara mengumpulkan, melestarikan, meneliti, mengkomunikasikan, memamerkan bukti-bukti bendawi manusia dan lingkungannya untuk tujuan pengkajian, pendidikan dan kesenangan. Museum sebagai pusat peradaban merupakan satu identitas yang memiliki konsekuensi tanggungjawab yang sangat besar. Setidaknya ada dua tanggung jawab museum menurut Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya yaitu pertama, Pasal 18 ayat (2) menegaskan bahwa museum merupakan lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya atau bukan cagar budaya, dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Kedua, melalui tujuan pelestarian cagar budaya pasal 3, didapatkan pula gambaran bahwa museum memiliki tanggungjawab besar dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat bangsa, membentuk karakter dan menguatkan kepribadian bangsa dalam semangat nasionalisme kebangsaan yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tanggung jawab tersebut tentu membutuhkan keseriusan dari segenap komponen bangsa.
Ada beberapa permasalahan yang mengemuka dalam menjalankan tanggung jawab tersebut diantaranya pertama, rendahnya political will dari eksekutif maupun legislatif di tingkat pusat maupun daerah dapat dilihat dari belum adanya sistem peraturan, kebijakan, dan penganggaran museum sebagamana diamanatkan oleh Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya; kedua, tata kelola (manajemen) museum yang tidak profesional dan sangat birokratis. Saat ini museum Sonobudoyo masih dikelola menurut tata kelola sistem birokrasi pemerintahan pada umumnya, dibawah Dinas Kebudayaan Pemda DIY. Sistem tersebut bertentangan dengan semangat pengelolaan museum yang diakui secara internasional melalui organisasi ICOM yang mengedepankan semangat kemandirian, profesional, tidak mencari keuntungan, dan berorientasi pada pelayanan publik. Mandiri dalam hal penyusunan program, penganggaran, membuat jejaring, dan rekuritmen SDM. Profesional dalam kerja-kerja museum meliputi aspek manajemen koleksi, keamanan, penelitian, edukasi, dan pelayanan publik. Karakter yang tepat sesuai dengan standar pengelolaan museum pemerintah, termasuk museum Sonobudoyo adalah Badan Layanan Umum (BLU). BLU ini merupakan instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Ketiga, minim dan terbatasnya sumber daya manusia. Museum masih dianggap sebagai tempat ‘pembuangan’ bagi pegawai di lingkungan pemerintahan, termasuk adanya anggapan bahwa museum sebagai gudang penyimpanan barang-barang tua atau rongsokan. Citra museum yang demikian, menurut Daud Aris Tanudirjo (2008), seorang Arkeolog UGM menjadi problem mendasar dari museum di Indonesia. Ke depan museum perlu diisi oleh Sumber Daya Manusia museum yang memiliki leadership dan jiwa entrepreneurship, bukan sekedar business. Dan keempat, adalah merupakan prasarana dan sarana museum. Banyak museum di Indonesia menganggap bahwa dengan tersedianya gedung, tenaga pengelola, dan koleksi dianggap sudah cukup dalam penyelenggaraan museum. Penyelenggaraan museum tanpa disertai prasarana dan sarana yang baik seperti kualitas gedung, tempat penyimpanan (storage), sistem pengamanan, genset, alat pemadaman kebakaran, dan fasilitas pendukung lainnya akan sangat mempengaruhi kinerja museum. Salah satu kendala sulitnya mengungkap kasus Sonobudoyo karena alat perekam CCTV yang diharapkan dapat membantu pengungkapan kasus justru tidak diaktifkan.
Belajar dari Kasus Sonobudoyo
Kasus pencurian koleksi emas masterpiece Museum Sonobudoyo hendaknya menjadi bahan evaluasi sekaligus pembelajaran bagi kita bersama bahwa pengelolaan museum bukanlah perkara mudah dan tidak bisa diperlakukan sama seperti mengelola negara atau pemerintahan. Pengelolaan museum memiliki kekhasan tersendiri dan harus dilakukan secara mandiri dan profesional serta membutuhkan kepedulian baik dari pemerintah maupun masyarakat. Namun demikian, kasus tersebut tidak pula dilupakan, karena hal itu tidak akan menjawab permasalahan yang sesungguhnya. Kedepan diharapkan perlunya dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Pengungkapan Kasus yang terdiri dari masing-masing stakeholder baik kepolisian, masyarakat, pemda, maupun pemerintah pusat mengingat kasus tersebut spesifik, khusus, dan skala nasional. Keseriusan dalam menanggulangi permasalahan museum Sonobudoyo mulai dari kasus hilangnya koleksi Sonobudoyo sampai dengan pembenahan manajemen museum Sonobudoyo merupakan pekerjaan rumah bersama segenap komponen bangsa ini. Di lingkup DIY, tentunya ini bisa juga menjadi prioritas pertama dalam rangka menggenapi janji keistimewaan DIY padabidang kebudayaan. Sebab Keistimewaan DIY saat ini bukan lagi pada tataran wacana, tetapi bagaimana mengejawantahkannya dalam keseharian masyarakat DIY.
Salam Budaya...!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H