Mohon tunggu...
Jodhi Yudono
Jodhi Yudono Mohon Tunggu... -

beta cuma pengembara yang berjalan dengan hati, bekalku cuma kasih sayang yang kubagi untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

The Paijo Family

6 Juni 2011   00:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:50 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Saya hendak berkisah tentang sebuah keluarga urban yang tinggal di pinggiran kota Jakarta. Mereka adalah sebuah keluarga kecil dengan tiga anggota keluarga: bapak, ibu, dan anak semata wayang. Paijo (ayah), adalah seniman serba bisa. Paijah (ibu), seorang perempuan ulet yang sehari-hari jualan gado-gado. Markonah (anak), adalah dara berparas ayu yang baru duduk di kelas dua SMA. Saban hari mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Paijo, jika tak menulis, dia melukis. Tapi untuk mengasapi dapurnya, dia biasa menjadi pemain pengganti di home band beberapa kafe nyaris setiap malam. Sementara Paijah, mulai membuka hari sejak pukul setengah lima pagi dengan berbelanja di pasar Kebayoran Lama. Paijah menutup kegiatannya sebagai penjual gado-gado biasanya pukul tiga sore, sebelum akhirnya berkutat dengan urusan rumah. Tentu, paling enak adalah pekerjaan Markonah. Hari-harinya diisi sekolah di sebuah SMA Negeri. Paling banter, Markonah membantu Paijah di warung yang terletak di halaman rumah mereka. Tapi paling pol hanya setengah jam, sebab Markonah pulang sekolah biasanya pukul setengah tiga. Well, saya membuka cerita ini pada Senin dinihari, setelah Paijah dan Markonah masuk ke dalam kamar tidur. Nah, mumpung ketiga tokoh kita sudah pada bobok, mari kita ngrasani mereka sesuka kita. Tenang saja, mereka sudah tidur pulas. Ijah seranjang sama Onah putrinya, sedang Paijo sebagai kepala keluarga kebablasan tidur di depan televisi di ruang tamu yang tak seberapa luas itu. Di kalangan kawan-kawannya di Bulungan, Paijo lebih sering dipanggil Pay. Hanya satu dua orang saja yang memanggilnya Paijo, yakni para senior yang telah malang melintang jauh hari sebelum Paijo bergaul di komunitas seniman yang terletak di Jakarta Selatan itu. Mereka yang tiba satu masa dengan suami Ijah ini, memanggilnya Pay. Sementara para yuniornya, tentu saja menambah panggilan Bang di depan nama Pay. Pay boleh dibilang seniman serba bisa. Menulis puisi dan prosa dia gape, melukis juga bagus, bermain musik juga tak ada celanya. Dari kebisaannya yang multi talenta itulah, rezeki Pay jadi lancar. Buntu di sektor menulis, dia bisa mengerjakan pesanan melukis, dan jika melukis lagi mampet ide, banyak home band kafe yang memintanya sebagai pemain aditional. Delapanbelas tahun lalu Pay hijrah dari Surabaya menuju ke Jakarta membawa serta Paijah yang berdarah Madura serta Markonah yang kala itu masih berada di dalam kandungan. Setelah terhina oleh sindiran keluarga besar paijah yang rata-rata sukses berbisnis besi tua, Pay pun bertekad memperbaiki nasib di ibukota. Berbekal sebuah gitar, kliping koran hasil tulisannya, serta perlengkapan melukis, Pay membawa keluarganya naik kereta ekonomi dari stasiun Wonokromo. Bagai nahkoda, Pay pun siap mengarungi gelombang hidup kota Jakarta yang banyak menawarkan kemungkinan untuk berkembang. Untunglah, kendati dari keluarga yang lumayan berpunya, Ijah bukan termasuk perempuan manja. Begitu sampai di Jakarta, Ijah langsung menyingsingkan lengan baju dan membuka warung rujak cingur di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat. Jika bukan karena cinta, tentu Ijah lebih memilih tetap tinggal bersama keluarganya di Surabaya. Kesalahan Ijah adalah karena dia menikahi seniman macam Paijo. Di mata keluarga Ijah, seniman macam Paijo bakal bermasa depan suram. Setahun setelah mengenal Jakarta, Pay mengajak keluarganya pindah ke kawasan Radio Dalam. Pay bilang, supaya tak kelewat jauh dari komunitas barunya di Gelanggang Remaja Bulungan. Markonah telah berusia enam bulan saat ayah ibunya boyongan ke Radio Dalam. Lantaran obyekan Pay mulai lancar sebagai pelukis dan pemusik, mereka bisa mengontrak rumah petak di sana. Atas saran Pay, Ijah pun mengganti menu dagangannya dari rujak cingur menjadi gado-gado. Waktu demi waktu, jualan gado-gado Ijah kian laris, pun job Pay tambah lancar. Genap lima tahun, mereka bisa mencicil rumah di pinggiran Jakarta. Kini, rumah cicilan itu telah lunas. Di dalamnya ada perabotan yang cukup lengkap, mulai dari sofa, televisi, seperangkat audio, kulkas, mesin cuci, dan sebuah motor yang siap mengantar Pay memenuhi undangan "ngamen" serta mengantar keluarga jika hari libur tiba. Sssssstttt.. sudah jam setengah lima, sebentar lagi Ijah bangun. Dia mesti membeli sayuran dan keperluan lainnya untuk jualan pagi nanti. Sudah dulu ya, besok kita sambung lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun