Saya sebetulnya iseng saja saat meminta seorang kawan di kantor bernama Julia untuk melafalkan Pancasila. Keisengan yang muncul begitu saja lantaran anak saya yang masih SMP minta kepada saya untuk bercerita tentang sejarah lahirnya Pancasila yang jatuh tiap tanggal 1 Juni.
Julia terbata-bata saat melafalkan sila-sila di dalam teks Pancasila. Sudah 15 tahun semenjak lulus kuliah, Julia memang tidak lagi menghafal Pancasila sebagaimana dia lakukan setiap upacara bendera di sekolah lanjutan dulu.
Begitulah, Julia dengan pelan mengeja kembali sila-sila di dalam "dasar negara" bangsa ini. Tapi apa daya, lantaran tak pernah bertemu kembali dengan kalimat-kalimat sakti di dalam Pancasila, Julia pun gelagapan. Mungkin juga karena selama ini dia tak benar-benar faham mengenai Pancasila meski sejak kanak-kanak hingga kelas tiga SMA dia fasih melafalkannya.
Kini, saat Pancasila tak pernah dilafalkan, hapalan mengenai Pancasila itu pun menguap begitu saja. Yang tersisa adalah penggalan-penggalan kalimat yang pernah akrab di dalam kehidupannya namun sekaligus tak pernah benar-benar dipahami maknanya.
Bukan Julia seorang saya kira yang "hilang ingatan" mengenai Pancasila. Berjuta-juta anak muda dan bahkan orang tua, mungkin juga telah abai terhadap Pancasila. Bagi sebagian orang, Pancasila mungkin tak lebih dari kenangan masa lalu yang cuma berada di lembar-lembar buku sejarah. Sebagian lainnya menempatkannya sebagai kenangan kala ditatar P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Berikut ini adalah kata beberapa kawan saya mengenai Pancasila. "Waktu mau masuk kampus ada penataran Pancasila beberapa hari. Kenangannya ya saat akhir acara kita semua nangis karena ternyata kita cinta negeri ini," kata Rini Intama.
Lain dengan Rini yang heroik dan romantis, Mas Prasetyo malah melucu saat ditanya mengenai Pancasila. Begini katanya, "Tono di sekolah ditanya sama gurunya: 'Ton apa hubungan Pancasila dengan UUD 45?' Jawab Tono 'Baik-baik saja, Bu... Kayaknya ipar-iparan....'"
Sementara Dedy Tri Riyadi mengenang, "Dulu, saya sering ikut lomba cerdas cermat P4 tingkat SMP - SMA. Materinya adalah bulir-bulir penghayatan Pancasila dan TAP-TAP MPR."
Hanny Sukmawati punya pengalaman lain lagi. "Saat kuliah kita ikut ujian negara mata kuliah Pancasila. Karena kampus kita belum disamakan, masih diakui, maka jadilah kita ikut ujian negara Pancasila di Universitas Indonesia. Nah salah seorang temenku pernah ikut ujian mata kuliah tersebut sampai empat kali dan nggak lulus-lulus juga. Kebayang kan ..Padahal yang namanya pelajaran Pancasila dari SD udah "didoktrinkan" atau ikut yang namanya penataran P4 juga kan... tapi kok nggak lulus... lulus... Padahal pertanyaannya juga itu itu saja, tentang butir-butir Pancasila yang jumlahnya banyak... Sampai akhirnya kita godain aja kalau kamu yang kelima kali ga lulus juga akan dipanggil ke komdak.hehe..."
"Aku dulu hapal sampai ngelothok butir-butir pelaksanaan Pancasila karena jadi wakil cerdas cermat P4 seprovinsi, acaranya mewah di surabaya, dapat uang saku banyak, uangnya kubelikan buku banyak.... Tapi sekarang aku bisa lupa sama sekali butir P4 ada berapa... Hahahaha..." ungkap Johana Ernawati yang seorang wartawati.
Senada dengan Mas Prasetyo, Aries Tanjung juga punya cerita lucu tentang Pancasila.
Guru: A, Pancasila ada berapa?!..
Murid A: Tujuh bu!...
Guru marah.
Murid B: Pssst bego,...Pancasila itu ada lima!...
A: "Huuh,...aku jawab tujuh aja dimarahin, apalagi lima!...