Mohon tunggu...
Jodhi Yudono
Jodhi Yudono Mohon Tunggu... -

beta cuma pengembara yang berjalan dengan hati, bekalku cuma kasih sayang yang kubagi untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata yang Mengawasi -The Paijo Family- 22

28 September 2011   20:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:31 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1 photo.net ilustrasi Cerita bersambung Jodhi Yudono

Permintaan maaf yang diharap, disertai tutur kata sopan dan wajah menghiba, ternyata hanya ada di komik dan pelajaran budi pekerti yang telah terendam di comberan.
Ciiiiittttt..... Semua kendaraan di belakang mobil yang ditumpangi Pay dan Mira bagai koor ratusan jerit tikus, berdecit. Terang saja, suasana gaduh menyusul setelah itu. Sumpah serapah seisi kebun bintang tumpah ruah di jalanan. Mereka yang ada di dalam mobil segera membuka kaca mobilnya dan berusaha melihat peristiwa di muka sambil menaikkan kepala, sementara yang berkendara motor membuka kaca helemnya agar lebih terang melihat sumber kejadian. Pengendara motor yang jadi penyebab kekacauan di perempatan Grogol itu memang sempat terjatuh. Tapi itu tak lama, dengan susah payah dia berhasil mendirikan motornya. Lalu, semua orang yang telah menjadi korban kekagetannya terdiam sambil berharap si pengendara motor akan membuka helemnya dan menjura minta maaf ke semua pengguna jalan. Alih-alih dia berlaku sopan. Sekali pancal, motor yang biasa digunakan oleh para penjambret itu, meraung-raung. Lalu... sebelum berlalu, dia pun mengacungkan jari tengah tangan kirinya ke semua orang. Brmmm........... Mereka tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Permintaan maaf yang diharap, disertai tutur kata sopan dan wajah menghiba, ternyata hanya ada di komik dan pelajaran budi pekerti yang telah terendam di comberan. Sedang peristiwa yang berlangsung di hadapan mereka adalah fakta kehidupan jalanan kota Jakarta yang berisi para petarung yang siap menerkam tiap kesempatan yang tergelar di muka. Memangsa atau dimangsa. Dan kini, si pengendara motor itu, memilih jadi pemangsa tunggal--atas puluhan pasang mata yang melihatnya--dengan sebuah penghinaan: telunjuk jari tengah! Tiga detik setelah peristiwa itu, kisah pun mengalir kembali seperti biasa. Manusia Jakarta hanya butuh sekian detik untuk merekam peristiwa yang tak ada kepentingannya dengan mereka, sebab sesudahnya, urusan pribadi kembali muncul dan minta segera diselesaikan. Kecuali mereka yang masih menyisakan ruang untuk dirinya lebih luas, sehingga masih bisa menarik himah dari setiap peristiwa yang mampir ke dalam kehidupan mereka. Seperti Pay itulah, beberapa hari ini peristiwa yang datang seperti kain sulaman yang saling bertaut benang-benangnya satu dengan lainnya. "Ayo... buruan, bengong aja," Mira membuyarkan lamunan Pay. Kini gantian para pengendara meneriakinya dari arah belakang. "Hoiiii... buruan!" "Brengsek!" "Diiiinnn...." "Tretttttt..." Sebelum jalanan sempurna berubah menjadi konser klakson dan umpatan, Pay sudah membawa laju kendaraan membelah sudut lain kota Jakarta. Diiinn... treeeettt... * * * "Boleh saya ambil gambar anda berdua untuk majalah kami?" seorang fotografer majalah gaya hidup meminta izin memotret Pay dan Mira, saat keduanya hendak bersantap malam di sebuah kafe yang berada di lantai 4 Wisma Antara. "Terimakasih, lain kali saja ya," jawab Mira mirip selebriti yang ogah privacynya tergangu. "Apa kata dunia nanti, jika foto kita berdua beredar ke mana-mana," sambung Mira setelah si fotografer ngeloyor pergi. "Halah, paling-paling dunia nggak akan berkata apa-apa, dunia sudah terlalu sibuk dengan urusannya sendiri," timpal Pay. "O.. gitu ya, baiklah.. kalau begitu aku panggil lagi aja tuh fotografer, terus aku akan cium mas, gimana?" kata Mira seraya menoleh ke segala penjuru mencari fotografer tadi. "Waduh, mulai deh, kumat nekatnya..." "Habisnya... mas gitu sih. Kan banyak hati yang harus kita jaga, mas." "Ssssttt... dekatkan wajahmu ke wajahku, jangan melawan, buruan... ada yang sedang mencuri-curi gambar kita," bisik Pay sambil memegangi kepala Mira agar sempurna menutupi wajahnya. Merasakan situasi yang mulai tidak nyaman, setelah menghabiskan sepiring spagheti dan lasagna, mereka pun buru-buru pergi meninggalkan bangunan yang terletak di Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta itu. * * * Mereka menyusuri Jalan Thamrin menuju ke arah Monas, sampai di Monas mereka melintas ke arah stasiun Gambir. "Kita shalat Isya dulu ya," ujar Pay setelah berada tak jauh dari Masjid Istiqlal. Mira mengangguk tanda setuju. Begitulah memang mereka berdua. Semenjak berkenalan di sebuah acara di Bali, keduanya menjalin persahabatan yang manis. Sekali lagi, "persahabatan", sebuah kata yang selalu dicurigai oleh banyak orang bahwa tak ada persahabatan lelaki dan perempuan. "Perkawanan lelaki dan perempuan dewasa cuma omong kosong saja, paling-paling akan berakhir di ranjang," begitu kata Mas Tanoyo, kawan Pay yang jurnalis senior itu. "Mari kita buktikan, apa teorimu itu benar atau tidak. Dan aku serta Mira akan membuktikannya bahwa teorimu salah Mas Tanoyo," ungkap Pay. Sehabis dari Istiqlal, mereka melaju ke arah Menteng. Malam ini musisi dan penyanyi reggae Tony Q manggung di salah satu kafe di sana. Mira kepingin Pay mengajaknya ke sana, untuk melengkapi tulisan panjangnya tentang kehidupan malam kota Jakarta. "Emang sudah sampai mana tulisanmu, Mir?" "Sedikit lagi juga selesai. Mudah-mudahan setelah dari nonton Tony Q nanti, tulisanku bisa langsung kelar. Penerbit udah kasih deadline, minggu depan tulisanku sudah harus masuk ke editor." "Kecuali... kalau aku membawamu ke sudut lain kota Jakarta, yang akan membuatmu terangsang untuk menulis lebih panjang.. " "Di mana tuh?" "Tenang aja Non, sisa malam masih panjang. Setelah nonton Tony, nanti akan kubawa kau ke sana, ke sebuah tempat yang rawan namun penuh tantangan..." "Ih, si mas ini lo, bikin penasaran." * * * Mata itu.. mata itu, selalu mengawasi ke mana Pay pergi. Juga pada malam di mana Pay mengembara membelah malam bersama Mira. Mata itu ada di mana-mana, di sebuah kafe di Wisma Antara. Di sebuah kafe di kawasan Menteng, di tol Jagorawi, di Jakarta Utara. Ada kalanya pemilik mata itu hadir secara samar, tapi kadang tegas menghampiri Pay dengan pandang matanya yang penuh misteri. Seperti yang terjadi pada malam ini... ya, malam ini, bahkan mungkin malam-malam berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun