Mohon tunggu...
Jodhi Yudono
Jodhi Yudono Mohon Tunggu... -

beta cuma pengembara yang berjalan dengan hati, bekalku cuma kasih sayang yang kubagi untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mencari Leo Kristi di Jimbaran

17 November 2009   18:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:18 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Juha mencari Leo di sana, di pantai Jimbaran, Bali, pada sebuah malam purnama di bulan Juni. Tapi Leo tak ada. Entah ke mana ia. Tapi di mana pun Leo, pastilah ia tetap bersama perasaannya yang senantiasa gelisah.Dulu Leo pernah cerita, jika ia datang ke Jimbaran, tempat orang-orang datang untuk mengudap ikan bakar, selalu ia awali kalimatnya dengan kata-kata begini, "Konser Rakyat, beli. Biasa." Intinya cuma satu, Leo kepingin harga murah untuk ikan bakar yang dipesannya. Leo sendiri tak peduli, apakah si penjual tahu makna Konser Rakyat atau tidak. Leo juga tak peduli, apakah si penjual juga tahu siapa dirinya atau tidak. Leo hanya peduli, ia membayar lebih murah ketimbang pemesan lainnya, terlebih pemesan yang berjenis turis asing. Begitulah, setelah duduk menghadap laut, setelah memesan ikan bawal, cumi bakar, dan kelapa muda, Juha pun mulai melacak jejak Leo dengan lamunannya. Leo, ya Leo Kristi, pemilik grup Konser Rakyat, yang darinya orang pernah mengenali lagu-lagu Gulagalugu Suara Nelayan, Jabat Tangan Erat-erat, Langit Makin Merah Hitam, Bencana Tanah Negara, Pohon Tua Ranting Kering, Timor Timur, Kata Hati Menikah, Fajar sampai Fajar, Salam dari Desa, Lewat Kiara Condong. Tahun 1990 pertama kali Juha ketemu Leo. Entah oleh sebab apa, mereka berdua segera cocok. Maka mulailah, perjalanan dari rumah seorang teman Leo di daerah Fatmawati, Jakarta Selatan bermula. Cecilia, penyanyi Leo kala itu, turut serta dalam perjalan tanpa arah. Bertiga mereka mengarungi jalanan kota Jakarta dengan naik angkutan umum. Seperti di Jimbaran, dimana tak ada orang yang tahu Konser Rakyat dan juga pemiliknya, di atas angkutan umum itu pun tak ada yang mengenali Leo. Padahal...ciri-ciri sebagai seorang artis jelas lekat padanya. Rambut mengkilat dengan kuncir di belakang. Sehelai bulu burung rajawali juga terselip di rambutnya, serta suaranya yang romantis, bukankah ini cukup membedakannya dari orang kebanyakan. Ah, Leo juga tak peduli betul dengan situasi itu. Leo hanya peduli dengan pandang matanya yang bisa menikmati wajah gadis-gadis cantik yang secara kebetulan berselisih lalu dengannya. "Halo..." Juha mengira itu suara Leo yang menyapa gadis-gadis dari atas angkutan. "Halo..." "Ah ya , hallo juga." "Boleh saya duduk di sini?" Seorang wanita muda menghampiri Juha. Ia datang sendiri. Sesaat, tak ada pembicaraan di antara mereka. Juha kembali menatap air laut yang berkilat-kilat oleh cahaya purnama, sedang wanita muda dengan rambut bercat merah di sebelahnya sibuk dengan massage di handphone-nya. "Sendiri?" Wanita itu berkata tiba-tiba. "Hah? Ya, sendiri," singkat Juha menjawab. "Saya juga sendiri." "Sering ke sini?" "Tidak terlalu sering." "Selalu sendiri?" "Tidak juga. Anda?" "Baru ini kali saya datang ke sini." Mereka pun segera terlibat dalam perbincangan. Mereka bicara apa saja. Mulai dari ikan bakar, politik, ekonomi, sampai babat tanah Bali. Air laut sudah berkurang kilaunya karena bulan sedang berkalang. Mega-mega mengapung di angkasa menyerupai gugusan kapuk. Ah bulan berkalang, bulan separuh bayang. Isyarat apa ini, kata hati Juha sambil mengenangkan omongan orang-orang tua di kampungnya yang masih percaya dengan pertanda alam macam bulan berkalang yang  biasanya mendahului peristiwa buruk yang bakal terjadi. Semacam indikasi, isyarat, simbol, tanda, kode, tapi tentu tak termasuk dalam lingkup yang dipelajari dalam ilmu semiotika seperti yang diajarkan de Saussure, Buyssens, Prieto, sampai Umberto Eco. Sebab, bukankah dunia modern yang diyakini cuma milik orang-orang Eropa dan Amerika cuma mengenal bahasa manusia. Sementara bahasa alam semesta, hanya diminati orang-orang Timur macam kita. Sejarah akhirnya membuktikan, betapa manusia Timur pun akhirnya asyik masyuk dengan "bahasa manusia" Barat. Semua harus diakalkan, dilogikakan. Jika tak masuk akal, maka ia pun masuk ke dalam wilayah klenik. Dan klenik di zaman kini, adalah dosa tak terampuni dalam pergaulan manusia-manusia modern. Dan mereka yang masih percaya dengan "bahasa alam" macam Juha itu, lebih baik bicara bisik-bisik jika mendengar kicau burung bence sebagai tanda bakal ada orang kemalingan. Atau melihat burung gagak yang biasanya diterjemahkan sebagai pertanda bakal ada orang meninggal. Bakal kedatangan tamu jika di depan rumah ramai berkicau burung prenjak. Klenik, tapi puitik. Tak teraba oleh akal tapi teraba oleh hati. Seperti lukisan itulah, seperti tarian itulah, dan tentu pula seperti puisi. O..., bulan berkalang di atas tanah nusantara, berkali datang berkali pergi. Begitulah juga adanya bencana dan kesialan yang melanda pertiwi. Dan ini kali, bulan berkalang menggantung di angkasa Bali. Gumpalan mega terus berarak menyepuh bulan, maka bulan pun pucat wajahnya. * * * Wanita itu bernama Serenity, tapi ia minta Juha memanggilnya Nit saja. Ia, secantik namanya.  Alis mata tebal, hidung mancung, dan...seperti kebanyakan wanita Manado, ia pun berkulit bersih. Malam itu, seperti Juha, Nit pun cuma iseng datang ke Jimbaran. Ia berharap angin pantai Jimbaran bisa meredakan kesumpekan otaknya yang mabuk oleh angka-angka perdagangan di kantornya yang bergerak di bidang ekspor kerajinan nun di Kuta sana. Waktu Nit bertanya, adakah Juha juga sedang melepas beban pikiran di Jimbaran? Juha hanya mengucap singkat. "Saya sedang mencari Leo di sini." "Teman Mas?" Juha mengangguk. "Mas janjian sama dia?" Juha menggeleng. "Ada di mana dia sekarang?" Juha masih menggeleng. Maka meledaklah tawa Nit. Untunglah, tawanya sesopan orangnya. Pelan. Sehingga tak mengganggu orang lain di sekitar mereka. Juha lalu bercerita tentang Leo. Pemusik yang beroleh julukan troubador itu nama aslinya Imam Sukarno. Lahir di Surabaya sekitar setengah abad yang lalu. Pernah gabung dengan Gombloh dalam kelompok Lemon Trees. Lalu mendirikan kelompok Konser Rakyat bersama seorang wanita bernama Christie dan tampil pertama kali di Gedung Kesenian Surabaya, Mitra, pada tahun 1974. Barangkali karena enak didengar, maka nama wanita yang sudah tak bersama Leo itu pun tetap dipakai hingga kini. Jadilah Leo Kristi. Leo adalah jenis pemusik yang berjalan dan bermusik dengan hatinya. Hari ini ia bisa berada di jalanan kota Bandung. Besok ia bisa terlihat di Jakarta sedang bergelayutan di dalam bus kota. Besoknya lagi berada di Gorontalo, Solo, Bali. Nah, siapa tahu pada malam ketika purnama merekah di bulan Juni itu Leo berada di Jimbaran. Siapa tahu ia jadi menunaikan rencananya, memboyong lukisan-lukisan karyanya dari Bali ke Jakarta hari itu. Atau, siapa tahu ia kangen dengan perempuan asal Bali yang telah memberinya keturunan. Lalu mengajaknya jalan-jalan dari Sanur ke Jimbaran. Siapa tahu. Tapi siapa yang tahu hati Leo? Bahkan beberapa sahabatnya macam Franky Sahilatua saja tak sanggup memahami Leo. Apakah engkau juga begitu wahai  wanita bernama D yang pontang-panting memahami Leo? "Apa menariknya dia?" Juha kebingungan juga waktu Nit bertanya begitu. Apa ya menariknya lelaki bernama Leo Kristi? Adakah karena dia adalah pemusik satu-satunya Indonesia yang masih bertahan dengan konsep-konsep konser rakyat dalam bermusik? Diakah yang menjadikan Gedung Kesenian Jakarta dan gedung-gedung kesenian lainnya yang serba formal menjadi sedemikian cair? Atau.... Mega-mega telah pergi, kini muncul mendung yang langsung mengurung bulan. Angkasa Jimbaran jadi muram karenanya. Nit mengusulkan agar Juha bertanya kepada salah satu waitres. Mungkin ia tahu di mana Leo berada. Seperti telah diduga oleh Juha, waitres itu mengaku tak tahu di mana Leo berada. "Leo siapa? Leo Waldi, Leonardo da Vinci, Leonid?" "Leo Kristi, Konser Rakyat." Sejenak waitres itu berkenyit keningnya. Juha mengira waitres itu sedang mengingat-ingat sosok Leo yang pernah mampir di Jimbaran. "Kalau Leony saya tahu." "Siapa Leony?" "Itu penyanyi yang mirip Sancay. Pemeran di sinetron Siapa Takut Jatuh Cinta." Juha bersemu merah mukanya. Sementara Nit tak jadi melanjutkan tawanya lantaran takut Juha tersinggung. Ketika keduanya pergi menjauh dari Jimbaran, gerimis mulai turun. Pada kaki-kaki hujan itu, Juha menemukan bayangan Leo yang makin lama kian kabur digantikan oleh bayangan sosok Leony, Once, Duta, Agnes Monica. Leo sempurna menjadi masa lalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun