Dua benda mewah bersertifikasi yang dijamin keasliannya, berupa cincin emas bermata berlian dan jam Rolex, dikirim pada hari yang sama ke ayah dan anak, mustahil tak berkait satu sama lainnya. Tapi mengapa Pay dan Onah yang menerima kiriman itu? Lantas siapa gerangan yang dengan murah hati telah mengirimkan benda-benda mahal tersebut? Apa motifnya? Pertanyaan-pertanyaan itu kini berkecamuk di kepala Pay, Ijah dan Onah. Naluri kewanitaan Ijah mulai berdenting nyaring, memberinya isyarat ada yang tak beres pada suaminya. Setelah menyuruh Onah tidur, Ijah mengajak Pay masuk ke kamar seraya membawa dua benda itu. Di kamar keduanya terdiam. Ijah duduk di depan kaca rias, sementara Pay duduk di ujung ranjang. "Apa maksudnya ini, Mas?" Ijah akhirnya membuka percakapan sambil meletakkan dua benda mewah di atas meja rias. "Mustahil kamu tidak tahu," susul Ijah setelah suaminya tak memberikan jawaban. "Kesannya kamu menganggap aku tahu ini semua?" "Kalau hanya Onah yang menerima, aku nggak akan berkata begini. Tapi hari ini Onah dan kamu mendapatkan barang yang bahkan dalam mimpi pun kita tidak pernah menjumpainya." Pay bangkit dan memegang pundak istrinya. Lantas ujarnya, "Secara pasti aku tidak tahu siapa yang mengirimkan benda-benda ini. Aku hanya bisa menduga-duga saja." "Siapa dugaanmu?" Lantaran khawatir Onah mendengarkan percakapan mereka, Pay pun berbisik di telinga Ijah. "Sejak kapan?" "Sudah enam bulan ini." "Selalu datang menemuimu?" "Selalu." "Kenapa nggak cerita padaku?" "Aku takut kamu akan salah paham." "Yang gelap-gelapan itu yang membuat salah paham. Kalau benderang dari awal, mana mungkin aku akan salah paham. Lalu apa yang akan kita lakukan dengan benda-benda ini?" "Simpan dulu olehmu, sambil aku mencari tahu siapa pengirim barang ini." "Setelah tahu?" "Ya kita kembalikan barang-barang itu." "Aku minta kamu tenang, gak usah bercuriga padaku. Aku masih bisa dipercaya." "Benarkah?" Sambil tersenyum, dikecupnya pipi Ijah dengan mesra. "Benar, cintaku," bisikkan Pay di telinga membuat Ijah kegelian. "Aw..." * * * Pagi itu semua anggota keluarga berada di rumah. Ijah, tentu saja tak ke mana-mana, karena tempat usahanya memang berada di halaman rumahnya. Onah, hari ini libur karena gurunya rapat. Sedang Pay, baru nanti malam keluar rumah untuk menggantikan Eko Piul yang absen menggosok biolanya di sebuah kafe di Bintaro. Seperti hari yang sudah-sudah, jika Onah libur, maka rumahnya pasti akan ramai oleh para "penggemar". Pada Sabtu pagi yang cerah itu, di rumah Onah sudah ada Adi, Apollo, Cecep, Tarigan, Rosy, Jeng Wi, Susan, Any, Etis, Ody dan Eko Hendrowono. Ijah tentu saja tak merasa terganggu, karena kedatangan mereka juga berarti memperlaris dagangan gado-gadonya. Cuma kadang, kalau teman-teman Onah terlalu heboh bercanda, Pay suka uring-uringan karena mengganggu tidurnya. "Eh, gimana kabar berlianmu, Nah?" tanya Jeng Wi. "Iya, dari siapa sih?" Rosy ikut nimbrung. "Dari orang yang naksir kamu ya?" Apollo tak mau kalah. "Belum tahu, bapak sama emak sedang melacak si pengirim bingkisan itu." "Kayak detektif, dong." "Gado-gado satu, Mak.." teriak Cecep. "Kok cuma satu, gue gak dipesenin Kan Cecep ganteng?" ujar Susan. "Sok atuh, siapa yang mau, terutama kaum hawa, Cecep traktir." Cecep keluar sombongnya. "Payah nih play boy cap kampak, pilih kasih," Tarigan. "Kampak buat belah kepala lo tuh," Cecep tersinggung. "Sabar Gan, nyante aje, biar yang kaum adam bagian gue yang traktir. Ok, clear?" Ody yang sedang bernyanyi buat Onah, angkat suara. "Hmmm... gentleman sejati," puji Susan kepada Ody. Sedang asyik para remaja itu ngobrol, dari dalam rumah terdengar Pay batuk-batuk. Keruan saja, kawan-kawan Onah mengehentikan kegiatan ngobrolnya. Di dalam rumah, ternyata Pay sedang menerima telepon. "Ya, ya pak, sehabis makan siang nanti saya langsung meluncur ke kantor bapak," ujar Pay melalui telepon seluler. "Iya, Pak. Sampai ketemu nanti," Pay menutup percakapan, lalu keluar rumah menjumpai Onah dan kawan-kawannya. "Asyik bener..., lagi pada ngobrolin apa?" tanya Pay kepada Onah dan kawan-kawan. "Ini Om, lagi ngobrolin ber.." belum sempat Jeng Wi menyelesaikan kalimatnya, Onah keburu mencubit paha Wi, dan mengambil kendali jawaban Wi, "Ini Pak, lagi ngobrolin berita pemulung yang memangku mayat anaknya dari Jakarta ke Bogor." "Hmmm..." "Sama ini Om, jenazah Ruyati binti Satubi yang tidak dapat dipulangkan dari Arab," sambung Eko. "Hmmm... banyak bener orang mati tidak diperlakukan dengan baik," Pay ngedumel sendiri. "Iya, kenapa tuh Om, kok bisa begitu?" Cecep buka suara. "Gak tahu, coba aja tanya sama Dewi Persik yang bergoyang," Pay menjawab sekenanya. "Hihihi... Om melucu, tanya kepada rumput yang bergoyang kaleee.." Jeng Wi menimpali dengan cengengesan. "Mana bisa rumput menjawab, ada-ada aja tuh si Ebiet, masa kita disuruh nanya sama rumput," Pay menimpali. "Itu bahasa kiasan kalee Om," Susan urun pendapat. "Kiasan yang nggak logis," Ody membela Pay. "Mak, habis makan siang aku ada janji ketemu orang di Jalan Sudirman," ucap Pay kepada istrinya. Ijah yang sedang sibuk mengulek bumbu gado-gado hanya mengangguk. Saat Pay hendak masuk ke dalam, di luar mendadak dua mobil datang dan parkir di depan rumahnya. Seorang lelaki gempal turun dan mengucapkan salam, "Permisi.. mau ketemu dengan Pak Pay ada?" Onah kaget, karena yang datang adalah lelaki yang kemarin memberinya bingkisan cincin berlian. "Saya sendiri," jawab Pay seraya menerima uluran tangan si gempal. "Saya buru-buru, Pak. Saya hanya membawa amanah, Ini ada titipan dari Pak Robert, beliau minta Pak Pay nanti ke kantor beliau bawa ini," ujar si gempal seraya menyerahkan kunci mobil. "Sudah dulu, Pak, saya pamit. Jangan sampai telat, sehabis makan siang Pak Robert menunggu bapak." Belum sempat Pay bertanya-tanya, si gempal sudah ngeloyor pergi. Onah masih melongo sambil bertanya-tanya di dalam hati, siapa gerangan si gempal itu?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI