Foto oleh Arya Krisdyantara di Unsplash.
Baru saja kita mencoba bangkit dari hantaman pandemi, kabar tentang kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% kembali mengguncang. Kenaikan ini mungkin terdengar sederhana bagi sebagian orang, tetapi bagi masyarakat kecil yang sehari-harinya sudah berjuang dengan gaji pas-pasan, ini adalah beban tambahan yang sulit diabaikan.
Pemerintah berdalih bahwa kebijakan ini diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara. Mereka mengatakan bahwa langkah ini bagian dari reformasi pajak, yang bertujuan agar anggaran negara lebih kuat dan pembangunan dapat berjalan lancar. Namun, pertanyaannya adalah: apakah ini waktu yang tepat? Apakah masyarakat benar-benar siap menanggung kebijakan ini, di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
PPN dan Keseharian Kita
Bayangkan seorang ibu rumah tangga yang setiap harinya harus mengatur uang belanja dengan sangat hati-hati. Ketika harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, beras, atau gula melonjak, ia harus memutar otak untuk tetap memenuhi kebutuhan keluarganya. Meski pemerintah mengatakan bahwa barang-barang kebutuhan pokok tidak akan terkena PPN, efek domino dari kenaikan ini tidak bisa dihindari.
Ambil contoh sederhana: biaya transportasi mungkin naik, harga jasa akan terdampak, dan pada akhirnya, semua itu akan sampai juga ke masyarakat kecil. Tidak peduli bagaimana pemerintah berusaha menahan dampaknya, masyarakat bawah selalu menjadi pihak pertama yang harus memikul beban terberat.
PPN memang terdengar seperti angka kecil, hanya beberapa persen saja. Tapi bagi seorang pedagang kecil di pasar, kenaikan ini berarti harga dagangan harus naik. Dan di sisi lain, daya beli masyarakat yang melemah akan membuat pelanggannya berpikir dua kali untuk membeli. Ini adalah lingkaran masalah yang sulit diputus.
Pemerintah dan Harapan yang Dititipkan
Di sisi lain, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah. Anggaran negara membutuhkan sokongan yang kuat untuk membangun infrastruktur, memperbaiki layanan publik, hingga memberikan bantuan sosial. Namun, bukankah ada cara lain yang lebih adil?
Mengapa tidak fokus pada memperluas basis pajak terlebih dahulu? Banyak sektor informal yang selama ini belum tersentuh pajak, atau wajib pajak besar yang berhasil menghindar dari kewajiban mereka. Jika langkah ini dilakukan dengan serius, apakah tidak cukup untuk menopang anggaran tanpa harus membebani masyarakat kecil?
Transparansi juga menjadi isu besar. Banyak masyarakat yang masih ragu, apakah pajak yang mereka bayarkan benar-benar akan digunakan untuk kepentingan rakyat, atau justru terjebak dalam pusaran korupsi. Untuk meyakinkan masyarakat, pemerintah harus berani menunjukkan bahwa setiap rupiah yang masuk akan dikelola dengan baik dan digunakan untuk kepentingan bersama.