Mohon tunggu...
Jodhi Yudono
Jodhi Yudono Mohon Tunggu... -

beta cuma pengembara yang berjalan dengan hati, bekalku cuma kasih sayang yang kubagi untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Melacak Jejak Pengirim Bingkisan -The Paijo Family - 10

14 Juni 2011   23:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:30 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cerita bersambung Jodhi Yudono Di ruang tamu keluarga Paijo. Ijah dan putrinya nampak tegang memandang sebuah cincin bermata berlian yang gemerlapan disengat cahaya matahari sore. Wajah Ijah tak mampu menyembunyikan ketakjubannya saat melihat benda itu. Dari warna dan bentuknya, serta sertifikat yang disertakan di dalam bingkisan,  serta rasa keindahan yang muncul tiap kali melihat berlian itu, bisa dipastikan benda itu mahal harganya. Ibu dan putrinya itu pun mulai menebak-nebak, siapa gerangan yang telah memberikan cincin tersebut kepada Onah. Satu demi satu mereka membahas nama yang memiliki kemungkinan sebagai si pengirim tak dikenal itu. Yang pertama disebut tentu saja Hendry. Tapi nama Hendry segera dihapus, selain karena Hendry sudah memberikan kado berupa kamera saku, gaji Hendry selama berbulan-bulan nampaknya tak akan cukup untuk membeli cincin berlian seharga puluhan juta rupiah itu. Nama Pay juga buru-buru dihapus, sebab, baik Ijah maupun Onah tahu betul isi kantong kepala keluarga itu. Nama Kadir, ayah Ijah ya kakek Onah itu pun masih tanda tanya. Semenjak Onah pindah ke Jakarta, belum pernah dirinya berjumpa dengan keluarganya yang telah mengusir dirinya pergi gara-gara memilih Pay ketimbang keluarganya. "Jadi siapa dong, Mak?" "Hmmm... aneh.." kepala Ijah kian dipenuhi tanda tanya. "Lebih aneh lagi karena cincin ini pas banget di jari manisku." "Hmmm..." "Kenapa, Mak?" "Berarti si pengirim sudah lama mengawasimu. Dia mungkin mencek ke toko mas tempat kamu memesan cincin seminggu sebelum kamu merayakan ultah." "Bisa jadi, Mak. Belakangan ini rasanya ada orang yang selalu memperhatikan Onah. Entah siapa. Mungkin juga orang berbadan gempal yang kemarin kasih bingkisan ini." "Hati-hati kamu, Nak. Jangan-jangan..." "Ada apa, Mak?" "Ah tidak, ngga ada apa... kamu tenang saja," buru-buru Ijah menenangkan Onah. Tapi lantaran kalimat "hati-hati" itu, dia jadi ingat cerita suaminya yang belakangan ini juga merasa ada yang mengikutinya. 'Apa ini ada kaitannya? Tapi siapa juga yang mau repot-repot memperhatikan keluargaku?' Ijah berkata-kata dalam hati. "Apa mungkin orang tuanya Emak?" "Tadinya emak juga berpikir begitu." "Kawan-kawan dekatku di kelas juga bilang begitu. Rosy, Andi Larantuka, Astuti, Watie, semuanya yakin kalau yang mengirim adalah kakek." "Mereka bilang apa?" "'Siapa lagi yang punya perhatian sebegitu besarnya sama kamu kalau bukan dari kalangan keluargamu sendiri'. Dan yang memiliki kemampuan secara finansial adalah kakekmu.' Begitu kata Rosy." Onah menirukan Rosy. "Tapi setelah emak pikir-pikir, kayaknya bukan kakekmu. Beliau nggak seromantisme itu." Tebakan keduanya buntu. Dalam kebuntuan keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hadiah semahal itu tentu dikirim oleh orang yang sangat mencintai Onah. Ya, mencintai yang hampir menyerupai kegilaan. Dan tentu saja, si pengirim tentulah orang yang sangat kaya raya. Bisa saja Tuan Kadir yang mengirim, tapi demi apa? 'Hmmm... Orang tua itu terlalu angkuh untuk memulai mencairkan kebekuan dengan anaknya,' pikir Ijah. Jadi... orang gila macam apa yang telah dengan ringan hati merogoh koceknya untuk membeli berlian mahal yang bahkan bermimpi untuk memilikinya Ijah belum pernah. Pengalaman hidup di Jakarta mengajarkan kepada Ijah, bahwa tak ada yang gratis di dunia ini. Itu berarti, keluarganya harus kian waspada dengan "imbalan" yang diharapkan oleh si pengirim hadiah. "O iya Mak, kenapa kita nggak pernah datang ke rumah kakek dari Emak? Katanya sebagai anak kita harus hormat dan patuh sama orang tua, kenapa Emak dan bapak nggak pernah sowan ke rumah kakek? Emak nggak takut dosa?" Wajah Ijah seketika berubah kelabu. Dipandanginya wajah Onah lekat-lekat, ah... pada wajah anak itu, tersimpan juga jejak rupa kakeknya. Terutama matanya, ya mata yang tajam pada dirinya dan juga Onah adalah warisan dari Kadir ayahnya. Direngkuhnya Onah ke dalam pelukannya. Dengan terbata-bata Ijah bercerita, betapa tak kurang-kurangnya dia minta maaf kepada ayah dan ibunya, tapi berkali-kali pula permintaan maafnya ditolak. "Kakekmu terutama, bilang kepada emak, baru mau memaafkan emak jika emak berpisah dari bapakmu." Sebutir air menetes dari mata Ijah. Tetes air mata Ijah jatus di kening Onah. Lantaran itu, Onah mendongak, memandang wajah ibunya yang berduka. Melihat mendung di wajah emaknya, Onah tak kuasa menahan tangis. Dipeluknya tubuh Ijah erat-erat. Lalu katanya, "Maafkan Onah, Mak. Lantaran pertanyaan Onah, emak jadi sedih." "Kamu nggak bersalah, Nak. Kamu memang sudah saatnya tahu, seperti apa hubungan emak sama kakek dan nenekmu." "Biar Onah saja yang menemui mereka, Mak." "Nak, ada darah ayahmu yang mengalir di tubuhmu, dan itu najis bagi kakekmu." "Tapi ada darah kakek juga yang mengalir di tubuhku." "Sabarlah, anakku. Mudah-mudahan GustiAllah membukakan pintu hati kakek dan nenekmu." "Kenapa kakek dan nenek sebenci itu kepada bapak?" Sambil mengelus-elus rambut anaknya, Ijah kembali bercerita tentang kedua orang tuanya. "Ini permusuhan abadi dua keluarga, Nak." "Maksud Emak?" "Begini ceritanya..." Baru saja hendak memulai cerita, tiba-tiba dari arah pintu terdengar suara, "Permisi..." "Ada tamu, coba temui nak," pinta Ijah kepada anaknya. Seorang kurir berdiri di depan pintu dengan sebuah bingkisan di tangannya. "Silakan ditandatangani," kata kurir. Selesai menandatangani bukti pengiriman, Onah menyerahkan bingkisan kepada Emaknya, "Buat bapak," ujar Onah. "Siapa pengirimnya?" "Nggak tertulis nama dan alamat pengirimnya, buka aja Mak." "Hus, ga boleh. Nanti tunggu bapakmu pulang." "Emang bapak pulang jam berapa?" "Larut malam nanti. Bapakmu bilang mau ngisi acara di kafe daerah Kemang." "Lanjutin lagi ceritanya, Mak." "Nanti malam aja, sekarang kamu mandi dulu. Emak juga mesti beres-beres dapur." "Bener lo mak, ntar malam." "Iya... Kalau Emak nggak lupa."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun