Mohon tunggu...
Jodi Rahmanto
Jodi Rahmanto Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan Wakil Ketua BEM Universitas Negeri Yogyakarta 2019

Seseorang yang penasaran dengan banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bentuk Pertanggung Jawaban, Pimpinan Tertinggi Badan POM Harus Mundur

26 Oktober 2022   14:57 Diperbarui: 26 Oktober 2022   15:11 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sulit membayangkan bagaimana kesedihan yang dialami ratusan orang tua di Indonesia. Ketika mereka mendapati anak mereka sakit, lalu pergi ke dokter atau apotek lalu membawakan obat, dengan harapan obat tersebut dapat memberikan kesembuhan bagi buah hati mereka. Namun yang terjadi sebaliknya. Kondisi anak mereka malah tak kunjung membaik, bahkan memburuk, bahkan sebagian diantaranya meninggal dunia. Penyebabnya adalah konsumsi obat sirup yang terkontaminasi zat berbahaya dan menyebabkan gagal ginjal akut. Harapan berubah menjadi petaka.

Hingga tulisan ini dibuat (26/10/2022), terdapat 255 kasus korban anak yang mengalami gagal ginjal akut di 26 provinsi, dimana 143 diantaranya meninggal dunia. Dengan angka ini, tingkat kematian kasus tersebut mencapai 56% dimana mayoritas korbannya adalah anak dibawah 5 tahun. Kementrian Kesehatan telah memastikan penyebab gagal ginjal akut ini adalah konsumsi obat sirup yang tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Mirip seperti kasus di Gambia yang menyebabkan 66 anak meninggal dunia.

Badan Pengawas Obat dan Makanan telah merespon kasus ini dengan menguji ratusan obat batuk yang dikonsumsi para korban gagal ginjal akut. Hasilnya dari 102 obat, 30 obat dinyatakan tidak mengandung cemaran EG dan DEG, dan ada 3 produk yang mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas aman. Kepala BPOM, Penny Lukito mengatakan pihaknya akan memidanakan industri farmasi yang menggunakan EG dan DEG melebih ambang batas aman.

Namun sebenarnya BPOM selama ini tidak pernah melakukan pengujian terhadap kadar EG dan DEG dalam obat sirup. Hal ini dikarenakan, di dunia internasional belum ada standar pengujian kadar EG dan DEG dalam obat-obatan. Hal itu dikatakan oleh Kepala BPOM sendiri. Kecurigaan terhadap kedua bahan tersebut pun baru muncul setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan peringatan pada 5 Oktober lalu, terkait kasus gagal ginjal akut di Gambia. Padahal di Indonesia sendiri, kasus gagal ginjal akut ini sudah dimulai sejak Januari dan melonjak saat Agustus 2022.

Kasus keracunan EG dan DEG ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi di dunia. Dikutip dari Kompas.com, berdasarkan catatan Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi, Tjancra Yoga Aditama, setidaknya di India telah mengalami 5 kali kejadian gagal ginjal akut yang dihubungkan dengan cemaran EG dan DEG pada 1972-2020 yang menyebabkan 80 kematian. Di Panama juga pernah terjadi kejadian serupa pada 2007 yang menewaskan 365 orang. Di Bangladesh juga pernah ditemukan kontaminasi EG dan DEG pada 7 merk obat demam pada tahun 1992.  Padahal seharusnya BPOM memiliki akses informasi yang lebih luas terkait hal ini.

Namun, nasi telah menjadi bubur. Nyawa yang hilang tidak akan bisa dikembalikan. Dalam kasus ini, masyarakat banyak menyoroti BPOM sebagai otoritas yang bertanggung jawab atas pengawasan obat. Bagaimana tidak, obat sirup yang mengandung zat berbahaya tersebut nyatanya sudah memiliki izin edar resmi dari BPOM. Banyak pihak yang menyayangkan keterlambatan BPOM dalam mendeteksi ancaman zat berbahaya dalam obat ini dan juga harus ikut bertanggung jawab. Beberapa pihak bahkan menyebut BPOM lalai.

Ketua Penguruh Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno mengatakan bahwa pemerintah harus mengevaluasi kembali kemampuan pengawasan BPOM. Ketua umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Richard Samosir meminta selain industri farmasi, BPOM juga harus bertanggung jawab atas tragedi ini, sebab BPOM merupakan pemangku kepentingan. Terbaru, Ombudsman bahkan menyebut bahwa terjadi maladministrasi di dalam BPOM.

Selain nama-nama di atas, epidemiolog Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman menganggap BPOM masih lemah dalam mendeteksi obat yang mengandung senyawa berbahaya. Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah bahkan menilai BPOM harus dibenahi. Hal itu menurutnya dikarenakan lambatnya BPOM dalam merespon persoalan yang ada di masyarakat. Tak hanya itu, jika kita berselancar di media sosial, kita juga akan mendapati ribuan masyarakat menginginkan Kepala BPOM untuk mundur sebagai bentuk pertanggung jawaban.

Untunglah hingga saat ini sudah terdapat obat penawar dengan tingkat efektivitas hingga 90%, yaitu fomepizol, obat yang direkomendasikan WHO. Femopizol telah diberikan ke pasien di sejumlah rumah sakit rujukan pemerintah, salah satunya adalah RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dimana setelah pasien diberikan fomepizol, 10 dari 11 pasien mulai membaik. Saat ini pemerintah berencana mendatangkan lebih banyak obat penawar sekitar 200 vial dari Jepang dan Amerika Serikat, dan akan segera didistribusikan ke seluruh rumah sakit rujukan pemerintah di Indonesia, dan akan diberikan gratis.

Kita tentu berharap dan berdoa setelah ini hanya akan ada kabar baik. Tidak ada lagi penambahan korban dan para pasien dapat segera sembuh. Industri yang terlibat dalam pencemaran zat berbahaya tersebut dapat segera diadili, dan para pejabat pemangku kebijakan dapat segera mundur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun