Mohon tunggu...
Jodhi Yudono
Jodhi Yudono Mohon Tunggu... -

beta cuma pengembara yang berjalan dengan hati, bekalku cuma kasih sayang yang kubagi untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sugeng Kondur Eyang Gesang...

21 Mei 2010   10:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:04 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_146676" align="aligncenter" width="298" caption="kompas.com"][/caption] KOMPAS.com — Gesang memang telah pergi. Tetapi nama dan karya-karyanya akan tetap abadi, selama bangsa ini masih suka bernyanyi. Dan "Bengawan Solo" adalah sebuah lagu yang punya kans untuk tetap dinyanyikan di segala zaman. Mafhumlah sebab lagu Gesang, "Bengawan Solo", misalnya, adalah lagu dengan notasi dan struktur lagu yang bersahaja sehingga orang akan gampang mengingat dan menyanyikannya. Di samping itu, syair yang terdapat pada lagu tersebut juga kontekstual di segala waktu. Simaklah ini: Bengawan Solo Riwayatmu ini Sedari dulu jadi... Perhatian insani Musim kemarau Tak seberapa airmu Di musim hujan air.. Meluap sampai jauh Mata airmu dari Solo Terkurung gunung seribu Air mengalir sampai jauh Akhirnya ke laut Itu perahu Riwayatnya dulu Kaum pedagang selalu... Naik itu perahu Syair "Bengawan Solo" adalah sebuah realitas yang terus berlangsung dari dulu hingga kini. Dia menjadi fakta tak terbantahkan meski lagu tersebut telah berusia 70 tahun. Dari dulu hingga sekarang, sungai ini menjadi perhatian masyarakat. Sebab, Bengawan Solo adalah sungai terpanjang di Pulau Jawa dengan dua hulu sungai, yaitu dari daerah Pegunungan Kidul, Wonogiri, dan Ponorogo, selanjutnya bermuara di daerah Gresik. Sungai ini panjangnya sekitar 548,53 kilometer dan mengaliri dua provinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di samping banjir yang tiap tahun saban musim hujan tiba, seperti yang dilukiskan oleh Gesang dalam lagunya. Lagu dan syair Gesang adalah sebuah kesatuan yang lahir dari kecerdasan manusia bernama Gesang yang peka dengan sekitarnya. Dia adalah pemotret sekaligus pencatat peristiwa yang baik dan lalu menceritakannya dengan lugas ke orang lain melalui lagu. Maka, seperti para musisi legendaris lainnya, "cerita" Gesang melalui karya-karya lagunya pun menjadi bagian dari sejarah perjalanan umat manusia. Gesang dilahirkan di Solo, 1 Oktober 1917, putra kelima dari pasangan Ny Sumidah dengan Martodihardjo. Gesang terlahir dengan nama asli Sutardi. Karena sering sakit-sakitan, namanya diganti menjadi Gesang, yang artinya "hidup". Ibu kandung Gesang, Ny Sumidah, telah meninggal dunia ketika maestro keroncong ini berusia lima tahun. Gesang hanya sempat mengenyam pendidikan formal di Sekolah Rakyat Ongko Loro sampai kelas lima. Semasa mudanya Gesang adalah penyanyi pada Orkes Keroncong "Kembang Kacang" pimpinan Supinah. Di orkes inilah bakat Gesang sebagai penyanyi dan pencipta lagu berkembang. Setiap lagu baru yang dihasilkannya, Gesang meminta kepada salah seorang pemain Orkes Keroncong Kembang Kacang untuk dimainkan pada gitar atau piano. Gesang mengaku bahwa ia kurang menguasai teori musik. "Kalau menciptakan lagu, kira-kira dulu dalam pikirannya, hanya liriknya yang ditulis, kemudian ia meminta kepada teman untuk memainkan melodinya dengan alat musik," tuturnya. Ya, Gesang adalah prototipe komposer yang tidak pandai memainkan musik. Jenis pencipta seperti Gesang ini, kita mengenal ada Titiek Puspa, Eros Djarot, dan Melly Goeslaw. Meski tak pandai bermusik, adakah dari kita yang menyangsikan keindahan dari lagu-lagu yang mereka ciptakan? Lantaran tidak pandai memainkan instrumen musik itulah, lagu yang lahir dari mereka justru lebih murni dibanding mereka yang membuat lagu melaui alat bantu instrumen musik yang suka menjebak komposer pada format tempo dan alur melodi yang ke itu-itu saja. Pada beberapa lagu karya Melly, malah bisa kita dapati betapa istri Anto Hoed ini sangat liar dalam berimajinasi. Betapapun, imajinasi memang memiliki ruang yang lebih luas dibanding instrumen musik itu sendiri. Kini Gesang memang telah tiada. Lagu dan musisi boleh datang dan pergi meramaikan jagat permusikan negeri ini. Tetapi nama Gesang dan lagu "Bengawan Solo" akan terus dikenang. Nama Gesang dan lagu "Bengawan Solo" terus menemani perjalanan bangsa ini, entah sampai kapan. Tidak ada yang bisa menolak keniscayaan ini sebab Gesang serta "Bengawan Solo" telah meruang dan mewaktu menjadi teman sekaligus pelipur lara bangsa ini. Selamat jalan Gesang. Sugeng kondur, Eyang Gesang. Oleh Jodhi Yudono

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun