Mohon tunggu...
Jodhi Yudono
Jodhi Yudono Mohon Tunggu... -

beta cuma pengembara yang berjalan dengan hati, bekalku cuma kasih sayang yang kubagi untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Puisi Panjang buat Mey (2)

5 Desember 2014   08:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:00 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertemuan Itu... Pada sebuah malam, Don mengetuk pintu rumah saya. Wajah dan rambutnya sungguh serupa, acak-acakan.

Saya sudah paham dengan tabiatnya. Jika ia dalam situasi seperti itu, tak akan ia menjawab pertanyaan apa pun dari saya.

Maka, saya biarkan ia memasuki pintu yang saya buka lebar-lebar buatnya tanpa satu pun pertanyaan atau pernyataan. Saya biarkan ia duduk di ruang tamu, sementara saya melanjutkan mengetik. Bunyi gemeretak keretek yang dibakar Don sesekali saling bersahutan dengan helaan nafasnya yang berat. Lalu tiba-tiba, di antara kegelisahannya itu, muncul pertanyaan dari mulutnya. "Kenapa?" Semula hendak saya abaikan pertanyaannya itu. Tapi, naluri keingin-tahuan saya rupanya lebih besar dari ego saya untuk mengimbangi kesombongan manusia bernama Don yang suka berlagak eksentrik itu. "Apanya yang kenapa," saya balik bertanya dengan nada tak acuh. "Perempuan itu..." Saya melirik, berusaha menyelidik dengan ekor mata saya. "Kenapa aku harus berjumpa dengan dia?" "Ada yang salah dengan perjumpaan itu?" "Bukan soal salah-benar, tapi mengapa aku dipertemukan dengan dia?" "Dia siapa?" "Mey." "Siapa dia?”

“Ya Mey!”

“Maksudku, orang mana, cantik kah dia, anaknya siapa…”

“Gak penting pertanyaanmu, cukup tahu nama saja sudah cukup. Selebihnya urusanku. Yang aku tanyakan, mengapa aku ketemu dia.”

“Terus apa statusnya dia buatmu?”

"Teman." Saya kini menatapnya. "Cuma teman?" mata dan pertanyaan saya menusuk langsung ke jantungnya. "Ya. Kenapa?" "Cuma teman? Kenapa kau harus segelisah itu?" "Gak boleh?" "Sejak kapan kau sedungu itu, hendak membodohi aku dengan pernyataan-pernyataanmu yang amat berlawanan dengan sorot matamu?" Don tersudut. Ia diam terpaku di kursi. Ia sempurna bagai kain kotor yang teronggok tanpa daya di tempat cucian. "Kau tahu, Don, cuma dua hal yang membuat kita gelisah atas seorang teman. Adalah, ketika teman kita berduka atau terluka. Nah, adakah Mey-mu kini sedang berduka atau sedang terluka?" Don menggeleng. "Kini makin jelas bagiku. Mey bukan sekedar teman, kan?" "Ya." "Lantas siapa dia? Pacar? Kekasih? Istri?" "Tak penting siapa dia, tapi dia begitu istimewa bagiku." "Lalu?" "Lalu kenapa aku dipertemukan dengan dia." "Lantaran kamu menginginkannya, Bung," jawab saya sekenanya. "Mana bisa. Kami bertemu begitu saja, tanpa rencana." "Siapa bilang tanpa rencana. Tengoklah ke dalam hatimu yang terdalam..tengok! Ya, tengok, lebih jauh..." Don menunduk dalam. Entahlah, apakah ia menuruti kata-kata saya membayangkan pandang matanya sedang menembusi dadanya hingga ke hati. Atau bisa jadi ia tambah bingung dengan perkataan saya. Entahlah. Tapi lihatlah, Don makin dalam menekuk lehernya. Bahkan kini ia memegang kedua lututnya untuk menumpu kepalanya. Saya biarkan Don pada posisi mirip patung Asmat beberapa saat. Entahlah, tiap kali ia tersudut begitu, saya selalu iba kepadanya. Inilah kiranya rahasia dari sebuah persahabatan. Sebuah relasi antar manusia yang bersitumpu pada keikhlasan menerima kelebihan sekaligus kekurangan yang lain. Capek dengan posisi patung Asmat, pelan-pelan Don tengadah sambil menghela napas panjang. Selanjutnya, ia pun berdiri pelan-pelan sebelum akhirnya berjalan menuju jendela. Selebihnya, entah apa yang ia perbuat dengan pikirannya. "Uhuk-uhuk...Kamu benar," katanya tiba-tiba setelah lima menit dengan posisi ajeg di depan jendela. Saya tak menanggapi pernyataannya. "Jauh di lubuk hatiku memang mengharapkan kehadirannya." "Lantas "Dia yang semula cuma bayang-bayang, lalu aku perangkap di pikiranku agar bisa menempati kisi-kisi hatiku yang kosong." "Trus?" "Kemudian… hati dan pikiranku menggerakkan langkahku mencari dia." "Hmmm...makin menarik..." "Lalu aku ketemu Mey di dunia maya." "Kamu suka dengannya?" "Ya." "Cinta?" "Gak tahu. Tapi aku mulai membutuhkan dia." "Buat apa?" "Aku ingin jadi kanak-kanak kembali, yang tidak punya rasa takut menghadapi apapun. Aku ingin jadi hero yang bisa mengerjakan apapun.” "Kini pertanyaanmu terjawab sudah." "Ah, kau terlalu menyederhanakan soal ini." "Mungkin saja. Sebab aku juga sepaham dengan kaum cerdik pandai, bahwa tak ada yang kebetulan di semesta ini." "Seseorang jadi penjahat, menjadi orang soleh, mati bunuh diri..." "Ya..., orang jadi presiden, jadi teroris, jadi... semuanya aku kira sama dengan keinginanmu bertemu dengan tiga perempuan yang kau bilang sebagai sahabat-sahabat hatimu itu." "Tinggal sebesar apa keinginan itu terbangun ya?" "Persis. Sebab banyak di antara keinginan kita cuma berhenti di mulut belaka. Tak sampai ke hati, tak sampai ke otak, tak sampai ke darah. Sehingga cuma menguap di udara." "Aku, bacaan-bacaanku, lingkunganku, pengalamanku..." "Ya, termasuk makanan dan minumanmu, semua yang menyertaimu dalam kehidupanmu sehari-hari itulah yang turut serta membangun keinginanmu, cita-citamu, mimpimu..." Malam kian larut. Tik-tak jarum jam di dinding melintas terus. Gerimis yang temaram memudarkan warna malam jadi kelabu. Sesekali langit berkilat tipis, menandakan di bagian bumi lain sedang dilanda hujan lebat. Pertanyaan demi pertanyaan tentang pertemuan masih terus membuncah dari mulut kami, saya dan Don. Ya...ya, mengapa kami bertemu dengan gerimis malam ini. Mengapa kita harus menyaksikan peristiwa gelombang tsunami yang meratakan sebagian wilayah Aceh dan Sumatera Utara? Mengapa juga kita dihadapkan pada peristiwa terbunuhnya Munir? Mengapa sebagian anak-anak di Sukabumi mesti kena polio... Ah, siapakah gerangan yang menginginkan ini semua? "Don," kata saya setelah kami terdiam beberapa saat. "Hmm..." "Boleh aku bertanya?" "Hmmm..." "Mengapa kita bertemu malam ini?" Di luar dugaan, Don malah menjawab dengan senyuman. "Jangan cengengesan." Don mulai tertawa kecil. "Don, aku serius." Don mulai terbahak seraya mendekati meja kerja saya. Lalu katanya, "Kamu kepingin tahu?" "Ya." "Sebab...sebab aku tahu, Minggu malam seperti ini di rumahmu pasti ada pisang goreng, kopi kental, dan rokok..hm..." ujar Don sambil meraih gelas kopi saya dan menyeruput isinya. Sialan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun