Mohon tunggu...
Jodhi Yudono
Jodhi Yudono Mohon Tunggu... -

beta cuma pengembara yang berjalan dengan hati, bekalku cuma kasih sayang yang kubagi untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ketika Gerimis Berhenti (The Paijo Family - 8)

12 Juni 2011   23:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:34 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di luar masih gerimis, angin sesekali bertiup kencang. Suara gesekan selo juga masih terdengar. Kali ini Pay memainkan "Once Upon More Beautiful Days (In Memory of My Parents)" karya komposer David Popper, kelahiran Praha 16 Juni 1843. Lagu ini serupa gerimis yang lirih, sehingga membuat ruang kamar itu serasa berwarna ungu, penuh cinta. Sambil terus menatap wajah suaminya, tangan kanan Ijah yang menjuntai ke bawah ranjang sesekali mengelus jari-jari kaki kiri Pay dengan mesra. "Konsernya cukup sekian dulu ya, besok disambung lagi," kata Pay usai menyelesaikan nomor cantik itu, yang disambut tepuk tangan Ijah. "Terimakasih cintaku," ucap Ijah. Kalimat Ijah bagai koda yang menggenapi komposisi David Popper yang dimainkan Pay malam itu. Setelah meletakkan selo di hardcase, Pay berjalan menjumpai Ijah sambil bersimpuh di tepi ranjang. Diciumnya jemari Ijah yang masih menjuntai, lalu dengan lembut Pay bilang, "Aku sayang kamu." Lalu, dengan tangan kirinya, Ijah mendekatkan kepala Pay ke wajahnya. Sebuah kecupan mendarat di kening Pay. "Aku juga, mas." Ijah langsung menggeserkan badannya ke kiri, memberi tempat bagi suaminya. Sepasang suami istri itu kini rebahan. Sambil terlentang, jemari mereka saling bertautan. Di pertemuan  jemari itulah, jiwa-jiwa mereka juga dipertautkan. Sehingga yang satu bisa membacai kedalaman pikir dan hati lainnya. Kadang mereka saling meremas erat, itulah tandanya jiwa mereka sedang bersatu dan saling berkata-kata. Di waktu lain, mereka juga tiba di persimpangan jalan, keduanya memilih jalan pengembaraannya sendiri-sendiri, maka lemahlan genggaman tangan mereka. Seperti pada detik di mana gerimis dan angin telah benar-benar henti, Ijah merasai genggaman lelakinya melemah. Berkali-kali Ijah meremas tangan Pay, berkali-kali itu pula Pay tak merespon. Ijah seperti sia-sia berlari mengejar laju angan suaminya yang entah sedang mengembara ke mana. Dengan ekor matanya Ijah melirik mata suaminya yang ternyata masih jaga. Hmmm... Ijah tahu, sedang ke mana angan suaminya pergi. Lalu tiba-tiba, Ijah pun bertanya, "Siapa pacarmu sekarang?" "Hah? Eh.. ah...  bilang apa kamu?" Pay tergeragap. Pegangan tangan mereka pun terlepas. "Siapa pacarmu sekarang?" Buru-buru Pay mengumpulkan kembali kesadarannya. Tapi pandang mata Pay adalah jendela terbuka yang dengan gampang Ijah bisa memasuki hatinya. Di sana Ijah menemukan bayang-bayang perempuan. "Ga usah berlagak bego, siapa pacarmu sekarang?" tegas suara Ijah. "Ngomong apaan sih.." Pay coba menghindar. "Suamiku yang ganteng, istrimu ini bertanya kepadamu, siapa pacarmu sekarang?" "Ah, bukan pacar. Cuma teman." "Teman atau teman?" "Teman." "Siapa namanya?" "Mira." "Masih muda?" "Baru lulus kuliah." "Sudah kamu tiduri dia?" "Ngaco! Kami hanya teman ngobrol." "Mana aku tahu." "Makanya aku beri tahu." "Lagu apa yang kau mainkan sehingga membuatnya termehek-mehek?" "My Heart Will Go On." "Hmmm... romantis bener. Kamu suka dia?" "Suka sebatas kawan." Pelan-pelan Ijah merangkak dan duduk di atas perut suaminya. "Bener?" tanya Ijah dengan mata yang menghunus tembus mata Pay. "Ya." "Kalau nggak bener?" "Pasti bener!" Mendengar jawaban yang meyakinkan dari Pay, lumerlah ketegangan di wajah Ijah. Dari bibirnya mulai terbit senyum. Kedua tanganya meraba wajah suaminya. Pay dengan lembut mengelus punggung Ijah. "Boleh minta sesuatu?" tiba-tiba Ijah bersuara. "Kalau aku sanggup, pasti kupenuhi." "Aku ingin kamu nyanyikan bait terakhir dari lagu yang disukai si Mira itu." Sambil membimbing kedua tangan Ijah da meletakkan di dadanya, Pay pun mulai melantunkan pungkasan lagu "My Heart Will Go On". You're here, there's nothing I fear, And I know that my heart will go on We'll stay forever this way You are safe in my heart And my heart will go on and on Mereka bagai penumpang kapal Titanic, berlayar mengarungi waktu. Di sepanjang jalan tak ada gelombang besar dan batu karang, apalagi gunung es. Itulah sebabnya, mereka selamat tiba di pelabuhan ketika fajar menjelang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun